Eliza (12) Hari - hari penuh warna
Ceritadewasaterbaru666.blogspot.com - Ulangan mata pelajaran Bahasa Inggris itu sudah selesai, dan aku sangat yakin bisa mendapat nilai sempurna. Kini adalah jam istirahat pertama, dan aku benar benar merasa lelah. Padahal sebentar lagi adalah jam olahraga. Mimpi buruk yang kualami tadi malam sempat terlintas dalam ingatanku.
Di kantin sekolah, Jenny dan Sherly seperti biasa menemaniku. Tapi sekarang ini aku lebih banyak diam dan mendengarkan dua sahabatku ini berceloteh. Bahkan tanpa sadar aku sudah melipat tanganku di atas meja, lalu aku menyandarkan kepalaku di atas tanganku.
“Eh Eliza, pagi pagi kok ngantuk sih? Bentar lagi jam olahraga lho. Kamu kurang tidur ya?”, tanya Jenny.
“Iya nih Jen… ngantuk… semalam aku kurang tidur, belajar untuk ulangan tadi”, jawabku lemah.
Kalau sekarang ini kami bertiga sedang berada di rumahku, aku mungkin saja sudah menceritakan tentang pemerkosaan yang menimpaku di tempat tambal ban kemarin, dan juga pesta seks semalam dengan Cie Stefanny. Tapi ini kan di kantin, nggak lucu kalau ada yang mendengar pembicaraan kami.
“Masa sih El? Kamu kemarin kan les sama Cie Stefanny? Aku aja dua hari yang lalu udah tenang untuk urusan ulangan ini abis les sama Cie Stefanny. Masa kamu perlu belajar sampai malam? Lagian kamu itu bahasa Inggrisnya kan ciamik”, celoteh Jenny lagi.
“Siapa Cie Stefanny itu Jen?”, tanya Sherly penasaran.
“Itu, guru les bahasa Inggrisku dan Eliza. Aku dikenalkan Eliza. Orangnya baik dan pinter lho, Sher… cantik abis lagi”, kata Jenny yang malah berpromosi tentang kecantikan Cie Stefanny, mengingatkanku bagaimana kemarin aku larut dalam gairah sampai akhirnya aku ‘memperkosa’ Cie Stefanny.
“Yeee… Eliza, kamu kok nggak ngenalin guru lesmu ke aku sih? Aku juga mau dong les bahasa Inggris seperti kalian…”, kata Sherly dengan gaya merajuk.
Aku memandangi Jenny dan Sherly sambil tersenyum geli. Mereka berdua ini memang selalu mendatangkan keceriaan bagiku.
“Iya iya Sher… ini aku kenalin deh. Bentar ya aku telepon Cie Stefanny”, kataku sambil mengambil handphoneku dari saku baju seragam sekolahku.
Ketika aku melihat layar handphoneku, terdapat tulisan 1 message received. Aku baru tahu kalau ada SMS masuk. Memang aku selalu mengganti mode handphoneku ke mode silent selama di sekolah, itu sudah menjadi aturan di sekolahku. Kini aku jadi penasaran dan membuka SMS itu, sambil berharap harap kalau kalau SMS itu dari Andy.
‘Eliza, nanti siang ngeseks yuk. Sudah tak sabar pingin ngerasain memekmu lagi. Satu ronde juga boleh.’
Mukaku rasanya panas membaca isi SMS itu. Kesal sekali hati ini. Mengharap kalau SMS yang masuk itu dari Andy, yang kudapat malah ucapan yang penuh pelecehan seperti itu.
“Ada apa Eliza?”, tanya Sherly heran, mungkin karena ekspresi mukaku berubah.
“Oh nggak, ini aku salah pencet, makanya kok tidak ketemu nomer handphone Cie Stefanny”, aku lagi lagi berbohong, supaya Sherly dan Jenny tidak tahu kalau aku baru saja dilecehkan seseorang lewat SMS.
Aku sempat memencet tombol bawah sekali lagi, tapi aku tidak mengenal pemilik nomer si pengirim. Ya sudah hal ini kuurus nanti saja, sekarang aku harus mencari nomer handphone Cie Stefanny. Selain aku ingin memperkenalkan Sherly pada Cie Stefanny, aku juga ingin memberikan kabar gembira pada Cie Stefanny, kalau tadi itu aku sukses menjalani ulangan bahasa Inggris.
“Mmm… kok nggak diangkat ya…”, aku mengguman setelah mencoba menelepon Cie Stefanny sampai tiga kali tanpa jawaban.
“Ya udah Eliza, nanti aja kan ngga apa apa”, kata Sherly.
Aku mengangguk dan menyimpan handphoneku kembali ke dalam saku baju seragamku. Dan aku kembali terlibat celoteh riang dengan kedua temanku yang cantik ini, walaupun aku tak seaktif biasanya. Selain aku merasa capek dan mengantuk, perasaanku berkecamuk kalau teringat isi SMS yang kurang ajar itu.
Tiba tiba perasaanku jadi nggak enak!
“Sherly, Jenny, aku ke toilet dulu ya”, pamitku dengan tergesa gesa dan aku langsung berdiri untuk meninggalkan mereka.
“Cepetan ya Eliza, jangan sampai pipis di celdam ya”, goda Jenny, dan kudengar Sherly tertawa geli.
“Awas kamu ya Jen”, sambil mulai berlari aku sempat menoleh ke arah Jenny dengan pandangan gemas, dan Jenny hanya meleletkan lidahnya.
Aku pergi ke ujung lorong sampai di depan toilet perempuan, lalu aku mengeluarkan handphoneku lagi untuk menelepon ke rumah. Aku mengkuatirkan keadaan Cie Stefanny.
Aku teringat tadi pagi ketika aku akan berangkat sekolah, Cie Stefanny berkata kalau ia masih mengantuk dan ingin tidur lagi. Aku memberikan kunci kamarku dan menyuruh Cie Stefanny mengunci dari dalam, karena aku tahu tiga serigala di rumahku itu tidak mungkin membiarkan cewek yang cantik dan sexy seperti Cie Stefanny itu menganggur begitu saja.
“Halo… Sulikah? Cie Stefanny mana?”, tanyaku dengan cepat ketika telepon rumahku terangkat.
“Itu non… ada di kamar non…”, jawab Sulikah dengan nada ragu, membuatku mulai panik.
“Sendirian kan?”, tanyaku lagi dengan penuh harap.
“Engg… tadi waktu non Stefanny mau pergi…”, Sulikah menjawab seperti takut takut.
“Udah, tolong berikan telepon ini sama Cie Stefanny, cepat ya!”, kataku dengan perasaan tak menentu dan khawatir.
“Iya sebentar non”, kata Sulikah.
Dari cara Sulikah menjawab, aku tahu Cie Stefanny tidak sendirian. Jantungku berdegup kencang membayangkan Cie Stefanny sedang tak berdaya dikeroyok oleh mereka. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara lenguhan dari handphoneku.
“Ngghh… Eliza… aduuh…”, Cie Stefanny menjawab di antara lenguhannya yang terdengar makin keras.
“Cie… Ciee…”, panggilku dengan kuatir.
“Iyah… sayang… eengghh…”, jawab Cie Stefanny sambil mengerang.
“Cie Cie diapain…”, aku bertanya ragu.
Sebuah pertanyaan tolol, tapi pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.
“Cie Cie… diperkosa… sama… Wawan… emmhhh…”, jawab Cie Stefanny terputus putus.
Aku bingung tak tahu harus berkata apa. Aku hanya bisa berharap kalau papa dan mamaku, juga kokoku, belum akan segera pulang dari hotel. Aku juga berharap kalau kokoku langsung kuliah, dan di hari Jumat begini, semoga kokoku berweek end bersama temannya, jadi paling tidak situasi di rumah masih ‘aman’.
“Cie…”, aku masih tak tahu harus berkata apa.
“Ngghh… Eliza… Cie Cie tutup dulu ya… Cie Cie mau oralin punya Suwito… ngghh…”, lenguhan Cie Stefanny menutup pembicaraan kami.
Aku termenung sejenak. Mendengar jawaban Cie Stefanny yang sepertinya malah sedang menikmati perkosaan serigala serigala itu, tiba tiba gairahku bergolak dan nafasku jadi memburu. Aku yang memang sudah berdiri di depan toilet perempuan ini, masuk ke dalam salah satu kamar di dalam toilet lalu mengunci pintunya.
Di dalam toilet ini aku menggigit bibir, dan tanpa bisa kukendalikan lagi aku menarik ujung rok seragam sekolahku ini ke atas dengan tangan kiriku, lalu tangan kananku kuarahkan ke selangkanganku, mencari bibir vaginaku.
“Mmmhh… engghh…”, aku merintih dan melenguh perlahan ketika jari tanganku kutekan tekankan pada bibir vaginaku.
Mendadak aku tersadar, aku memang tidak mengenakan celana dalam karena ancaman yang diberikan Dedi padaku. Aku diam sejenak, mencoba mengusir semua godaan birahi yang melandaku ini dengan memikirkan nasibku sehari hari di sekolah setelah kemarin aku mengintip persetubuhan Vera dengan Dedi dan Pandu di gudang sebelah ini.
Aku mulai menduga duga, jangan jangan SMS kurang ajar yang masuk di handphoneku itu adalah SMS dari Dedi. Tapi, darimana dia tau nomer handphoneku?
‘kriiing…’, bel tanda istirahat selesai menyadarkan lamunanku, dan aku bergegas merapikan keadaanku secukupnya supaya kelihatan wajar wajar saja. Lalu aku kembali ke kelas, sambil merenungi betapa kacaunya hari ini bagiku.
“Sayang, kamu kenapa sih kok seperti lemas gini?”, tanya Jenny lembut sambil membelai keningku ketika aku sudah masuk ke dalam kelas dan duduk di sebelahnya.
“Ya ampun… Eliza… kamu demam…”, kata Jenny dengan agak panik.
“Eh… nggak, nggak apa apa Jen… Ayo kita ganti baju di toilet…”, kataku lemah.
“Jangan sayang… kamu sakit… Minta ijin pulang aja ya? Aku antar kamu pulang ya?”, tanya Jenny.
Aku menggeleng lemah. Entahlah, rasanya sekarang ini aku malas berbuat sesuatu. Aku menyandarkan kepalaku di atas tanganku yang kulipat di atas meja. Teman teman sekelasku yang lain sudah keluar semua menuju ke aula tempat kami akan berolahraga, tinggal aku dan Jenny yang masih di sini.
“Ya udah kalau kamu nggak mau pulang, kamu istirahat di UKS aja ya sayang… Mau yah?”, ajak Jenny.
“Jangan, aku ikut olahraga aja Jen, nanti mungkin juga mendingan…”, aku menjawab dengan lesu.
“Sayang… kamu ini gimana sih? Nanti kamu malah kenapa kenapa lho kalau kamu paksain”, kata Jenny kesal.
Aku amat merasakan nada kesal itu dari Jenny, dan kini ia sudah duduk di sampingku. Tangannya yang lembut itu membelai keningku dan rambutku. Aku menatap Jenny dengan senyuman mesra. Senang sekali rasanya disayang dan diperhatikan oleh teman baikku, atau lebih tepatnya kekasihku ini.
“Makasih ya Jen… aku tau kamu memang paling sayang sama aku…”, bisikku pelan dan aku memeluk tangan Jenny, mendekapnya di depan dadaku.
Jenny menatapku sejenak, lalu menunduk dan tersenyum malu, membiarkan tangannya berada dalam dekapanku.
“Jen… kalau aku jadi jatuh cinta sama kamu, salah siapa coba?”, tanyaku menggoda Jenny.
“Eliza…”, desah Jenny yang makin menunduk malu, mungkin baru kali ini ada cewek yang mengatakan hal segila ini padanya.
“Gimana Jen?”, tanyaku lagi sambil menatap Jenny dengan nakal.
“Mmm… nggak tau deh… tapi kalau kamu memang cinta sama aku, ya nikahi saja aku…”, jawab Jenny sambil meleletkan lidah walaupun wajahnya merona merah.
Kami sama sama tertawa geli, dan setelah aku merasa agak enakan, aku memutuskan untuk segera bersiap mengikuti olahraga.
“Jen, ayo…”, kataku sambil berdiri dan menggandeng tangan Jenny yang menurut saja mengikutiku ke toilet untuk ganti baju.
“Sayang, ganti di sini aja dong”, kata Jenny manja sambil menarikku masuk bersamanya dalam satu dari enam kamar di dalam toilet ini.
“Jen, aku…”, aku mencoba untuk ganti di kamar yang lain karena aku tak ingin Jenny tau kalau aku tidak pakai celana dalam.
“Ih kamu ini, katanya cinta sama aku”, Jenny merajuk.
Jantungku berdegup kencang mendengar kata kata Jenny. Aku menggigit bibirku sambil tersenyum, lalu aku pasrah saja, bersama sama Jenny aku mencopot baju dan rok seragam sekolahku.
“Eh… Eliza? Kamu kok…”, Jenny tertegun menatap selangkanganku yang tidak tertutup celana dalam.
“Tadi waktu aku ke sini, celana dalamku basah kena air Jen”, kataku mencoba berbohong.
“Oooh… lain kali hati hati dong sayang … kalau kamu lagi mens dan mesti pakai pembalut, gimana coba? Yaaa bisa sih kamu ganti pakai tampon”, kata Jenny sambil tersenyum, manis sekali.
Lega rasanya, sepertinya Jenny percaya dengan kata kataku. Aku berganti baju olahragaku. Walaupun rasanya aneh memakai celana olahraga ini tanpa mengenakan celana dalam, juga aku sebenarnya masih merasa sangat capek, tapi aku berusaha bersikap wajar, dan aku menatap Jenny sambil tersenyum.
“Nah… Aku nggak terlihat seperti orang sakit kan Jen?”, kataku mencoba meyakinkan Jenny kalau aku baik baik saja supaya ia tidak mengkhawatirkanku lagi.
“Iya deeh… Duh… cantiknya kekasihku ini”, kata Jenny sambil membelai rambutku dengan mesra, membuatku tersenyum senang dan malu.
“Tapi jangan sampai ada cowok di kelas kita yang tau lho sayang, kalau bidadari di kelas mereka ini nekat nggak pakai celana dalam. Bisa bisa kamu diperkosa ramai ramai sama semua cowok di kelas kita nanti … hihihi…”, kata Jenny usil sambil tertawa.
“Kamu ini ya…”, aku berusaha menangkap Jenny untuk menggelitikinya.
“Atau malah diperkosa semua cowok di sekolah ini… hihihi… aduuuh…”, Jenny tertawa geli dan berusaha menghindariku, tapi di kamar toilet yang sempit ini dengan mudah aku berhasil menangkap dan menggelitiki pinggang Jenny.
“Eeh… iyaaa… ampuuun…”, Jenny merintih dan tubuhnya menggelinjang kegelian.
Aku melepaskan Jenny dan memasang muka cemberut. Tapi Jenny malah terlihat semakin senang dan ia kembali menggodaku.
“Duh, marah ya sayang… jangan marah dong, masa kamu tega sih marah sama kekasihmu ini?”, tanya Jenny dengan gaya usilnya, dan ia terus memandangku dengan matanya yang berkedip lucu, membuatku mulai berjuang menahan tawa.
Jenny memang selalu membuatku ingin tertawa kalau ia meledek atau menggodaku, tapi aku masih ingin pura pura merajuk. Tiba tiba Jenny memelukku dan memagut bibirku mesra. Aku langsung memejamkam mata dan balas memeluk Jenny. Tak lupa pagutan bibir Jenny itu kubalas dengan sepenuh hati, sampai akhirnya kami harus saling melepaskan karena kehabisan nafas.
“Udah dulu sayang… kalau kita… gini terus… kita bakal di sini terus… kita bakal telat ke aula…”, kata Jenny di sela nafasnya yang tersengal sengal.
“Lagian… siapa sih yang memulai…”, kataku sambil meleletkan lidah pada Jenny.
“Iya deh… ayo sayang… kita ke aula sekarang”, kata Jenny dan bersiap keluar dari toilet ini, tapi sekarang ganti aku yang terpana memandang Jenny, menikmati kecantikan kekasihku ini.
Model rambut Jenny yang baru ini membuat Jenny tampak seperti wanita dewasa, walalupun usia kami hanya terpaut beberapa bulan. Dan Jenny benar benar tampak cantik jelita dengan rambutnya yang tergerai seperti ini. Aku langsung saja mencium bibir kekasihku dengan mesra, dan ciumanku ini berbalas dengan tak kalah mesranya.
“Sayang… kamu cantik sekali…”, aku berbisik mesra pada Jenny sambil menyibakkan rambut Jenny yang sedikit menutupi wajahnya.
Jenny tersipu malu, dan ia menyusupkan wajahnya di atas pundak kiriku.
“Kamu lebih cantik… Eliza…”, guman Jenny yang memelukku erat erat.
Aku kembali memeluk kekasihku yang cantik jelita ini dengan sepenuh hati, rasanya aku tak ingin cepat cepat melepaskan Jenny dari pelukanku. Tapi aku sadar kalau kami harus segera ke aula, dan setelah kami berdua sama sama menenangkan diri dari gairah ini, kami berdua keluar dari toilet ini. Sambil bergandengan tangan, aku dan Jenny masuk ke aula tempat kami mengikuti pelajaran olahraga.
Seperti biasa, lari keliling lapangan aula adalah rutinitas awal yang harus kami lakukan sebelum guru kami membagi giliran pada kami semua untuk bermain bola basket ataupun voli.
Namun aku tak menyangka, baru aku berlari satu putaran, kepalaku rasanya berat sekali, lututku juga lemas dan betisku rasanya pegal sekali. Mungkin tubuhku sudah tak tahan setelah kemarin seharian ngeseks berkali kali tanpa istirahat yang cukup.
Aku menepi dan duduk di kursi panjang. Aku tertunduk lemas dan Jenny yang tadi berlari di belakangku kini menghampiriku, lalu menyeka keringat di keningku.
“Benar kan sayang… kamu sampai jadi gini… kamu tahan bentar ya, aku mintakan ijin ke UKS”, kata Jenny yang melihatku dengan iba.
Aku mengangguk pasrah, dan menunggu Jenny yang segera menemui pak Harjono, guru olahragaku yang masih memberikan aba aba pada semua untuk terus lari keliling lapangan. Setelah berbicara sejenak sambil sesekali menatap ke arahku, mereka berdua mendekatiku.
“Eliza, kamu kok tidak bilang kalau sakit? Lihat wajahmu sampai pucat seperti itu. Coba bapak periksa sebentar”, kata pak Harjono yang mengulurkan dan menempelkan punggung telapak tangan kanannya pada keningku.
“Wah badanmu panas sekali Eliza. Kamu istirahat saja di UKS. Lain kali kalau memang sakit ya jangan dipaksa berolahraga, Eliza”, kata pak Harjono lagi.
“Jenny, tolong antar Eliza ke UKS. Bantu rawat Eliza di sana. Nanti kalau memang Eliza sudah bisa ditinggal, baru kamu kembali ke sini”, kata pak Harjono.
“Iya pak, kami permisi dulu”, kata Jenny sambil menganggukan kepala, lalu Jenny membantuku berdiri.
“Terima kasih pak”, kataku pelan.
Setelah kami berpamitan, Jenny membimbingku ke ruang UKS. Ruangan ini, tempat aku kehilangan keperawananku akibat gangbang yang dilakukan satpam, tukang sapu plus wali kelasku yang bejat itu pada empat bulan yang lalu.
Aku merasa sedikit tak nyaman berada di sini, tapi aku menurut saja dengan lemas ketika Jenny membaringkanku di ranjang. Tak ada pilihan lain karena kelihatannya aku memang harus mengistirahatkan tubuhku. Sementara itu Jenny melepaskan kedua sepatu dan kaus kakiku.
“Jen… kamu jangan tinggalin aku di sini sendirian ya”, aku merengek pada Jenny, karena aku merasa risih berada sendirian di ruang ini, mengingatkanku ketika aku terikat di ranjang ini dan menunggu nasib.
“Iya sayang, aku memang mau jagain kamu kok”, kata Jenny sambil menatapku mesra.
Senang sekali rasanya ditemani oleh Jenny yang kini duduk di ranjang tempat aku berbaring ini, di sampingku. Ia membelai keningku dan rambutku, membuatku memejamkan mata dengan senang dan menikmati sentuhan sayang dari Jenny ini. Aku menyusupkan wajahku di paha Jenny, rasanya nyaman sekali.
“Sayang, kamu tidur aja ya”, kata Jenny dengan lembut.
Aku mengangguk dan tersenyum manja, lalu memejamkan mataku. Aku mencari posisi berbaring yang paling nyaman untuk mengistirahatkan tubuhku, yang tulang tulangnya ini serasa akan patah semua.
“Eliza… kamu kok sampai capek seperti ini, memangnya kamu abis ngapain sayang?”, tanya Jenny.
“Mm… nanti aja aku jelasin di rumah ya Jen”, aku berkata pelan tanpa membuka mataku.
“Iya deh, sekarang kamu istirahat dulu aja”, kata Jenny sambil terus membelai rambutku.
“Jen…”, aku mengguman ketika Jenny membelai pipiku dengan semesra itu.
Jantungku berdegup kencang, aku tahu apa yang akan segera terjadi sebentar lagi pada kami berdua.
Aku membuka mata dan menatap Jenny. Dan seperti yang sudah kuduga, sesaat berikutnya kami sudah saling berpagut dengan panasnya. Aku menumpahkan semua perasaan sayangku pada Jenny dan bibirnya yang indah itu kupagut sepuas puasnya. Tapi kami segera saling melepas pagutan kami ketika pintu ruang UKS ini tiba tiba terbuka, membuatku dan Jenny menoleh ke arah pintu.
Entah apa adegan lesbian kami tadi itu terlihat oleh pak Edy, sekarang aku hanya menggigit bibir menyadari kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada kami berdua.
“Siang pak”, kata Jenny dengan gugup, dan melihat ekspresi wajah Jenny aku tahu kalau ia merasa tidak nyaman dengan keberadaan pak Edy di dekat kami.
“Siang Jenny, Eliza. Tadi waktu bapak melihat lihat anak kelas bapak berolahraga di aula, kata pak Harjono kamu sakit. Sakit apa Eliza?”, tanya pak Edy sok perhatian sambil menutup pintu UKS.
Dasar guru bejat tak tahu diri, pakai pura pura nggak tahu lagi kalau kemarin itu ia adalah penyebab utama dari jatuhnya aku ke tangan Pandu dan Dedi, yang kemudian berlanjut dengan perkosaan terhadap diriku oleh Dedi dan 6 orang kasar di tempat tambal ban itu. Untungnya kelihatannya pak Edy tak sempat menikmati tontonan adegan lesbianku dengan Jenny.
“Iya pak. Eliza kecapaian”, jawabku lemah, sekaligus menyindir ulah bejatnya kemarin yang dengan seenaknya memperkosaku di ruang sebelah bersama Pandu dan Dedi.
“Oh, kalau begitu sebentar, bapak ada perlu di ruang bapak, nanti bapak kembali untuk menemani kalian di sini”, kata pak Edy, yang tanpa meminta persetujuan kami langsung saja keluar dari ruang UKS ini.
“Ih… ngapain juga sih pak Edy itu pakai acara menemani kita di sini? Mengganggu saja”, omel Jenny dengan kesal.
Aku hanya mengangkat bahu, tapi tiba tiba perasaanku jadi tak enak. Dan sebelum aku sempat berkata sesuatu, pintu itu kembali terbuka. Tenggorokanku rasanya tercekik ketika aku merasakan hadirnya horror di ruang UKS ini untuk kali kedua buatku.
Pandu masuk dan diikuti Dedi, lalu terakhir pak Edy juga kembali masuk ke dalam ruang UKS ini. Aku menatap pak Edy dengan marah sekaligus khawatir.
Wali kelasku ini sungguh gila! Bagaimana bisa ia yang malah mengatur skenario perkosaan terhadap aku dan Jenny di ruang UKS sekarang ini? Mengapa ia bisa setega itu padaku dan Jenny?
“Pak Edy? Mereka?”, tanya Jenny dengan suara tak percaya.
“Iya Jenny, mereka”, pak Edy berkata tenang sambil mengunci pintu ruang UKS ini.
“Tapi, mengapa pintunya dikunci pak?”, tanya Jenny lagi yang kini mulai terlihat panik.
“Karena bapak tak ingin ada gangguan waktu bapak menyampaikan beberapa hal penting ini pada kalian berdua, terutama pada kamu, Jenny”, kata pak Edy.
Dengan senyumnya yang memuakkan, pak Edy melangkah ke arah ranjang di sebelahku, duduk dengan santai seolah situasi ini bukanlah situasi yang luar biasa. Sementara itu Pandu dan Dedi tetap berdiri di tempatnya. Dedi menatapku, Pandu menatap Jenny. Tentu saja tatapan itu penuh nafsu, seperti ingin menelanjangi kami berdua yang masih memakai baju olahraga ini.
“Memangnya bapak ingin mengatakan apa?”, Jenny bertanya dengan suara yang sedikit bergetar.
“Pertama, bapak ingin bertanya dulu pada kamu Jenny…, kemarin sekitar jam yang sama dengan sekarang, kamu mengintip apa di gudang?”, tanya pak Edy.
Aku hanya bisa menggigit bibir dan menatap Jenny yang terlihat makin tegang mendengar kata kata pak Edy ini.
“Saya… saya…”, kata Jenny terbata bata.
“Ya, waktu itu kamu dan Eliza mengintip Vera sedang bermain main dengan kedua teman sekolah kamu ini, Pandu dan Dedi”, kata pak Edy sambil menunjukkan jari telunjuknya ke Pandu dan Dedi.
“Untuk itu, bapak pikir kamu harus berjanji untuk tutup mulut…”, kata kata pak Edy terhenti ketika Jenny langsung memotong.
“Iya pak, saya janji. Bahkan tanpa bapak suruh pun saya nggak ada niatan untuk bercerita pada siapapun tentang apa yang saya lihat kemarin, apalagi saya tak kenal mereka berdua”, kata Jenny dengan sungguh sungguh.
“Janji itu mudah diucapkan, Jenny. Tapi bapak juga perlu jaminan dari kamu, agar kamu tidak akan menceritakan apapun. Dan menurut bapak, hal itu baru bisa dipastikan jika kamu justru sudah mengenal dan berteman baik dengan mereka berdua”, kata pak Edy dengan senyumnya yang menjijikkan itu.
“Maksud… bapak…”, tanya Jenny dengan sedikit menggigil, rupanya Jenny sudah tahu kemana arah pembicaraan pak Edy ini.
“Sederhana. Kemarin bapak sudah memperkenalkan Eliza pada mereka berdua, dan kelihatannya mereka cocok. Sebenarnya bapak sudah menyuruh Eliza untuk mengajakmu ke pertemuan di ruang UKS ini Sabtu malam besok. Tapi kebetulan kamu ada di sini, jadi bapak pikir ada baiknya kamu berkenalan sekaligus bermain main dengan kedua teman sekolahmu ini”, kata pak Edy.
“A… apa pak Edy…”, desis Jenny dengan raut muka tak percaya.
“Dan nanti tentu saja kamu tidak akan bercerita pada siapapun tentang kejadian kemarin, karena mulai hari ini kamu sudah jadi teman Pandu dan Dedi. Iya kan Jenny?”, sambung pak Edy sambil terus menatap Jenny seolah ingin menelanjangi kekasihku ini.
Aku menatap pak Edy dengan marah. Ingin rasanya aku menampar muka wali kelasku ini sekeras yang aku bisa, tapi tentu saja aku tak mungkin berani melakukannya. Kini aku melihat Jenny yang hanya bisa menatap pak Edy dengan tegang.
“Oh iya, sebaiknya kamu dan Eliza tidak membuat keributan sampai urusan kita selesai”, kata pak Edy dengan santai, padahal ucapan yang baru saja dikeluarkannya itu adalah ancaman yang mengerikan untuk kami berdua.
“Gile nih amoy… cantik amat… nggak kalah sama Eliza”, puji Pandu dengan norak dan ia mulai mendekati Jenny yang kini makin terlihat panik.
Pandu segera menarik Jenny yang masih duduk di sampingku ini ke ranjang sebelah, tempat pak Edy duduk. Tak ada perlawanan yang dilakukan oleh Jenny. Sepertinya Jenny sadar, kalaupun ia melawan juga akan sia sia. Lalu Pandu duduk di samping Jenny, dan kini Jenny berada di tengah Pandu dan pak Edy, seperti seekor kelinci yang sudah tertangkap dua ekor serigala.
“Dedi, kamu tidak ikut berkenalan dengan Jenny?”, tanya pak Edy pada Dedi yang herannya masih berdiri saja di tempatnya sejak tadi.
“Tidak usah dulu pak Edy, saya sih maunya sama Eliza saja”, kata Dedi sambil menatapku, membuatku langsung membuang muka.
“Jangan… Eliza sedang sakit… kalian jangan ganggu Eliza…”, tiba tiba Jenny berkata memohon.
“Wah, jadi kamu mau memonopoli kontol semua laki laki di ruang ini ya Jenny? Bapak tidak menyangka kamu doyan ngeseks juga”, tanya pak Edy dengan senyum mengejek.
“Bukan begitu pak… Eliza sedang sakit… bapak boleh apakan Jenny sesuka bapak, tapi biarkan Eliza istirahat”, jawab Jenny lemah sambil menunduk, wajahnya memerah, mungkin saat ini Jenny amat marah karena mendengar penghinaan pak Edy yang keterlaluan itu.
“Jen…”, aku mengguman pelan, rasanya air mataku sudah akan menetes.
Aku terharu sekali, Jenny benar benar sayang padaku. Ingin rasanya aku memeluk Jenny dan bersandar di pundaknya, atau mencium bibirnya, pokoknya aku ingin menyayanginya. Ingin rasanya aku membawa Jenny keluar dari situasi ini, tapi sekarang ini posisi kami sama sama sedang terjepit.
“Ya, hari ini biarkan Eliza istirahat dulu Dedi, tadi dia sakit. Mungkin kecapaian setelah main sama kita kemarin”, kata pak Edy sambil tertawa.
Dasar sok tahu. Aku memang kecapaian, tapi jelas bukan gara gara ‘cuma’ digangbang tiga orang seperti mereka ini, apalagi salah satunya, yaitu pak Edy, sudah hampir impoten ini, tapi tenagaku terkuras habis di tempat tukang tambal ban kemarin, juga akibat bercinta semalam suntuk dengan Cie Stefanny.
“Beres pak, saya sih duduk di sebelah amoy secantik Eliza ini juga sudah senang”, kata Dedi sambil mendekatiku.
Aku cukup terpengaruh dengan rayuan Dedi tadi. Ia masih memuji kecantikanku seolah tak melihat kecantikan Jenny yang sama sekali tak kalah dariku. Dan kata kata Dedi tadi itu diam diam membuatku senang juga. Siapa sih cewek yang nggak senang kalau kecantikannya dipuji? Tapi aku berusaha tak memperlihatkan rasa senang ini, aku lebih memilih menjaga harga diriku yang mungkin sebenarnya juga entah sudah jatuh seperti apa di mata mereka.
Selagi aku hanya bisa menunggu Dedi berbuat sesuatu terhadapku, Jenny sudah mulai dikerubuti oleh pak Edy dan Pandu. Pak Edy dengan seenaknya merangkul Jenny dan melumat bibirnya, sementara Pandu yang seperti tak mau ketinggalan, dengan sedikit kasar meraba dan meremasi kedua payudara Jenny yang masih tertutup kaus olahraga itu.
“Emmh… oooh… mmmhhh…”, dengan mata terpejam, Jenny hanya menggeliat pasrah dan merintih tanpa perlawanan sedikitpun.
Pemandangan erotis ini membangkitkan gairahku, membuatku memalingkan mukaku dengan jantung yang berdebar. Tapi aku jadi melihat Dedi yang duduk di sampingku. Ia memandangi diriku seperti menginginkanku dan kedua tangannya mulai meremasi kedua payudaraku yang masih tertutup kaus olahragaku.
Aku segera menepis tangannya karena aku tak ingin makin terbakar oleh gairahku. Dan tak ingin bertatap muka dengannya, aku kembali mengalihkan pandanganku ke arah Jenny yang terus digumuli oleh pak Edy dan Pandu itu.
Akhirnya pak Edy puas juga menciumi Jenny. Kini ia merebut payudara kiri Jenny dari tangan Pandu, dan kini kedua payudara Jenny jadi mainan kedua orang itu. Jenny kembali hanya bisa merintih pasrah, sesekali ia menatapku dengan pandangan memelas.
Maafkan aku Jen, aku tak bisa berbuat apa apa untuk menolongmu…
Tak ada yang bisa kulakukan untuk menolong Jenny. Aku sendiri yang masih amat kelelahan, hanya bisa menepis dan menepis kedua tangan Dedi yang sibuk mencari kesempatan utnuk menggerayangi kedua payudaraku selagi aku terbaring lemas di ranjang UKS ini.
Jenny
Jenny
Dan toh kalaupun aku punya tenaga, aku sadar juga tak akan mampu berbuat apapun untuk menyelamatkan Jenny, ataupun diriku sendiri. Aku makin merasa bersalah memikirkan Jenny yang bernasib seperti karena menemaniku di ruang UKS ini.
Dan lamunanku terhenti ketika tiba tiba aku melihat Pandu berhenti memainkan payudara Jenny, lalu ia medekati lemari kotak obat di dinding.
“Oh… kamu mau apa…”, Jenny mendesis ketakutan ketika Pandu kembali mendekatinya sambil membawa gunting yang diambilnya dari lemari itu tadi.
“Kamu sudah gila ya?? Jenny kan sudah tidak melawan, kok kamu masih ingin melukai Jenny?” dengan suara pelan aku membentak Pandu antara marah, ngeri dan kuatir.
“Memangnya siapa yang ingin melukai cewek secantik Jenny ini?”, bantah Pandu tanpa menoleh padaku, dan ia terus mendekati Jenny.
“Mmmh…”, Jenny merintih ketika Pandu menekan nekan bagian selangkangan Jenny.
“Ini memekmu ya?”, tanya Pandu sambil menekankan jarinya dengan nakal di tengah tengah daerah selangkangan Jenny.
“Angghhk… iyaa…”, keluh Jenny.
“Tapi… tapi kamu…”, Jenny makin panik dan tak meneruskan kata katanya.
Kini Jenny tak berani bergerak dan hanya memandang ngeri ketika Pandu menarik bagian selangkangan celana olahraga yang dikenakan Jenny itu, lalu menggunting pada bagian sambungan jahitan itu, membuat sebuah lubang kecil.
“Oooh…”, Jenny memejamkan matanya sambil merintih ketika Pandu sudah menarik celana dalam Jenny yang terlihat dari lubang itu.
Sebuah guntingan segaris yang dilakukan oleh Pandu pada celana dalam itu meninggalkan lubang, yang membuatku mengerti apa yang kira kira ingin dilakukan Pandu.
Diam diam aku makin larut dalam gairahku, apalagi ketika aku bisa melihat bibir vagina Jenny dari lubang yang dibuat Pandu pada celana olahraga dan celana dalam Jenny. Aku sudah tidak ada niat untuk menepis tangan Dedi yang makin sibuk menggerayangi tubuhku.
Bahkan diam diam aku menikmati setiap remasan pada kedua payudaraku ini, sambil membayangkan betapa sexynya Jenny kalau ia diperkosa dalam keadaan seperti itu, bahkan gilanya aku sampai hati membayangkan diriku yang berada di posisi Jenny sekarang ini…
Sementara Jenny sendiri memandang Pandu dengan memelas, seperti memohon agar Pandu tak meneruskan niatnya. Tapi aku tahu kalau Jenny sebenarnya juga sudah mengerti, sama sepertiku, bahwa kami berdua tak akan lolos begitu saja dari situasi sekarang ini.
“Ngghkk…”, Jenny melenguh tertahan dan tubuh Jenny tersentak ketika Pandu memagut bibir vaginanya.
Pandu terus melumat bibir vagina Jenny, sedangkan Jenny meronta menggoyangkan pinggulnya ke kanan dan ke kiri, seperti ingin melepaskan bibir vaginanya dari cumbuan Pandu. Tapi Pandu menangkap dan mengait kedua paha Jenny dengan kedua lengannya, hingga kini Jenny tak bisa kemana mana lagi. Tak ada lagi yang bisa dilakukan Jenny selain merintih rintih dalam siksaan kenikmatan yang menderanya.
Aku mendengar jelas suara cairan yan diseruput oleh Pandu, mungkin itu cairan cinta Jenny. Tak lama kemudian tubuh Jenny mengejang dan pinggangnya tertekuk ke atas dengan sexy, dan tepat pada saat itu pak Edy dengan kejam meremas kedua payudara Jenny kuat kuat.
“Ngghh… udah… ampuun…”, Jenny merintih lemah.
Tapi Pandu terus memagut bibir vagina Jenny. Kedua tangan Jenny mencengkram sprei ranjang UKS itu, dan sesaat kemudian Jenny mendesah tak karuan dan ia mencoba menekan kepala Pandu untuk melepaskan pagutan pada bibir vaginanya. Tampaknya Jenny sudah mulai tersiksa oleh kenikmatan yang menderanya.
“Sudah Jenny, kamu diam saja”, kata pak Edy sambil menangkap dan menarik kedua pergelangan tangan Jenny itu ke atas kepala Jenny.
“Tapi… ooh…”, Jenny merintih tertahan.
Jenny terus menggeliat dengan kedua tangannya yang tertahan oleh cengkeraman tangan pak Edy. Tiba tiba kepala Jenny terdongak dan tubuhnya mengejang ngejang tak karuan.
“Ngghh… adduuh…”, Jenny melenguh dan merintih, kelihatannya Jenny sudah mengalami orgasme.
“Sluuurpp…”, Pandu terus menyeruput cairan cinta Jenny sepuas puasnya, sementara Jenny terus menggeliat dan mengejang tanpa daya.
“Ongghh… sudah Panduu… amppuuun…”, Jenny merintih dan menggelinjang tak karuan.
Pinggang Jenny sampai terangkat angkat dengan sexy ketika Jenny menggelepar sejadi jadinya melepaskan orgasmenya. Dan semua gerakan erotis Jenny itu baru mereda ketika akhirnya Pandu selesai menikmati tetes terakhir cairan cinta Jenny.
Kini Jenny tergolek lemas dengan nafas tersengal sengal, sedangkan Pandu menjilat bibirnya sendiri sambil tersenyum penuh kemenangan.
Tanpa memberi kesempatan Jenny istirahat berlama lama, Pandu sudah melepaskan celana panjangnya berikut celana dalamnya. Kini penisnya yang hitam panjang itu sudah tegak mengacung, membuat wajah jelita Jenny yang tadinya sayu memelas karena larut dalam orgasme, kini berubah menjadi ekspresi ngeri.
“Nggak usah takut amoy sayang”, kata Pandu sok mesra pada Jenny.
Pak Edy mengangkat Jenny hingga terduduk, lalu ia memeluk tubuh Jenny dari belakang supaya Jenny tak kembali jatuh terbaring di ranjang. Jenny yang kini bersandar pada tubuh pak Edy itu menggigit bibir ketika ujung kepala penis Pandu sudah menempel pada bibir vaginanya.
Kedua betis Jenny diangkat melebar oleh Pandu, hingga lubang di celana itu ikut melebar dan mempertontonkan bibir vagina Jenny, seolah memberikan jalan untuk penis Pandu yang siap mengaduk aduk liang vagina Jenny.
Entah apa yang dirasakan oleh Jenny sekarang, apalagi pak Edy yang memeluknya dari belakang itu dengan tak tahu dirinya kembali meremasi kedua payudara Jenny. Aku ikut menggigit bibir menyaksikan proses penetrasi yang mulai dilakukan oleh Pandu itu.
“Ja… jangan…”, Jenny merengek ngeri sambil terus memandang ke arah penis Pandu.
Pandu dengan nakal malah menggoyang goyangkan pinggulnya hingga kepala penisnya bergesekan dengan bibir vagina Jenny. Muka Jenny terlihat memerah, entah apakah Jenny sedang marah, takut, atau ia malah mulai terangsang diperlakukan seperti itu oleh mereka.
“Aaahh…”, Jenny merintih ketika kepala penis Pandu itu mulai membelah bibir vaginanya.
Pandu terus melesakkan penisnya ke dalam liang vagina Jenny. Setiap centimeter dari penis Pandu yang masuk membuat Jenny makin menggeliat. Tapi Jenny tak bisa ke mana mana, karena tubuhnya sudah terjepit di antara pak Edy dan Pandu.
Jantungku berdegup makin kencang melihat penis Pandu itu terus melesak makin dalam melewati lubang dari celana Jenny itu. Sungguh pemandangan yang amat erotis dan sexy melihat penis itu tertelan sepenuhnya di dalam vagina Jenny, selagi Jenny masih berpakaian lengkap itu, apalagi kini Jenny sudah pasrah dengan keinginan Pandu. Ia memejamkan matanya erat erat dan menyandarkan kepalanya di atas pundak kanan pak Edy.
“Mmmhh…”, Jenny merintih tertahan ketika pak Edy dengan cepat memanfaatkan keadaan ini untuk memagut bibir temanku ini.
Beberapa menit digagahi oleh Pandu dan juga pasrah membiarkan bibirnya dilumat habis oleh pak Edy, Jenny akhirnya tak tahan lagi. Entah seperti apa kenikmatan yang diperoleh Jenny, sekarang ia mulai menggeliat hebat. Aku melihat tubuh Jenny mengejang hebat, dan erangan serta rintihan dari Jenny yang tersumbat pagutan pak Edy membuat jantungku berdegup tak karuan.
Aku sudah tak bisa menahan diri, dan aku menoleh ke arah Dedi yang masih asyik meremasi kedua payudaraku.
“Ded… aku… aku juga mau…”, aku memohon dengan memelas.
“Juga mau apa cantik?”, kata Dedi sambil mencolek daguku.
Sebenarnya gaya Dedi tadi itu kampungan sekali, tapi aku tak memperdulikannya. Aku menguatkan hatiku, dan mengutarakan keinginanku lebih jelas.
“Aku juga mau seperti Jenny”, aku berkata dengan menahan malu, wajahku terasa panas sekali.
“Ohh… Elizaa… kamu ini kenapa… ngghh…”, tanya Jenny di sela rintihan dan lenguhannya.
Aku tak berani balas menatap Jenny yang kini kembali melenguh dalam himpitan Pandu yang terus memompa liang vaginanya dan pak Edy yang masih asyik meremasi kedua payudaranya.
“Oooh… jadi kamu juga mau celanamu dilubangin seperti itu?”, tanya Dedi lagi yang tersenyum lebar.
Aku melupakan semua harga diriku, dan aku memejamkan mataku sambil mengangguk perlahan.
“Elizaa… jangaan…”, Jenny merintih.
Aku menggigit bibir menahan malu yang amat sangat ini, dan aku tak tahu harus menjawab apa pada Jenny. Aku benar benar menginginkan kenikmatan yang dirasakan Jenny sekarang. Aku berusaha tak memperdulikan tawa Dedi yang terdengar begitu senang itu. Kini aku hanya berharap harap cemas menunggu Dedi memenuhi keinginanku.
Sentuhan jari Dedi pada bibir vaginaku begitu terasa karena aku tak memakai celana dalam. Aku menggeliat tertahan dan membuka mataku, menatap ke arah selangkanganku dengan sayu. Dedi menarik celana olahragaku di bagian selangkanganku itu, lalu mengguntingnya dengan hati hati.
Dedi tertegun sejenak menatap selangkanganku, lalu ia tersenyum lebar. Rupanya ia sudah tahu kalau aku memenuhi ancamannya untuk tidak memakai celana dalam di sekolah. Dengan sebal aku membuang muka, tapi Dedi dengan nakal mengelus bibir liang vaginaku yang kini pasti bisa terlihat dari lubang yang baru saja dibuatnya di celana olahragaku ini.
“Mmm… Ded… “, aku menyerah dan merintih nikmat.
Benar benar gila, aku bahkan merasa kecewa ketika Dedi menghentikan elusan jari tangannya pada bibir vaginaku. Dedi melepaskan pegangan tangannya pada bagian celana olahragaku yang tadi ditariknya, lalu mengembalikan gunting itu di lemari. Kini Dedi mendekatiku dan kepalanya terus turun menuju selangkanganku.
“Cantik, memekmu udah basah gini… udah pengin ya?”, tanya Dedi yang terus menatap dengan penuh nafsu ke arah selangkanganku.
Walaupun wajahku rasanya panas mendengar pertanyaan mesum Dedi itu, aku sendiri sudah tak tahan lagi dan ingin rasanya aku berteriak memaksa Dedi segera menggoda, menyentuh atau malah memperkosa liang vaginaku.
Tapi aku belum setega itu untuk menghancurkan harga diriku sendiri. Aku hanya bisa menatap Dedi dengan penuh permohonan, menunggunya memberiku kenikmatan seperti yang dirasakan oleh Jenny sekarang ini. Setiap desahan dan lenguhan Jenny yang kudengar hanya membuatku makin iri padanya, dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang ini.
“Mmmhh…”, aku merintih dan menggeliat ketika aku mendapat apa yang kuharapkan.
Dedi menjilati bibir vaginaku dan aku sendiri mencengkreram sprei ranjang ini kuat kuat. Kepalaku terdongak dan badanku tersentak ketika Dedi melesakkan lidahnya menerjang liang vaginaku, dan Dedi memagut bibir vaginaku setelah lidahnya terbenam cukup dalam. Dengan kejam Dedi memainkan lidahnya di dalam sana, membuatku menggelepar tanpa daya dan melenguh lenguh sejadi jadinya.
“Ssst… diam cantik, nanti yang di luar dengar!”, kata Dedi mengingatkanku sambil meremas kedua payudaraku.
Aku tergolek lemas, jilatan itu sudah berhenti. Aku memejamkan mata dan menenangkan diriku, tapi aku terus menunggu nunggu nikmatnya siksaan berikutnya dari Dedi.
“Cantik… aku perkosa kamu sekarang ya”, bisik Dedi di telinga kiriku.
Kata kata Dedi membuat perasaanku makin tersengat, dan aku mengangguk pasrah sambil membuka mataku, menatap sayu pada Dedi yang kini melepas celana panjang dan celana dalamnya. Lalu ia naik ke ranjang tempat aku berbaring ini, dan mulai bersiap untuk menggagahiku.
“Siap ya cantik”, kata Dedi ketika ia mulai menekankan kepala penisnya pada bibir vaginaku.
Urat urat tubuhku serasa mengejang ketika aku bersiap menerima tusukan penis Dedi yang mulai membelah bibir liang vaginaku.
“Ahh… sakit Ded…”, aku merintih dan mengeluh ketika Dedi menghunjamkan seluruh penisnya begitu saja tanpa ampun.
Berikutnya Dedi melebarkan pahaku dan menekan nekan penisnya dalam dalam menusuk liang vaginaku, lalu ia merebahkan tubuhnya di atasku. Kami saling bertatapan. Kurasakan Dedi menatapku dengan mesra, dan aku memalingkan wajahku ke kiri ketika Dedi menurunkan kepalanya.
“Cantik, sudah terima SMSku tadi?”, bisik Dedi di telingaku.
Aku menatap Dedi dengan kesal sekaligus terangsang. Teringat kata katanya di SMS tadi itu membuatku kesal, sementara penisnya yang bersemayam di dalam liang vaginaku ini berdenyut kuat, memaksaku larut dalam gairah.
“Kamu tahu nggak Eliza… kalau kamu melirik seperti itu… kamu makin cantik…”, desah Dedi merayuku sambil memulai genjotan penisnya pada liang vaginaku.
Aku mulai menggeliat nikmat di bawah tindihan Dedi. Aku merasa begitu sexy menyadari penis Dedi sekarang ini mengisi liang vaginaku melewati lubang di celana olahraga yang kukenakan ini. Apalagi kini kedua pergelangan kakiku dipegang oleh Dedi dan sudah tak bisa kugerakkan lagi sesuka hatiku. Rasa tak berdaya ini makin menambah sensasi kenikmatan yang kurasakan pada liang vaginaku.
Dedi terus menyetubuhiku dan menatapku dengan mesra seperti yang dilakukannya di tempat tambal ban kemarin. Penisnya itu bergerak gerak maju mundur mengorek dinding liang vaginaku, selagi aku hanya bisa pasrah dan menggeliat keenakan.
“Ooh… Eliza…”, Dedi meracau keenakan.
Tapi si kurang ajar ini tega menghentikan genjotan penisnya pada liang vaginaku.
“Ooh…”, aku mengeluh kecewa dan menatap Dedi dengan memelas.
“Eliza… capek nih… kamu sih kemarin hot amat di tempat tambal ban itu… sekarang kamu aja yang main ya”, bisik Dedi yang kini hanya diam dan menatapku dengan pandangan nakal dan mesum.
Aku melotot pada Dedi, berusaha memberinya isyarat untuk tak meneruskan cerita tentang kemarin.
Aku jadi kuatir kalau kalau ucapan Dedi ini terdengar oleh Jenny, dan terutama pak Edy dan Pandu. Kalau mereka tahu kemarin aku dijadikan obyek pesta seks oleh Dedi di tempat tambal ban itu, bukan tidak mungkin nasibku akan semakin buruk.
Tapi untungnya pak Edy dan Pandu terlalu sibuk menggumuli Jenny, sedangkan Jenny sendiri keliatannya dalam keadaan berjuang menahan siksaan kenikmatan yang mendera dirinya. Aku harap tak ada yang mendengarkan kata kata Dedi tadi.
Aku menggigit bibir dan memejamkan mata menahan birahi yang bergolak semakin liar di dalam tubuhku ini. Selagi aku tak tahu harus berbuat apa, aku kembali terbeliak dan melenguh ketika Dedi tiba tiba kembali memompa liang vaginaku.
“Oooh… aduuh… ngghh…”, aku merintih dan melenguh, tapi hanya sebentar karena Dedi kembali menghentikan gerakannya.
“Ayo cantik… goyang dong”, Dedi kembali memintaku.
Aku tak punya pilihan lain, aku menginginkan kenikmatan itu. Maka aku mulai menggoyangkan pinggulku dan membuat penis Dedi terkocok dalam liang vaginaku. Dedi mendesis keenakan, sedangkan aku sendiri makin menderita karena aku malah terangsang hebat akibat adukan penis Dedi pada liang vaginaku, dan tanpa bisa kutahan lagi aku mulai bergerak liar mencari kenikmatanku sendiri.
Pinggulku kuangkat agak tinggi dan kudorongkan maju hingga penis Dedi tertelan semakin dalam di liang vaginaku. Aku terus mendorong dorong pinggulku ke arah Dedi, dan akibatnya rasa ngilu yang mendera liang vaginaku makin menggila.
“Engghhk…”, aku melenguh dan merintih ketika Dedi menangkap dan menarik pinggulku ke arah tubuhnya, membuat tusukan penis Dedi itu terasa begitu dalam.
Kini kami berdua sama sama menggoyangkan pinggul kami sejadi jadinya. Dinding liang vaginaku teraduk aduk dengan hebat, membuatku mendesis, merintih dan melenguh. Tubuhku rasanya semakin lemas, tapi setiap hentakan yang dilakukan Dedi memaksa tubuhku mengejang dan menggeliat.
Aku benar benar menikmati semua ini dan tanpa ampun lagi orgasme ini mulai menderaku. Kedua betisku melejang lejang tak karuan dan sekarang ini tubuhku rasanya capek sekali. Liang vaginaku terasa begitu ngilu karena otot liang vaginaku terus berdenyut tak karuan dalam keadaan terisi penuh oleh sebatang penis, milik Dedi.
Otot perutku juga seperti tak mau ketinggalan menambahkan rasa sakit bercampur nikmat yang menderaku ini, dengan terus berkontraksi dan mengejang sampai rasanya hampir kram. Entah sampai kapan aku kuat menerima rasa sakit dan nikmat yang terus menderaku ini, dan juga orgasme ini terus menerus menyiksaku.
Aku semakin kecapekan dan sudah kehabisan tenaga untuk menggeliat. Dalam keadaan orgasme, aku hanya bisa pasrah membiarkan tubuhku terhentak hentak dipermainkan Dedi yang semakin bersemangat menghunjam hunjamkan penisnya mengaduk liang vaginaku. Sambungan tulang tulang di tubuhku rasanya seperti akan lepas semua, membuatku makin lemas dan tak berdaya.
Tapi aku amat menikmati siksaan orgasme yang terus menderaku sekarang ini. Penis yang memompa liang vaginaku tanpa henti itu benar benar membuatku makin tenggelam dalam birahi. Aku merintih dan tubuhku bergetar hebat tak kuasa menahan nikmat yang melanda selangkanganku ini. Setiap denyutan yang kurasakan dari penis Dedi menambah semua sensasi yang menjalari tubuhku.
Rintihanku, juga rintihan Jenny, bersahut sahutan dengan dengusan dua pejantan yang memperkosa kami di dalam ruang UKS ini, ketika…
‘tok tok…!’, terdengar suara ketukan di pintu UKS ini.
Serentak kami semua menghentikan pesta seks ini. Aku memandang panik ke arah pintu, lalu saling bertatapan dengan Jenny yang kini wajahnya pucat pasi. Entah siapa yang datang, tapi yang pasti jangan sampai ia mendapati suasana mesum di ruang UKS ini.
“Jenny? Eliza? Kalian masih di dalam? Kok pintunya dikunci?”, terdengar suara pak Harjono.
Dedi segera mencabut penisnya dari liang vaginaku, dan mencari cari celana panjang dan celana dalamnya yang berserakan di lantai. Demikian juga dengan Pandu, yang segera melepaskan Jenny yang masih di dalam pelukan pak Edy.
Jangan tanya raut muka pak Edy, dia terlihat paling panik di antara kami semua, hingga diam diam aku ingin tertawa. Dasar pengecut, setelah tega menjerumuskan aku dan Jenny dalam situasi yang menyedihkan, kini ia sendiri ketakutan seperti seorang maling yang terpojok.
“Iya pak… saya dan Eliza masih di dalam”, jawab Jenny.
“Lalu kenapa kok pintunya ini dikunci?”, tanya pak Harjono lagi dengan cepat.
“Pintunya… soalnya tadi saya sedang mengompres badan Eliza pak… saya takut ada yang masuk”, jawab Jenny yang kemudian tersenyum lega padaku, mungkin karena Jenny merasa telah berhasil mendapatkan jawaban yang bagus.
Aku sendiri juga merasa lega, sungguh satu alasan yang sempurna, jadi pak Harjono tak akan curiga yang tidak tidak karena pintu yang terkunci itu.
“Ooo… coba kamu cepat selesaikan, bapak mau masuk dan melihat keadaan Eliza. Kalau memang panas badan Eliza masih mengkhawatirkan, sebaiknya bapak antar Eliza ke dokter”, kata pak Harjono.
“Iya pak, sebentar…”, kata Jenny.
Aku dan Jenny cepat cepat merapikan diri sebisanya. Perasaanku campur aduk, antara merasa terselamatkan oleh kedatangan pak Harjono, tapi aku juga agak takut kalau kalau pak Harjono mengetahui apa yang baru terjadi padaku dan Jenny di ruang UKS ini.
Tapi… ya ampun, bagaimana ini? Mana mereka bertiga itu malah mematung seperti menunggu datangnya setan yang akan mencabut nyawa mereka.
“Pak! Kalian! Kalian semua ini gimana sih? Cepat sembunyi!”, aku membentak mereka dengan suara pelan.
Seperti tersadar, mereka segera bergegas memunguti helai helai pakaian mereka yang masih tercecer tak karuan di atas lantai, dan mereka… malah berimpit impitan bersembunyi di pinggir lemari!
“Eh? Kok malah di sana semua sih??? Cepat sembunyi di bawah sini!”, bentak Jenny yang juga dengan suara pelan, sambil menyeret mereka semua untuk bersembunyi di kolong ranjang tempat dimana tadi Jenny tadi digagahi oleh Pandu, lalu Jenny membeber selimut pada ranjang itu, menutup sisi kolong ranjang yang akan terlihat oleh pak Harjono nanti.
“Mana kunci pintunya pak?”, Jenny meminta kunci pintu pada pak Edy.
Kulihat tangan pak Edy terjulur keluar dari kolong ranjang dan memberikan kunci itu pada Jenny. Lalu Jenny menatapku sambil mengangkat kunci itu, seolah meminta persetujuanku. Setelah aku merasa sekarang ini sudah aman, aku mengangguk dan kemudian Jenny membuka kunci pintu.
“Bagaimana Eliza? Masih sakit?”, tanya pak Harjono yang melangkah masuk dan mendekatiku.
“Iya pak… tapi sekarang Eliza udah merasa agak mendingan kok”, kataku lemah.
Untung saja tadi itu gairahku langsung padam, dan aku punya waktu yang cukup untuk mengatur nafasku hingga kini nafasku sudah kembali normal. Dan tak lupa aku merapatkan kedua pahaku, agar lubang yang dibuat oleh Dedi pada bagian selangkangan celanaku ini tak sampai terlihat oleh pak Harjono. Nggak lucu kalau pak Harjono bertanya tentang lubang itu, atau tentang cairan cintaku yang membasahi daerah itu.
“Coba bapak periksa sebentar Eliza”, kata pak Harjono sambil meraba keningku.
Aku hanya tersenyum tipis, membiarkan pak Harjono memeriksa keadaanku. Hatiku rasanya sejuk mendapat perhatian seperti ini, yang kelihatannya bukan topeng yang menyelubungi niat tersembunyi pak Harjono untuk sekedar menyentuh tubuhku.
“Hmm… sepertinya panas badanmu sudah tidak terlalu tinggi seperti tadi, Eliza. Tapi jelas kamu masih sakit, dan kalau kamu mau pulang untuk beristirahat, atau menemui dokter, silakan. Bapak akan Bantu urus ijinnya. Kalau perlu bapak bisa mengantarkan kamu ke dokter”, kata pak Harjono sambil menurunkan tangannya yang tadi meraba keningku.
Sayang sekali, seharusnya aku bisa saja mengiyakan tawaran pak Harjono ini. Tapi Jenny sudah menjadi korban kebejatan pak Edy dan Pandu karena menemaniku di ruang UKS ini, dan sekarang aku tak mau meninggalkan Jenny sendirian di sini bersama mereka.
Apalagi nanti jam terakhir adalah pelajaran geografi. Pak Edy yang mengajar geografi itu mungkin akan mencari segala macam alasan untuk memanggil Jenny ke ruangannya, dan di sana Jenny akan menanggung derita seperti yang selama ini sering kualami.
Selain itu, aku takut kalau nanti atau besok aku dan Jenny malah mendapat ‘hukuman’ tambahan dari wali kelasku yang bejat itu.
“Enggak pak, terima kasih. Eliza sudah agak enakan kok”, aku menolak walaupun aku amat menyesali kata kataku ini.
Pak Harjono menggeleng gelengkan kepalanya.
“Memangnya kamu kenapa kok sampai jatuh sakit seperti ini, Eliza?”, tanya pak Harjono.
“Mmm… kemarin Eliza belajar untuk ulangan sampai larut malam pak. Jadi sekarang Eliza mungkin kecapekan karena kurang tidur”, lagi lagi aku berbohong soal penyebab kurang tidurku.
“Oh.. begitu… Memang seperti yang bapak dengar dari guru guru lain, kamu itu murid yang pandai dan rajin, tapi jangan lupa, kesehatan juga harus dijaga. Ya sudah… kamu istirahat saja di sini, sampai kamu sembuh”, kata pak Harjono.
“Aduh… makasih pak”, aku tersenyum malu.
“Oh iya Jenny, kalau kamu tidak keberatan, temani Eliza sampai jam olahraga selesai”, kata pak Harjono pada Jenny.
“Iya pak, saya nggak keberatan kok”, kata Jenny.
“Baik, kalau gitu saya kembali dulu ke aula. Kalau ada apa apa, cari saya di aula ya Jenny”, kata pak Harjono yang disambut oleh anggukan dan senyum manis oleh Jenny.
‘kriiing…’, bel tanda pergantian jam pelajaran berbunyi, dan pak Harjono keluar meninggalkan kami.
Artinya jam olahraga sudah tinggal satu jam pelajaran lagi, dan itu adalah 45 menit. Dan selama itu aku dan Jenny harusnya bisa mendapat ‘jatah’ beristirahat di dalam ruang UKS ini, tapi kelihatannya kami tak bisa menikmatinya karena kami masih harus berurusan dengan tiga pejantan bejat itu.
Jenny menutup pintu itu, tapi ia tak memutar kunci pintunya. Lalu Jenny menarik dan memegang kunci itu dalam genggaman tangannya. Jenny memandangku sejenak dan menghela nafas panjang, lalu ia memandang ke arah kolong ranjang tempat bersembunyinya tiga lelaki bejat itu.
“Kalian bertiga sudah boleh keluar”, kata Jenny dengan dingin.
Perlahan mereka bertiga muncul dari balik kolong ranjang itu dan mereka terlihat masih tegang. Pak Edy sendiri langsung menuju ke kursi dan duduk menenangkan diri. Selagi Dedi dan Pandu memakai pakaian mereka, Jenny duduk di sampingku dan membelai keningku.
“Jen…”, entah apa yang harus kukatakan, sekarang ini aku terharu karena aku merasa Jenny begitu sayang padaku.
“Kamu nggak apa apa kan Eliza… kamu istirahat aja ya”, kata Jenny pelan sambil terus membelai keningku.
Aku mengangguk lemah dan tak banyak bergerak, hanya melihat situasi di ruangan ini sekarang. Pak Edy masih diam, kelihatannya ia masih cukup shock dengan kejadian tadi. Pandu yang sudah selesai berpakaian itu mendekati Jenny dan mengulurkan tangannya.
“Maafkan saya Jen, terima kasih sudah menyembunyikan kami”, kata Pandu.
“Tak perlu berterima kasih. Sekarang aku minta kamu keluar dari ruangan ini!”, jawab Jenny ketus sambil membuang muka tanpa menyambut uluran tangan Pandu.
“Jenny, saya sungguh minta maaf untuk semua ini. Eliza, tolong maafkan saya untuk yang kemarin”, kata Pandu dengan raut muka yang sedih, hingga aku merasa sedikit aneh.
Sesaat kemudian Pandu melangkahkan kakinya keluar dari ruang UKS ini dengan kepala tertunduk seperti seekor anjing yang baru kalah berkelahi. Kini tinggal Dedi yang juga hampir selesai mengenakan pakaiannya, dan pak Edy yang masih terduduk lemas di kursi itu. Sepertinya pak Edy masih shock dan belum bisa menguasai dirinya.
“Eliza, kamu kecapekan ya? Kalau kamu mau, kapanpun kamu boleh ke rumahku… Eh kalian jangan marah dulu, ayahku itu tukang pijat, tuna netra”, Dedi buru buru menjelaskan ketika ia melihatku dan Jenny melotot padanya.
“Tuna… netra…?”, tanyaku ragu, rasa kesalku langsung surut dan berubah menjadi rasa iba pada Dedi.
“Ya. Walaupun ayahku buta, tapi dia ahli menghilangkan rasa capek. Jadi kapan saja kamu merasa capek, kamu boleh ke rumahku untuk dipijat ayahku. Dan khusus untuk kamu, gratis”, kata Dedi.
Aku memandang Dedi ragu, lalu aku memandang Jenny seperti meminta pendapat atau persetujuan darinya. Tapi Jenny cuma diam memandangku dengan raut muka kesal. Sepertinya Jenny nggak suka melihatku menanggapi kata kata Dedi tadi.
“Oh iya, kalau kamu juga capek, kamu boleh datang Jen… dan juga gratis untuk kamu”, Dedi juga memberikan tawaran aneh itu pada Jenny.
“Memangnya aku pikir aku akan mau? Dan lagian, ngapain juga kamu ngasih aku gratisan segala? Nggak perlu kali!”, kata Jenny ketus.
“Anggap saja ini permintaan maaf dan tanda terima kasihku pada kalian berdua, karena…”, kata kata Dedi terhenti karena Jenny dengan cepat memotong.
“Nggak ada perlunya kamu minta maaf atau terima kasih ke aku. Tadi itu kamu menyentuh aku juga nggak. Kamu itu harusnya cuma perlu minta maaf sama Eliza! Udah tau Eliza sakit, masih saja kamu perkosa”, bentak Jenny dengan kesal sambil melotot pada Dedi walaupun dengan suara yang pelan.
Dedi tertunduk diam seperti tak tahu harus berkata apa. Aku agak kasihan juga melihat Dedi dimarahi oleh Jenny, padahal tadi itu aku yang meminta Dedi untuk menggagahiku, atau lebih tepatnya menyetubuhiku.
Semua itu karena aku sama sekali tak bisa menahan gairahku ketika tadi aku melihat gerak dan liuk tubuh Jenny yang mengejang dengan sexy dan erotis ketika tadi Pandu merangsang Jenny, apalagi ketika Pandu melubangi celana olahraga Jenny pada bagian selangkangannya, dan aku merasakan sensasi yang sulit kugambarkan dengan kata kata ketika aku melihat penis Pandu keluar masuk melalui lubang itu selagi Pandu menggagahi Jenny tanpa melucuti celana Jenny.
“Ded, soal itu nanti akan kupikirkan. Sekarang kamu keluar, aku ingin istirahat”, kataku pelan sambil mengalihkan pandanganku ke pintu.
“Maafkan saya Eliza, dan sekali lagi terima kasih”, kata Dedi yang kemudian terus keluar dari ruang ini dengan kepala tertunduk.
Kini di ruang ini tinggal aku, Jenny dan pak Edy. Kelihatannya pak Edy sudah bisa menenangkan diri, dan ia mulai mengenakan pakaiannya. Aku dan Jenny saling berpandangan, menunggu entah apa yang akan dilakukan wali kelas kami yang bejat ini setelah semua kejadian tadi.
“Bapak keluar dulu sekarang, bapak harus mengajar. Jenny, kalau ada apa apa atau ada perlu, kamu bisa panggil bapak di kelas II G”, kata pak Edy.
Jenny hanya diam tidak menjawab, bahkan Jenny membuang muka seperti jijik melihat pak Edy.
“Pak Edy, besok malam saya nggak bisa datang pak. Saya sakit”, kataku cepat sekalian mencoba memperbaiki nasibku.
“Ya, tidak apa apa. Pertemuan besok sudah tidak penting Eliza”, kata pak Edy sambil terus melangkahkan kakinya dan keluar, diikuti Jenny yang kemudian langsung mengunci pintu ruangan ini.
Jenny kembali duduk di samping kananku, tapi ia terlihat seperti tidak senang, membuatku kuatir dan mengira ngira apa yang kira kira membuat Jenny bersikap seperti itu.
“Jen… kamu kenapa?”, tanyaku dengan ragu.
“Eliza… apa sih maksud si Dedi bilang kamu kemarin hot amat di tempat tambal ban itu?”, tanya Jenny.
“Aku… ini… nanti aku ceritakan di rumah aja ya Jen… jangan di sini…”, aku memohon.
Jenny termenung sejenak.
“Iya, kamu kan lagi sakit. Nanti pulang sekolah, kamu kuantar pulang ya sayang, sekalian nanti di rumahmu ceritain, kekasihku ini abis ngapain dan diapain kok sampai lemas seperti ini”, kata Jenny sambil menatapku nakal.
“Iih… apaan sih”, jawabku sambil meleletkan lidah.
“Pokoknya nanti kamu kuantar pulang! Nggak boleh menolak!”, kata Jenny tegas.
“Iya iya… makasih ya sayang”, aku menjawab pasrah.
“Ya udah, sekarang kamu tidur aja El…”, kata Jenny yang kemudian ikut berbaring di sampingku.
Kini kami berdua berdesakan di atas ranjang UKS yang cukup kecil ini, dan aku memejamkan mataku menikmati pelukan Jenny.
“Tapi awas kalau kamu berani suka sama Dedi!”, bisik Jenny di telingaku.
Aku sampai menoleh kaget mendengar ucapan Jenny, karena sama sekali tak kurasakan nada canda dari suara itu. Apalagi cara Jenny menatapku sekarang ini persis seperti ketika aku menatap tak senang pada Andy, sewaktu aku mendapati Andy sedang bercanda dengan siswi lain. Itu adalah tatapan cemburu!
“Jen?”, aku mendesis ragu.
“Tadi itu… waktu aku liat kamu nyerahin diri begitu aja… aku nggak suka! Kamu nggak boleh suka sama Dedi! Pokoknya nggak boleh! Lagian, ngapain juga sih kamu mau sama cowok sejelek itu?”, tanya Jenny dengan ketus.
“Aku nggak suka sama Dedi kok, Jen…”, aku membantah dengan cepat, karena aku memang tak merasa seperti itu.
“Bagus deh kalau kamu nggak suka. Dan tadi itu kamu sadar nggak sih kalau kamu itu lagi sakit?”, tanya Jenny, masih dengan nada yang ketus.
“Aku…”, kata kataku terhenti karena aku sudah tak tahu harus berkata apa.
Malu sekali rasanya kalau teringat betapa tadi itu aku bukan hanya menyerahkan diri, bahkan aku yang minta untuk digagahi oleh Dedi. Dan hal ini masih ditambah lagi dengan kekuatiranku akan nada cemburu yang kurasakan dari suara Jenny.
“Ya udah… yang penting kamu nggak boleh ninggalin aku… Eliza”, bisik Jenny sambil melingkarkan tangan kanannya di atas dadaku.
“Ih… kamu ini ada ada saja Jen…”, kataku sambil memeluk tangan Jenny yang menindih kedua bukit payudaraku ini
Aku berpikir untuk mencoba mengalihkan topik pembicaraan kami yang menurutku jadi semakin menegangkan ini. Entahlah, aku memang suka bermesraan dengan Jenny yang cantik jelita ini. Bahkan aku ingin bercinta dengan Jenny seperti kemarin aku bercinta dengan Cie Stefanny.
Tapi menurutku semua ini hanyalah untuk bersenang senang saja, bukan karena aku jatuh cinta pada Jenny. Aneh sekali rasanya kalau kemudian Jenny memintaku supaya tidak ‘meninggalkan’ dirinya, yang berarti aku tak boleh mencintai seorang laki laki, mencintai dalam arti sesungguhnya.
Harus kuakui, gairah yang melandaku saat berduaan dengan Jenny sering membuatku lepas kontrol, apalagi kedekatan hubungan kami berdua memang sudah tidak sewajarnya seperti persahabatan erat biasa.
Tapi aku sadar betul kalau kami berdua sama sama wanita. Seberapapun kami saling sayang, kami tak mungkin bisa menikah. Lagipula aku sudah mengidamkan seorang lelaki di dalam hatiku, maka aku makin khawatir dengan perkataan perkataan Jenny tadi.
“Tau nggak? Aku jadi ingat waktu dulu kita liburan di villamu… udah capek capek ngelindungin kamu, eh malah kamunya yang nyerahin diri ke penjaga villamu itu”, kata Jenny yang kini seperti merenung.
“Jeen…”, aku merengek malu karena diingatkan kembali tentang kejadian itu.
“Apalagi waktu itu kamu pakai sayang sayangan sama Sherly, aku sampai iri ngeliat kalian berdua. Tapi nggak apa apa sih. Gara gara itu, sekarang kamu kan malah jadi kekasihku”, kata Jenny yang kemudian mencium bibirku dengan mesra.
“Emmphh…”, aku merintih senang, lagi lagi aku sudah lupa diri dan membalas ciuman Jenny dengan mesra dan sepenuh hati, dan kami berciuman sampai nafas kami sama sama tersengal sengal.
“Mmm… aku sayang sama kamu…”, guman Jenny yang kini malah memejamkan matanya dan menyusupkan wajahnya di pundak kananku.
Jantungku makin berdegup kencang, sesaat aku sadar dan teringat akan kecemburuan Jenny tadi, dan lidahku rasanya kelu untuk menjawab atau berkata sesuatu.
“Sayang… kamu istirahat ya…”, bisik Jenny dengan mesra.
Aku mengangguk lemah dan diam saja. Sekali ini aku mencoba benar benar beristirahat. Mataku kupejamkan, kubuang semua pikiran yang memusingkan kepalaku ini dan aku mulai menikmati istirahatku dalam pelukan Jenny.
Akhirnya aku benar benar tertidur, memberikan istirahat pada tubuhku yang sudah terlalu lelah akibat ngeseks berkali kali sejak kemarin…
Dadaku tiba tiba terasa sesak. Kecupan lembut pada bibirku membuatku perlahan mencoba membuka mataku. Setelah aku benar benar terbangun, aku mendapati Jenny yang menindih tubuhku sedang mengecup mesra bibirku, hingga aku tersenyum dan merintih manja.
“Sayang… udah bangun ya…”, desah Jenny menyapaku dengan tatapan mata yang sayu.
“Mmm…”, aku hanya bisa merintih, dan jantungku berdegup kencang seiring dengan bangkitnya gairahku.
“Kamu udah nggak sakit sayang?”, tanya Jenny sambil terus menciumi bibirku.
“Udah… mendingan sih, Jen… mmmhh…”, aku berusaha menjawab di tengah hujan ciuman dari Jenny ini.
“Bentar lagi jam istirahat ke dua nih, Eliza. Aku ambilkan baju seragammu di kelas, kita ganti baju di sini aja ya”, kata Jenny yang beranjak bangun.
Aku menganggukkan kepala walaupun sebenarnya aku sedikit kecewa karena Jenny menghentikan cumbuannya padaku.
Jenny mengecup bibirku sekali lagi, lalu ia pergi keluar meninggalkanku di ruang UKS ini. Dering bel sekolah tanda jam istirahat ke dua sudah berbunyi. Aku kembali memejamkan mataku. Sambil menunggu Jenny, aku tersenyum senyum sendiri mengingat ingat kemesraan kami berdua ini.
‘klik’, kembali pintu ruang UKS ini terbuka.
Jenny masuk dengan membawa tas plastik, mengeluarkan dan menaruh isinya yang ternyata adalah baju seragam kami itu di atas meja. Jenny sendiri sudah berganti baju seragam sekolah. Lalu Jenny menatapku dengan senyuman nakal, membuatku kuatir dengan hal apa lagi yang kira kira akan dilakukan kekasihku ini terhadap diriku.
“Eliza, tadi aku ketemu pacarmu lho, bentar lagi dia mau ke sini”, kata Jenny.
“Eh? Siapa Jen?”, aku bertanya dengan bingung sekaligus penuh harap jika yang dimaksud Jenny adalah Andy.
“Ih… senangnya. Aku cemburu lho”, Jenny merajuk.
“Cemburu sama siapa Jen?”, tanya Sherly yang sudah masuk dan mengunci pintu ruang UKS ini, dan sekarang Sherly berdiri berada di samping Jenny.
“Sama kamu! Abisnya kekasihku ini senang sekali gitu waktu dia tau kamu mau ke sini”, jawab Jenny yang lalu langsung merangkul Sherly dan bibir mereka berdua saling berpagut dengan panasnya.
Sherly
Sherly
“Mmmhh…”, Sherly merintih mesra sambil memeluk Jenny.
“Ka… kalian?”, aku bertanya setengah tak percaya.
Pemandangan di depan mataku ini membuat nafasku mulai memburu. Kedua kekasihku yang cantik jelita ini saling memagut bibir dan saling peluk dengan begitu mesra. Kini pikiranku jadi melayang ke mana mana. Apa mereka berdua memang sudah terbiasa saling bermesraan seperti ini?
Terlintas di benakku tentang kekuatiranku tadi terhadap sikap Jenny yang sepertinya tak ingin aku mencintai orang lain. Dengan kejadian ini, aku berharap dugaanku tadi sama sekali tidak benar, melihat Jenny yang kini bersikap begitu mesra dengan Sherly di hadapanku.
Bahkan tadi ia sempat menggodaku dengan mengatakan kalau Sherly itu pacarku. Mungkin saja tadi itu Jenny sekedar tidak rela melihatku menyerahkan diriku pada Dedi, mengingat penampilan Dedi yang sama sekali nggak setara denganku.
“Kenapa sayang… kamu jealous ya ngelliatin Jenny kucium seperti ini?”, tanya Sherly sambil menatapku dengan pandangan menggoda
“Masa sih jealous? Maafin aku ya sayang… mmm… kalau gitu… sebagai permintaan maaf…”, kata Jenny yang kemudian mendekatiku diikuti Sherly.
“Kalian mau apa…”, aku bertanya dengan suara gemetar karena aku menjadi tegang melihat ekspresi wajah mereka yang jelas sekali sedang merencanakan sesuatu.
“Nggak ngapa ngapain kok sayang. Kita ini perhatiin kamu lho… kamu kan lagi sakit. Jadi aku dan Sherly mau membantu gantiin baju kamu”, kata Jenny dengan senyum tertahan sambil duduk di samping kananku, bersamaan dengan Sherly yang sudah duduk di samping kiriku.
“Eh?”, aku menoleh ke arah Jenny dan Sherly dengan agak terkejut, dan sebelum aku bisa berbuat sesuatu, mereka mulai menelanjangiku.
Kaus olahragaku ditarik mereka ke atas, dan aku hanya pasrah mengangkat tanganku, memudahkan Jenny dan Sherly melucuti kaus olahragaku ini.
“Duh… aku udah kangen deh sama punya Eliza ini”, kata Sherly yang kemudian menyusupkan wajahnya pada bukit payudara kiriku yang masih terbungkus bra ini, memaksaku menggeliat lemah menikmati cumbuan Sherly pada bukit payudara kiriku ini.
“Aku juga kangen…” desah Jenny dengan tatapan matanya yang sayu, dan kemudian Jenny ikut menyusupkan wajahnya pada bukit kanan payudaraku.
“Mmhh… ooh… kalian curang…”, aku merengek manja sambil mulai meremas remas rambut milik kedua kekasihku ini.
“Kok bisa curang sih sayang…”, desah Sherly di antara nafasnya yang memburu.
“Kalian kan… berdua… aku cuma satu… angghk…”, aku tak mampu meneruskan omelan manjaku ini karena aku harus melenguh melepaskan gejolak birahi akibat rangsangan hebat yang melandaku ketika Sherly kembali menekan payudara kiriku dengan wajahnya.
“Udah deh Sher… kalau kita sayang sayangan sama Eliza terus gini, kapan Eliza ganti bajunya?”, kata Jenny yang tiba tiba menghentikan cumbuannya pada payudara kananku.
“Iya iya… ayo Jen, kita bantuin Eliza untuk ganti baju”, kata Sherly sambil menggigit bibirnya dan menatapku dengan penuh gairah, membuatku tersenyum malu dan jantungku berdebar semakin kencang.
Jenny mengambil baju seragam sekolahku, sementara Sherly sudah mulai mengaitkan kedua jari telunjuk tangannya ke bagian pinggangku, menurunkan celana olahragaku. Aku hanya bisa menatap Sherly dengan tegang tanpa tahu harus berbuat apa selagi ia akan segera menelanjangiku.
Walaupun mereka berdua sudah pernah melihat tubuhku tanpa busana, tetap saja rasanya aneh dan kacau kalau mereka melucuti pakaianku di sekolah seperti sekarang ini. Aku merasa seolah akan diperkosa saja oleh kedua kekasihku ini.
“Ya ampun… Eliza?”, tanya Sherly yang terbelalak melihat ke arah selangkanganku.
Inilah salah satu hal yang kutakutkan sejak tadi. Sekarang ini Sherly pasti sudah melihat lubang yang tadi dibuat oleh Dedi pada jahitan di bagian selangkangan celana olahragaku. Reflek aku menurunkan kedua tanganku menutupi lubang itu, tapi aku sadar kalau Sherly tentu tak akan membiarkanku begitu saja.
“Buka dulu dong sayang, aku kan juga mau lihat”, kata Sherly lembut sambil menyingkirkan kedua tanganku.
“Jangan Sher… aku mmpph…”, kata kataku terputus ketika tiba tiba Jenny sudah memagut bibirku.
Selagi aku disibukkan oleh serangan Jenny, Sherly mulai menggoda liang vaginaku. Kurasakan satu jari tangan yang pasti milik Sherly itu mulai menguak sobekan pada bagian selangkangan celana olahragaku.
Kemudian jari itu menerobos masuk melalui lubang itu, membelah bibir vaginaku yang masih terkatup rapat ini. Jari itu terus melesak masuk dan mulai mengaduk liang vaginaku. Aku meronta lemah, tapi aku masih terlalu lemas untuk berbuat sesuatu.
“Mmpphh… ooohh… ngghhhk…”, aku merintih dan melenguh diterjang rangsangan bertubi tubi yang diberikan oleh kedua kekasihku ini, dan kepalaku kugelengkan kuat kuat, rasanya aku tak kuasa menahan siksaan kenikmatan ini.
“Sayang… ayo dong aku cium dulu”, bisik Jenny mesra dan menahan gelengan kepalaku dengan kedua tangannya, lalu ia memagut bibirku kembali.
“Mhhh…”, aku merintih tertahan.
Kini aku hanya bisa pasrah membiarkan kedua kekasihku ini berbuat sesuka hati mereka padaku. Kedua tanganku yang tadinya kupakai untuk mencoba mendorong tangan nakal Sherly ini sudah melemas, membuat Sherly makin leluasa menggoda liang vaginaku.
Aku sendiri mulai membalas pagutan Jenny untuk menikmati ‘perkosaan’ ini, sambil menunggu datangnya orgasme yang akan menyiksa tubuhku.
“Eliza… kamu sexy sekali…”, kudengar bisikan Sherly yang kini dengan nakal melesakkan jari tangannya yang ke dua ke dalam liang vaginaku.
“Engghh…”, aku terbeliak dan mengejang sambil melenguh antara kesakitan dan keenakan.
“Sayang, jangan ribut dong… nanti ketauan yang lain nih…”, desah Jenny yang lalu kembali memagut bibirku, membungkam lenguhanku yang makin menjadi karena Sherly terus mengaduk liang vaginaku tanpa belas kasihan.
Aku menggelepar sejadi jadinya di atas ranjang ini menikmati semua sensasi yang menjalari sekujur tubuhku. Kedua kakiku melejang tak karuan ketika rasa ngilu yang amat sangat ini mendera liang vaginaku.
Sprei ranjang tempat aku dibantai kedua kekasihku ini kucengkram kuat kuat dengan kedua telapak tanganku ketika gejolak liar itu mulai melanda tubuhku. Rasa ngilu yang makin menjadi pada liang vaginaku ini menandai datangnya orgasmeku. Kedua betisku melejang lejang tak karuan, dan cairan cintaku mulai membanjir.
Sherly dengan cepat mencabut jari tangannya, lalu ia tega menambah siksaan ini dengan memagut bibir vaginaku dan menyeruput semua cairan cintaku. Getaran nikmat yang menjalari sekujur tubuhku ini makin menghebat ketika Jenny yang masih melumat bibirku ini dengan nakal meremasi kedua payudaraku ini bergantian.
Pandanganku sudah mulai kabur dan aku mulai kehabisan nafas. Aku benar benar tak berdaya digempur kedua kekasihku ini, yang seperti berkerja sama untuk membuatku tersiksa dalam orgasme. Kini aku hanya bisa berharap semoga mereka segera menghentikan kenakalan mereka ini.
Akhirnya Sherly selesai menghisap habis cairan cintaku dan melepaskan pagutannya pada bibir vaginaku, sementara Jenny memang melepaskan pagutannya pada bibirku. Tapi kini Jenny mengecup mataku, pipiku, lalu sekujur wajahku. Mati matian aku berusaha mengatur nafasku dan menekan gairahku, walaupun kedua pahaku ini kurapatkan, menikmati sisa sisa dari sensasi orgasme tadi.
“Sayang… aku lepas celana olahragamu ya…”, kata Sherly dengan senyum yang nakal.
“Mmmhh…”, aku hanya bisa merintih di tengah hujan ciuman dari Jenny ini.
Sherly melucuti celana olahragaku ini, dan Jenny seperti bekerja sama dengan Sherly, ia melucuti kaus olahragaku. Kini aku tinggal mengenakan bra di hadapan mereka berdua. Dan sesaat kemudian, Jenny dan Sherly memapahku hingga aku berdiri.
Tak bisa kupungkiri, aku memang suka bercinta dengan mereka, tapi kondisi badanku saat ini benar benar hancur hancuran. Aku sudah akan merengek supaya mereka menghentikan penyiksaan ini, tapi Sherly meletakkan jari telunjuk kanannya pada bibirku.
“Enggak kok sayang, sekarang udah waktunya kamu pakai baju seragam. Kalau nggak, bisa bisa kita nggak keluar keluar dari sini”, bisik Sherly pada telinga kiriku.
“Ini salah kamu juga Eliza. Abisnya kamu sexy sih”, Jenny menggodaku dengan tatapan nakal.
“Tapi jangan kuatir deh sayang, nanti kita lanjutin di rumahmu kok”, kata Sherly sambil mengecup telinga kiriku ini, membuatku menggigil dalam birahi.
“Hah?”, sesaat kemudian aku nyaris memekik karena terkejut menyadari arti perkataan Sherly.
“Iya, kamu kan lagi sakit, jadi nanti kamu nggak boleh pulang sendiri Eliza! Aku dan Sherly yang antar kamu pulang!”, kata Jenny.
Aku mengangguk pasrah, walaupun hatiku menjadi resah. Aku teringat kalau di rumahku sekarang ini, Cie Stefanny mungkin masih menjadi bulan bulanan dua atau tiga serigala itu. Entah apa yang akan terjadi kalau Jenny dan Sherly melihat semua itu. Dan entah apa pula yang terjadi kalau mereka itu melihat kecantikan dua kekasihku ini.
Lamunanku buyar ketika Jenny mulai menghanduki tubuhku yang banjir keringat ini dengan handuk kecil yang memang selalu kubawa kalau ada mata pelajaran olahraga. Lalu Jenny memakaikan baju seragam sekolahku. Sherly juga memakaikan rok seragam sekolahku hingga aku sudah tak telanjang lagi. Aku duduk kembali di ranjang untuk mengenakan kaus kaki dan sepatuku.
“Udah yuk, kita balik ke kelas”, ajak Jenny.
“Tapi sebelumnya cium dulu dong”, kata Sherly yang langsung saja memagut bibirku dengan mesra.
“Mmm…”, aku merintih manja dan membalas pagutan bibir Sherly.
“Aku juga dong”, kata Jenny begitu ciumanku dan Sherly terlepas, dan Jenny langsung memagut bibirku tanpa memberiku kesempatan untuk bernafas.
“Mmmh… udah dong… kalian ini mau memperkosa aku sampai kapan?”, aku pura pura menggerutu ketika akhirnya Jenny puas memagut bibirku.
Kami semua tertawa geli, dan akhirnya acara sayang sayangan antara aku, Jenny dan Sherly ini berakhir juga. Setelah saling merapikan penampilan, kami semua keluar dari ruang UKS ini, ruang yang kini tak hanya meninggalkan kenangan pahit buatku, tapi juga kenangan indah berupa saat saat bercinta dengan Jenny dan Sherly.
“Hai Eliza… hai semua”, Andy menyapa kami begitu kami bertiga keluar dari pintu ruang UKS ini.
“Eh… hai Andy”, aku membalas sapaan Andy dengan gugup.
Entah sejak kapan Andy menungguku di luar ruang UKS ini, dan aku tak berani membayangkan kalau tadi lenguhanku saat Jenny dan Sherly merangsang tubuhku itu terdengar oleh Andy.
Selagi Jenny dan Sherly membalas sapaan Andy, aku merasa gelisah dan berharap harap cemas, semoga saja Andy tak mendengar apapun saat Jenny dan Sherly membuatku merintih dan melenguh di dalam ruang UKS tadi.
“Eee… aku bawain kamu Aqua ini… kamu tadi sakit ya?”, tanya Andy yang menyodorkan satu Aqua gelas, tapi ia terus menunduk seperti tak berani menatapku.
“Cieee… kok baik amat sih sama Eliza? Hayoo…”, Jenny mulai usil dan menggoda Andy.
“Eliza, ayo diterima dong. Kamu nggak kasihan ya sama Andy dari tadi terus megangi gelas itu buat kamu?”, Sherly ikut meledek, membuatku semakin gugup.
“I… iya… makasih ya Andy”, kataku dengan pelan.
“Ya udah kami kembali ke kelas dulu ya Eliza. Andy, jagain Eliza ya! Awas lho kalau sampai Eliza kenapa kenapa”, kata Jenny yang lalu menggandeng tangan Sherly setelah Andy mengangguk, dan mereka meninggalkanku dalam situasi yang membuatku menggigit bibir antara malu, tegang dan senang.
Beberapa saat kami saling diam. Aku sendiri sekarang ini entah harus berkata apa, berhadapan dengan lelaki yang selama ini diam diam kuidamkan dalam hati ini.
“Eliza… kamu sakit apa?”, tiba tiba Andy bertanya dengan suara pelan, namun cukup jelas bagiku kalau suara itu bergetar.
“Aku nggak sakit kok Andy, tadi itu aku cuma kecapaian. Mmm… kamu kok tau sih aku ada di sini?”, tiba tiba aku jadi penasaran dan sekalian mencoba mencairkan suasana yang menurutku sedikit canggung ini.
“Tadi waktu jam istirahat kedua, aku menyerahkan daftar absen ke pak Harjono. Oh iya, pak Harjono itu wali kelasku. Dan tadi pak Harjono sempat bercerita, ada murid kelas sebelah yang pandai dan rajin, belajar sampai lupa waktu dan lupa istirahat. Akibatnya waktu jam olahraga, murid itu sampai harus istirahat UKS. Terus aku jadi ingin tahu siapa yang dimaksud pak Harjono, dan menanyakan nama murid itu. Ketika pak Harjono menyebut nama Eliza, aku pikir itu pasti kamu… aku… aku…”, Andy mulai gugup.
Aku menunduk dengan rasa senang yang entah bisa kusembunyikan atau tidak. Andy sampai membawakan minuman untukku setelah ia tahu kalau aku sakit dan harus istirahat di UKS. Senang sekali mendapat perhatian seperti itu dari Andy.
‘kriiing…’, bel tanda jam istirahat kedua berakhir ini berbunyi, membuatku kecewa karena ini berarti saat saat bersama Andy sekarang ini juga harus berakhir.
“Eliza, kamu baik baik saja? Kamu nggak apa apa kalau jalan sendiri ke kelas? Aku…”, Andy tak melanjutkan kata katanya, dan ia malah menunduk.
Lagi lagi aku tersenyum senang, dan aku memandang ini adalah kesempatan untuk memberikan ’signal’ pada Andy, semoga setelah ini ia lebih berani mendekatiku.
“Aku memang sudah enakan, tapi nggak tau ya… ada apa apa gimana maksudnya? Memangnya kenapa ya Andy, kok kamu nanyain itu?”, tanyaku sambil memasang senyum semanis mungkin, dan terbersit setitik harapan di dalam hati ini kalau Andy akan menemaniku kembali ke kelasku.
“Aku… kalau kamu nggak… aku… boleh aku temani kamu kembali ke kelas?”, tanya Andy yang masih menunduk dan tak berani memandangku.
“Boleh sih. Tapi kalau nanti ada yang marah sama kamu gara gara kamu antarin cewek lain, gimana coba?”, lagi lagi aku menggoda Andy sekaligus mencari tahu apa Andy sebenarnya sudah punya pacar.
“Ah… nggak ada… sungguh, nggak ada kok. Ayo Eliza”, ajak Andy yang terlihat malu tapi sesekali ia menatapku, seperti berharap aku mau ditemaninya sampai kembali ke kelas.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Kami berjalan berdampingan ke arah kelasku tanpa saling berbicara, namun sesekali Andy menoleh padaku dan tersenyum. Kurasakan tatapan iri dari beberapa mata murid perempuan yang memandangku, membuatku diam diam merasa bangga.
Kalau saja status kami ini adalah pacar, aku tak akan segan segan memamerkan sikap mesraku dengan menggandeng tangan Andy. Tapi aku memutuskan untuk menjaga sikap dan tak membuat Andy merasa risih padaku.
“Eliza, aku kembali ke kelas dulu. Oh iya, kamu jangan lupa istirahat ya, jangan sakit lagi”, kata Andy.
“Iya… makasih ya Andy”, aku menjawab sambil mengangguk dengan hati yang berbunga bunga.
Aku berjalan menuju ke kursiku. Diam diam aku merasa lega, sepertinya tidak ada tanda tanda kalau Andy tahu tentang aksi sayang sayangan antara aku, Jenny dan Sherly di ruang UKS tadi.
Di samping kursiku, Jenny sudah menunggu, pastinya ia sudah siap untuk menggoda dan meledekku habis habisan. Aku bisa melihat pandangan matanya yang jenaka dan usil itu. Dan memang, itulah yang terjadi ketika aku sudah duduk di kursiku. Tapi aku sama sekali tak berusaha membela diri atau balas meledek Jenny, karena sebenarnya aku merasa bahagia.
Ya, aku sedang merasa bahagia. Tadi itu Andy sudah mulai memperlihatkan perhatiannya padaku. Aku merasa mempunyai harapan besar, bahwa Andy menyukaiku. Semoga semua ini bukan sekadar mimpi indah untukku.
“Hei… digodain kok malah melamun… cieee, yang jatuh cinta…”, bisik Jenny sambil mencubit tanganku.
“Aduh… sakit Jen…”, aku mengeluh dan tersadar dari lamunanku, dan kata kata Jenny membuatku jadi teringat tentang kekuatiranku akan sikap aneh Jenny di ruang UKS tadi.
Tapi aku melihat Jenny tersenyum, dan aku merasa senyuman itu begitu tulus. Aku menatap Jenny dalam dalam dan ketika aku melihat Jenny mengangguk lembut, aku merasa lega dan semua kekuatiranku lenyap dalam senyumanku.
Oh, hari ini benar benar indah. Aku tak ingin mengingat semua kejadian pahit yang menimpaku di hari ini, aku juga tak ingin memikirkan apa nanti yang akan terjadi ketika Jenny dan Sherly mengantarku sampai ke rumah dan Cie Stefanny masih menjadi bulan bulanan oleh tiga pejantan itu. Sekarang ini aku hanya ingin mengingat saat saat bersama Andy.
Dua jam pelajaran terakhir ini terasa berlalu begitu cepat, termasuk Geografi, jam pelajaran terakhir yang diajar oleh pak Edy, wali kelasku yang bejat itu. Aku tak memperdulikannya, tak ingin mendengarkan apapun darinya. Soal catatan, aku bisa meminjam Jenny, atau mungkin Rini si kutu buku itu kalau kalau Jenny juga malas memperhatikan dan mencatat pelajaran ini.
Lagipula kali ini sepertinya pak Edy masih agak shock akibat kedatangan pak Harjono di ruang UKS saat ia sedang asyik mencabuli Jenny. Sekarang ini pak Edy lebih banyak menerangkan sambil membaca bukunya, tak seperti biasanya yang berkali kali memandangiku di sela sela menerangkan pelajaran dengan tatapan cabulnya yang seperti ingin melihat isi bajuku ini.
Maka aku dan Jenny bisa lebih ‘tenang’ kali ini, bebas dari gangguan guru bejat itu. Bahkan aku dan Jenny sesekali mengobrol walaupun kami menjaga volume suara kami supaya tak sampai mengganggu yang lain dan dijadikan pak Edy alasan untuk membuat kami susah.
Setelah bel tanda pulang sekolah berbunyi, seperti biasa kami segera membereskan buku buku kami sebelum menutup dengan doa. Dan aku terkejut ketika Jenny menadahkan tangannya di atas tasku, seperti sedang meminta sesuatu dariku.
“Mana kunci mobilmu, Eliza?”, tanya Jenny.
Aku baru ingat kalau nanti ini aku diantar pulang oleh Jenny, dan juga Sherly. Sebenarnya aku tak enak membuat mereka repot, tapi tadi aku sudah mengiyakan. Jadi aku lebih takut menyinggung mereka kalau tiba tiba aku menolak. Maka kuberikan kunci mobilku pada Jenny. Tak lama kemudian Sherly juga datang.
“Yuk kita antar bidadari kita ini pulang”, kata Sherly pada Jenny.
“Iya, bidadari kita yang lagi jatuh cinta”, ledek Jenny.
“Jeen…”, aku merengek manja.
“Iya iya sekarang aku diam deh. Tapo nanti kita ledekin kamu di rumahmu sampai puas”, kata Jenny sambil menggandeng tangan kananku dan mengajakku pulang.
“Bisa nggak ya kita buat pangerannya Eliza ini cemburu sama kita?”, tanya Sherly sambil menggandeng tangan kiriku.
“Duh… kalian ini apaan sih…”, aku kembali merengek, padahal hatiku senang sekali.
“Ih malah senyum senyum… awas kamu nanti di rumah, bibir kamu pasti abis”, bisik Sherly.
“Nanti di kamarnya, bidadari kita ini enaknya diapain ya…”, kata Jenny sambil menatapku nakal.
“Ya terserah deh kalian mau apain. Dasar, kalian ini memang curang, beraninya main keroyok”, kataku sambil meleletkan lidah.
Mereka berdua tertawa geli sambil terus menggandeng kedua tanganku ke arah parkiran mobil. Ketika kami sudah sampai di depan mobilku, Jenny dan Sherly menelepon sopir masing masing. Jenny meminta sopirnya mengikuti mobilku ke rumah, sedangkan Sherly meminta sopirnya untuk langsung pulang karena nanti Sherly akan diantar pulang oleh Jenny.
“Makasih ya kalian sampai repot gini”, aku menyatakan rasa terima kasihku dengan tulus.
“Nggak apa apa kok Eliza. Yang penting…”, kata Sherly sambil membuka pintu kiri depan mobilku.
“Yang penting bidadari kita ini baik baik saja”, kata Jenny dan membimbingku duduk di depan.
“Terus aku dan Sherly bisa merawat sambil menyayangi bidadari yang satu ini”, kata Jenny.
“Duh… nasibku ini…”, aku pura pura menghela nafas panjang, dan cukup untuk membuat mereka kesal dan menggelitiku sampai aku minta minta ampun.
Kini Sherly duduk di belakang dan Jenny yang menyetir mobilku. Sepanjang perjalanan pulang, mereka terus meledekku soal Andy, membuatku tersenyum malu namun senang. Sesekali Sherly membelai rambutku dengan mesra. Tak terasa akhirnya sampai juga kami di depan pintu gerbang rumahku.
Aku memencet remote untuk membuka pintu pagar, lalu Jenny melajukan mobilku ke dalam garasi. Lalu mereka berdua membimbingku turun dari mobil, dan aku merasa beruntung diantar oleh mereka karena kini kembali merasa lemas.
Sherly menjagaku sementara Jenny menuju ke depan sebentar, dan kudengar ia meminta sopirnya untuk menunggu di mobil. Setelah itu Jenny dan Sherly kembali menggandeng kedua tanganku, dan mereka mengajakku ke kamarku.
Ketika kami sudah sampai di depan pintu kamarku, jantungku berdebar dengan kencang. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau ternyata saat kami masuk nanti, tiga maniak itu masih asyik mereguk kenikmatan dari tubuh Cie Stefanny.
Kalau itu yang terjadi, entah apa reaksi Cie Stefanny melihat kedatangan kami, entah apa reaksi para pejantan itu kalau mereka melihat kecantikan Jenny dan Sherly, dan entah apa reaksi Jenny dan Sherly sewaktu mereka melihat pesta seks itu nanti.
“Lho… ini kok seperti sepatu Cie Stefanny?”, Jenny bertanya tanya sendiri ketika ia memandang sepasang sepatu yang terletak tak beraturan di depan keset pintu kamarku.
“Bener Jen? Eh kebetulan dong kalau gitu. Ayo Eliza… kenalkan aku ke Cie Stefanny dong”, kata Sherly dan ia langsung membuka pintu kamarku lalu masuk ke dalam.
“Sher…”, aku berkata ragu, tapi aku tak meneruskan kata kataku ketika aku melihat Sherly berhenti melangkah dan seperti tertegun karena melihat sesuatu.
“Ada apa Sher?”, tanya Jenny yang ikut masuk ke dalam kamarku, dan kini Jenny juga tertegun.
Aku tak punya pilihan lain, aku masuk ke dalam kamarku dan segera mengunci pintu. Lalu aku terus melangkah ke arah Jenny dan Sherly, untuk melihat sendiri apa yang dilihat mereka di situ sehingga mereka berdua tertegun seperti itu. Aku tak terlalu terkejut melihat Cie Stefanny yang dalam keadaan telanjang bulat, terbaring begitu saja di atas ranjangku dengan rambut yang sedikit awut awutan.
Dan Cie Stefanny entah sedang pingsan atau tertidur. Aku menduga Cie Stefanny kelelahan setelah diajak ngeseks oleh Wawan dan Suwito tanpa henti, dan mungkin juga tadi pak Arifin ikut ambil bagian menikmati Cie Stefanny.
“Ya ampun… Eliza… ini…”, Jenny mendesis lirih.
“Eliza… Cie Cie ini… ya ampun… cantik sekalii…”, Sherly berkata kagum sambil terus menatap ke arah Cie Stefanny.
“Iya… Sher. Dan… ini Cie Stefanny, Sher”, aku berkata dengan pelan.
“Eh?”, Sherly memandangku seperti tak percaya.
“Iya, ini memang Cie Stefanny, Sher”, kata Jenny sambil melangkah maju, lalu duduk di ranjangku dengan perlahan sambil menatap ke arah Cie Stefanny yang masih terbaring pulas.
Sherly juga ikut duduk di samping Jenny. Dengan hati hati mereka menyelimuti tubuh telanjang Cie Stefanny, tapi tiba tiba Cie Stefanny merintih perlahan. Ternyata Cie Stefanny tetap terbangun juga walaupun tadi itu Jenny dan Sherly sudah sangat hati hati menyelimutkan selimut itu.
“Eh… sorry Cie, tapi…”, kata Jenny dan Sherly hampir berbareng.
“Nggak apa apa… makasih ya…”, kata Cie Stefanny dengan lembut sambil mendekap selimut itu hingga menutup tubuh Cie Stefanny sampai ke dada.
“Cie… sorry ya… Eliza nggak tau kalau Cie Cie masih di sini…”, aku berkata pelan dan aku sedikit merasa bersalah.
“Nggak apa apa, Eliza… ini salah Cie Cie juga kok…”, kata Cie Stefanny sambil tersenyum manis padaku, membuatku teringat kembali bagaimana kemarin aku menyukai senyuman dari wajah yang amat cantik itu, dan jantungku kembali berdegup kencang.
“Cie, ini teman teman Eliza. Kalau Jenny Cie Cie udah tau kan, nah yang ini namanya Sherly. Sher, ini Cie Stefanny”, kataku memperkenalkan Sherly dengan Cie Stefanny.
Cie Stefanny dan Sherly saling bersalaman dan tersenyum manis. Sherly langsung menyatakan keinginannya untuk les bahasa Inggris pada Cie Stefanny, dan mereka segera terlibat pembicaraan untuk mengatur jadwal les.
Sementara itu Jenny mendekatiku, dan menatap heran padaku, seperti bertanya tanya padaku apa mungkin bisa yang terjadi pada Cie Stefanny sampai tertidur dalam keadaan telanjang bulat di atas ranjangku seperti tadi.
Aku sadar kalau Jenny juga sudah tahu bahwa jadwal les bahasa Inggrisku adalah kemarin. Seharusnya aku hanya akan menceritakan tentang perkosaan yang menimpaku di tempat tambal ban kemarin, tapi kelihatannya aku tak bisa berbohong kalau Cie Stefanny menginap di sini.
Aku bisa saja menceritakan pada Jenny kalau aku telah bercinta dengan Cie Stefanny, tapi aku sendiri tak tahu bagaimana aku menjelaskan mengapa di siang ini Cie Stefanny tertidur dalam keadaan telanjang bulat di atas ranjangku.
“Cie Stefanny… kemarin malam menginap di sini…”, aku berkata pelan.
“Terus…?”, tanya Jenny yang kini terlihat semakin penasaran.
“Mmm… aku…”, kembali aku tergagap tak tahu harus berkata apa.
Aku teringat kalau aku sudah berjanji pada Cie Stefanny bahwa aku tak akan menceritakan kejadian kemarin pada siapapun. Tapi sekarang situasi menjadi sulit bagiku. Kalau aku bercerita, berarti aku melanggar janjiku pada Cie Stefanny. Tapi kalau aku tak bercerita, mungkin Jenny akan kesal padaku.
Bahkan sekarang Sherly juga melihatku seperti sedang menungguku menceritakan apa yang kuketahui, membuatku makin bingung dan memandang ke arah Cie Stefanny.
“Eliza, nggak apa, biar Cie Cie yang cerita”, kata Cie Stefanny.
Aku mengangguk lega, dan kini kami semua duduk di ranjangku, mengelilingi Cie Stefanny yang terbaring di tengah. Cie Stefanny menarik nafas panjang, lalu ia beranjak duduk, hingga kedua payudaranya yang indah itu kembali terlihat.
“Kemarin, Eliza mengajak Cie Stefanny tidur di sini…”, Cie Stefanny mulai menceritakan bagaimana aku tiba tiba mencumbuinya, kemudian memaksanya untuk menginap dan di malam harinya aku bahkan ‘memperkosa’ Cie Stefanny.
“Ih… sayang… kamu nakal sekali… masa Cie Stefanny kamu perkosa…”, kata Sherly sambil merangkulku.
“Iya… kamu kok jadi nakal gini sih?”, Jenny meledekku tapi kemudian ia mendekatiku dan mengecup bibirku dengan mesra.
“Mmmh… kalian ini… ya seperti sekarang ini… aku jadi gini kan juga gara gara kalian tau mmpph…”, aku mulai mengomel, tapi omelanku terhenti ketika tiba tiba Jenny melumat bibirku dengan ganas.
“Mmhh… udah dong… kamu nggak kasian ya sama aku… aku kan capek… lagian ada Cie Stefanny nih… kamu nggak malu ya Jen”, aku merengek manja ketika Jenny melepaskan bibirku.
“Kamu kan udah istirahat tadi di sekolah… lagian, nggak apa apa kan Cie?”, tanya Jenny dengan manja pada Cie Stefanny.
“Kalian ini…”, Cie Stefanny tersenyum geli.
“Terus, masih ada lanjutannya nggak Cie?”, tanya Sherly dengan antusias.
“Iya, masih ada. Nah, abis itu Cie Cie dan Eliza tidur. Tapi malam itu…”, kata Cie Stefanny melanjutkan ceritanya, tentang pak Arifin, Wawan dan Suwito yang menerobos masuk kamarku lewat jendela di tengah malam, sampai ketika aku melakukan ‘live show’ di depan Cie Stefanny, yang akhirnya membuat Cie Stefanny takluk juga dalam gairahnya dan mau mencoba keperkasaan tiga pejantan itu.
“Ya ampun… Eliza… Bukannya ngusir mereka, eh… malah… duh duh… kamu ini ternyata nakal abis”, kata Sherly sambil menggeleng gelengkan kepalanya sambil menatapku dengan usil.
“Biarin…”, aku membela diri sambil meleletkan lidah pada Sherly.
“Pantesan… kamu sampai ngantuk seperti itu di sekolah. Pakai alasan belajar sampai malam. Nggak taunyaaaa… kamu…”, kata Jenny yang juga ikut menggeleng gelengkan kepalanya dan lalu memonyongkan bibirnya meledekku.
“Abisnya, masa aku cerita sama kalian kalau aku abis sayang sayangan sama Cie Stefanny? Ntar kalian malah iri lagi sama aku. Belum lagi kalau nanti ada yang lain yang nggak sengaja dengerin ceritaku, terus ikut iri juga, kan malah aku yang jadi sengsara di sekolah?”, kataku sambil meleletkan lidah.
Kami semua tertawa geli, lalu Cie Stefanny juga menceritakan tentang kejadian tadi pagi. Sebenarnya sekitar jam 8 pagi Cie Stefanny sudah bangun dan berniat untuk segera pulang. Cie Stefanny mandi dulu, lalu memakai bajunya yang kemarin.
Setelah merapikan penampilan dan menyisir rambutnya, Cie Stefanny membuka pintu kamarku yang tadinya masih terkunci, lalu Cie Stefanny berjalan menuju ke garasi. Di situ Cie Stefanny memanggil Sulikah, bermaksud meminta tolong dibukakan pintu gerbang.
Tapi yang menemui Cie Stefanny bukannya Sulikah, melainkan Wawan yang hanya bertelanjang dada dan bercelana pendek. Tak ada yang bisa dilakukan Cie Stefanny selain merengek dan memohon agar dilepaskan ketika Wawan langsung menyergap dan mendekapnya dengan bernafsu.
Ketika Suwito dan pak Arifin keluar karena mendengar rengekan Cie Stefanny, dan melihat Cie Stefanny sedang meronta dalam pelukan Wawan, mereka segera membantu Wawan menyeret Cie Stefanny ke dalam kamarku.
Mereka sama sekali tak memperdulikan rengekan Cie Stefanny yang terus minta dilepaskan dan diperbolehkan pulang. Cie Stefanny bahkan sampai berjanji pada mereka untuk datang lebih awal setiap memberikan les padaku sehingga mereka bisa menggagahi Cie Stefanny terlebih dahulu. Tapi mereka bertiga hanya tertawa tawa dan malah meremasi payudara Cie Stefanny.
Dan setelah mereka membopong Cie Stefanny yang terus merengek sampai ke dalam kamarku, tanpa membuang waktu mereka segera menelanjangi Cie Stefanny, kemudian mereka beramai ramai menggagahi Cie Stefanny di atas ranjangku.
Cie Stefanny akhirnya menyerah, dan melayani nafsu tiga pejantan di rumahku ini. Ketika menerima telepon dariku di pagi tadi sewaktu jam istirahat pertama sekolahku, yaitu sekitar pukul 08:45, pesta seks itu baru dimulai sekitar 10~15 menit.
Mereka terus bergantian menggagahi Cie Stefanny sampai akhirnya sekitar jam 11:00 mereka semua kehabisan tenaga karena kelelahan. Puas menggagahi Cie Stefanny, mereka meninggalkan Cie Stefanny yang masih dalam keadaan telanjang bulat itu begitu saja.
Cie Stefanny sendiri terbaring lemas tanpa daya di atas ranjangku, dan kemudian Cie Stefanny tertidur karena kelelahan. Dan kelihatannya Cie Stefanny sudah tak diapa apakan lagi oleh mereka sampai ketika kami semua pulang sekolah dan membuat Cie Stefanny terbangun.
“Mereka itu gimana sih… tadi malam udah ngerjain aku dan Cie Cie, paginya masih juga…”, aku mulai mengomel dengan kesal.
“Dasar, beraninya cuma main gangbang saja”, Sherly juga ikut mengomel, tapi kata kata Sherly itu membuat kami semua tertegun dan menatapnya.
“Coba kalau kita kita yang lebih banyak, aku yakin mereka yang akan merangkak tak bisa berdiri kalau kita peras abis spermanya”, kata Sherly lagi dengan ketus.
“Ya ampun Sher…”, kata Jenny yang tertawa geli.
Aku dan Cie Stefanny saling pandang, lalu kami berdua juga tertawa geli. Sherly masih cemberut, dan ia menaruh tasnya di atas meja belajarku, lalu mulai merapikan penampilannya dan menyisir rambutnya dengan rapi di depan meja riasku hingga ia terlihat semakin cantik. Kemudian Sherly duduk di sofa kamarku sambil termenung sejenak, sepertinya Sherly sedang memikirkan sesuatu.
“Eliza, keluargamu ada yang sedang di rumah nggak sekarang ini?”, tanya Sherly.
“Nggak ada siapa siapa sih Sher. Papa mamaku ada urusan kerja, kokoku juga kebetulan lagi ikut menemani papa mamaku. Kalaupun mereka pulang, kira kira nanti jam lima atau jam enam sore. Emang kenapa Sher?”, tanyaku balik.
“Kalau gitu, yuk, kita balas mereka”, kata Sherly membuat kami semua kembali terkejut.
“Maksudnya Sher?”, aku bertanya heran.
“Ya kita balas. Aku mau liat sampai di mana mereka bisa tahan melawan kita bertiga”, kata Sherly dengan cueknya, seperti sedang mengatakan hal yang wajar.
“Eh? Kok kita bertiga?”, Jenny juga bertanya heran.
“Iya. Kan Cie Stefanny masih lemas abis dibantai mereka bertiga. Jadi kita bertiga aja yang peras sperma mereka sampai abis. Sekalian membalas apa yang mereka lakukan sama Cie Stefanny”, kata Sherly.
“Lho… kok aku jadi ikutan?”, aku memprotes.
“Iya. Kok aku juga?”, Jenny ikut memprotes.
“Abisnya sama siapa lagi dong? Masa aku sendiri yang melawan mereka bertiga? Nanti bisa bisa aku dibantai abis seperti Cie Stefanny dong? Udah ah, ayo! Masa kalian biarin aku sendirian?”, Sherly merengek sambil mengajak kami untuk menemui tiga pejantan itu.
“Yah… sayang, kalau nurutin Sherly, kamu nggak jadi istirahat dong…”, kata Jenny sambil membelai rambutku.
“Iya nih… Sherly ini ada ada saja kok”, kataku sambil melirik Sherly.
“Ayolah… masa sih kalian benar benar tega biarin aku dikeroyok sama mereka?”, rengek Sherly lagi.
“Iya iya deh…”, keluh Jenny dengan gaya yang lucu, membuatku tertawa geli dan ikut mengangguk.
“Nah… gitu dong”, kata Sherly senang sambil mengecup bibirku dan bibir Jenny dengan mesra.
“Kalian… anu… Cie Cie ikut”, kata Cie Stefanny pelan dengan wajahnya yang cantik jelita itu merona merah.
Aku menatap Cie Stefanny dan tertegun.
“Cie Cie? Apa Cie Cie nggak istirahat aja? Kayaknya Cie Ce masih lemas gini?”, tanya Sherly dengan nada kuatir.
“Nggak, nggak apa apa Sherly… Cie Cie udah enakan kok… Cie Cie udah tidur kan tadi. Lagian, Cie Cie mau bantuin kalian. Kalau kita berempat dan mereka bertiga, kan lebih baik”, kata Cie Stefanny sambil beranjak bangun sambil membelitkan selimut itu ala kadarnya untuk menutupi tubuhnya yang masih telanjang bulat.
Mendengar itu semua, aku dan Jenny saling pandang, dan kemudian sama sama mengangkat bahu. Kami berdua yang masih mengenakan seragam sekolah, juga Cie Stefanny yang hanya menutupi tubuhnya dengan selimut, mengikuti Sherly yang minta ditunjukkan di mana kamar tiga pejantan itu.
Kini kami berempat sampai di depan pintu kamar mereka. Aku menatap Sherly, mencoba memastikan apakah ia bersungguh sungguh. Tapi Sherly sudah tak sabar dan ia langsung membuka pintu kamar mereka.
“Hei, kalian ini, beraninya cuma kalau tiga lawan satu sama Cie Stefanny ya? Kalau kalian ini memang jantan, jangan main keroyok seperti itu”, kata Sherly dengan ketus pada pak Arifin, Wawan dan Suwito yang kini terbengong bengong sambil memandang ke arah Sherly.
“Lho? Non kok nantang Wawan… Belum tau dia…”, kata Wawan yang langsung berdiri dan mendekap Sherly, lalu menyeret Sherly yang sama sekali tak melawan itu ke atas ranjang mereka.
“Eh Arifin! Kamu mau apa? Nggak dengar ya kata kata Sherly tadi kalau jangan main keroyok? Biarin Sherly sama Wawan sendiri!”, semprot Jenny yang memang sudah mengenal pak Arifin yang sering mengantarku ke sekolah, dan Jenny juga sudah mengenal Wawan dan Suwito karena Jenny memang sering datang ke rumahku.
Aku tak tahu harus berbuat apa ketika aku melihat Jenny menarik tangan pak Arifin yang sudah mengarah kepada Sherly, lalu Jenny mendorong pak Arifin hingga jatuh terbaring ke ranjang. Dan tanpa berkata apa apa lagi Jenny sudah menindih pak Arifin.
Kini tinggal Suwito, yang lagi tertegun. Ia mungkin tak pernah menyangka ada dua bidadari seperti Jenny dan Sherly ini, yang menyerahkan diri dengan sukarela untuk disetubuhi teman temannya seperti ini. Dan selagi Suwito masih tertegun, tiba tiba Cie Stefanny yang sudah menghampiri Suwito, melorotkan celana Suwito dan mulai memberikan servis oral pada penis Suwito yang langsung saja mengerang keenakan.
Setelah beberapa saat, Cie Stefanny membimbing Suwito agar berbaring di lantai. Cie Stefanny melepaskan dan membuang selimut yang membelit tubuhnya, lalu Cie Stefanny menurunkan tubuhnya menduduki selangkangan Suwito hingga penisnya tertelan seluruhnya dalam liang vagina Cie Stefanny.
“Ngghh…”, Cie Stefanny melenguh dan mulai menggoyangkan pinggulnya.
Tiba tiba, tinggal aku sendiri yang tak punya pasangan untuk ngeseks. Aku mulai memperhatikan live show dari tiga pasangan di hadapanku ini.
Sherly dan Jenny sudah tak berpakaian lengkap, baju seragam sekolah mereka sudah tak terkancing sama sekali dan mereka saling mencumbu dengan pasangannya masing masing. Sedangkan Cie Stefanny yang telanjang bulat itu meliuk liukkan tubuhnya dengan sexy saat mengendarai penis Suwito.
Semua pemandangan ini membuatku jantungku berdegup kencang dan aku mulai terbakar gairahku, tapi entah harus kulampiaskan pada siapa karena sekarang ini tak ada lagi pejantan yang tersisa untukku.
Tanpa bisa kutahan lagi, aku mengangkat rok seragam sekolahku dengan tangan kiriku, lalu aku mulai menggunakan jari tangan kananku untuk mencari dan meraba bibir vaginaku yang ternyata sudah mulai membasah ini. Aku teringat kalau hari ini aku memang tak mengenakan celana dalamku akibat paksaan Dedi kemarin.
Aku menggigit bibir mencoba menahan diri, tapi aku makin tenggelam dalam gairah ketika aku melihat Jenny dan Sherly sudah melucuti rok seragam sekolah mereka sendiri hingga keduanya tinggal mengenakan bra dan celana dalam.
Apalagi sentuhan dan gesekan jariku sendiri pada bibir vaginaku ini membuatku makin tenggelam dalam birahi. Aku sudah tak bisa berpikir jernih dan aku mulai mencelupkan jari telunjukku sendiri ke dalam liang vaginaku.
“Ngghh…”, aku melenguh perlahan menikmati masturbasiku ketika aku mendengar Sherly mulai merintih keenakan.
“Ohh… Elizaa… gilaa… barang Wawan ini… keras amat…”, Sherly meracau, ternyata Wawan sudah mulai mengggagahi Sherly yang terbaring di bawah tindihannya.
“Ngghh… Eliza… punya Arifin ini… besarnya… anghhk…”, Jenny juga ikut meracau sambil melenguh lenguh dalam pelukan pak Arifin.
“Kalian…”, aku tak tahu harus berkata dan mencelupkan jari tanganku lebih dalam pada liang vaginaku dan aku menggigit bibir menahan nikmat.
Pikiranku makin kacau melihat Sherly terus meracau sambil menggeliat. Setelah beberapa kali mendengar ceritaku tentang keperkasaan Wawan, ini adalah pertama kalinya Sherly merasakan sendiri secara langsung sekeras apa penis Wawan kalau sedang ereksi. Dan tentu sekarang ini Sherly merasakan apa yang sering kurasakan pada liang vaginaku saat Wawan sedang menggagahiku.
Dan aku menjadi iri melihat Sherly yang mulai melemas dan merintih rintih keenakan seperti itu selagi Wawan terus menggenjotkan penisnya yang keluar masuk memompa liang vagina Sherly. Jantungku berdegup kencang dan aku menggigit bibir menahan gairahku.
“Ngghh… aduuuh… enaaak Waaan…”, Sherly melenguh dan meracau tak karuan dan tubuhnya kembali menggeliat hebat.
Racauan Sherly ini membuatku makin kacau, dan aku mencelupkan jari tengah tangan kananku ke dalam liang vaginaku untuk menemani jari telunjukku di dalam sana, lalu aku mengadukkan kedua jari tanganku itu kuat kuat di dalam sana.
“Oooh… Arifiiin… teruuus…”, aku kembali mendengar suara Jenny yang juga meracau keenakan.
Aku makin memperhebat adukan jariku pada liang vaginaku, bahkan jariku kugerakkan kesana kemari untuk mengorek dinding liang vaginaku. Akibatnya kedua kakiku menjadi lemas hingga aku menyandarkan punggungku pada dinding kamar ini, dan aku mulai merintih keenakan selagi tubuhku menggigil merasakan sensasi nikmat yang menjalari tubuhku.
“Eliza… jangan… tunggu Cie Cie… oooh…”, Cie Stefanny merintih dan tubuhnya tersentak sentak liar.
Ternyata Cie Stefanny sudah mengalami orgasme terlebih dahulu. Aku mengerti maksud Cie Stefanny, aku seharusnya membantu Cie Stefanny, Sherly dan Jenny untuk memenangkan ‘pertandingan’ dalam pesta seks ini, bukan malah bermasturbasi mencari kenikmatanku sendiri dan orgasme dengan percuma.
Tapi Suwito tak melepaskan Cie Stefanny begitu saja, tubuh mungil Cie Stefanny didekap erat dan Suwito menyentakkan pinggulnya ke arah Cie Stefanny sampai beberapa kali hingga Cie Stefanny melenguh lenguh keenakan dan kelihatannya orgasme yang mendera Cie Stefanny itu makin menghebat.
“Udah dong Suwito… sekarang sama aku dong… Cie Stefanny kan udah keluar…”, aku merengek pada Suwito agar ia melepaskan Cie Stefanny.
Aku tak perduli lagi dengan segala macam harga diri ini. Toh aku sudah sering ngeseks dengan tiga pejantan ini termasuk juga Suwito.
Dan juga, selain aku membutuhkan penis Suwito yang masih ereksi itu untuk memuaskan hasratku, aku jadi ingin tahu apa yang terjadi kalau sperma tiga pejantan di ruang ini berhasil kami peras habis.
“Siap non… oooh…”, Suwito mengerang keenakan ketika ia mendorong tubuh Cie Stefanny yang menindihnya hingga penisnya terlepas dari liang vagina Cie Stefanny.
Cie Stefanny langsung ambruk ke lantai dengan nafas tersengal sengal. Beberapa kali tubuh Cie Stefanny tersentak sexy, dan rambut Cie Stefanny terurai dan sebagian melekat di punggung Cie Stefanny yang basah oleh keringat.
Sebenarnya aku ingin juga bermesraan dengan Cie Stefanny yang terlihat begitu sexy dan menggairahkan dalam keadaan seperti itu, tapi sekarang ini aku lebih menginginkan tusukan penis Suwito pada liang vaginaku, untuk mengorek dan mengaduk dinding liang vaginaku.
Maka aku yang masih mengenakan baju dan rok seragam sekolah ini langsung menaiki selangkangan Suwito, menggantikan Cie Stefanny untuk mengendarai penis Suwito yang masih ereksi dengan perkasa ini.
Sambil mengangkat rok yang kukenakan ini sampai ke pinggangku, perlahan kuturunkan selangkanganku hingga kurasakan kepala penis Suwito menyentuh bibir vaginaku yang sudah semakin basah ini.
Aku mendesah nikmat dan terus menurunkan tubuhku hingga penis itu membelah bibir vaginaku dan terus melesak masuk ke dalam liang vaginaku. Pegangan tanganku pada ujung ujung rok seragamku ini kulepaskan, dan aku berpegangan pada dada Suwito.
“Oooh… ngghh…”, aku merintih dan melenguh ketika Suwito tiba tiba menyentakkan tubuhnya ke atas hingga rasanya penis Suwito itu seperti memaku liang vaginaku.
Baru beberapa genjotan dari Suwito, aku sudah merasa pening. Mungkin karena tenagaku masih belum begitu pulih setelah ngeseks seharian kemarin. Aku mencoba bertahan dan terus berjuang mengendarai penis Suwito, tapi setiap gesekan batang penis Suwito pada dinding liang vaginaku membuat tubuhku menggeliat keenakan dan tentu saja aku terus merintih dan melenguh.
“Ngghkk.. aaaah…”, tiba tiba kudengar Sherly melenguh dan menjerit keenakan.
Melihat Sherly yang menggeliat dan berkelojotan tak karuan, lalu lemas dan pasrah di bawah tindihan Wawan, aku tahu Sherly sudah mencapai orgasmenya. Aku membayangkan nikmat yang dirasakan Sherly itu dan aibatnya semua bayangan yang ada di pikiranku itu membuat gerakanku makin liar. Aku menekan nekan pinggulku ke bawah mengocok penis Suwito yang langsung mengerang dan melolong keenakan.
“Huoooh… non Elizaaa…”, Suwito melolong panjang dan tubuhnya berkelojotan.
Kurasakan penis Suwito berkedut berkali kali dan sperma yang tersemprotkan dari penis Suwito itu begitu banyak, membanjiri liang vaginaku. Aku sendiri belum mencapai orgasmeku, dan saat kurasakan penis Suwito mengecil, aku bermakud menikmati kerasnya penis Wawan. Kan tadi itu Sherly baru saja orgamse, jadi aku bisa menggantikan Sherly untuk ngeseks dengan Wawan.
“Ngghh… terus Waaan… ooooh…”, Sherly kembali menggeliat liar dan meracau sejadi jadinya saat Wawan tiba tiba mempercepat irama genjotan penisnya pada liang vagina Sherly.
Ternyata Sherly masih ingin mereguk nikmatnya ngeseks dengan Wawan walaupun orgasme sudah menderanya. Aku sedikit kecewa dan hanya bisa menunggu giliranku sambil berharap Sherly segera takluk oleh keperkasaan Wawan.
“Arifiin… nggghh… enaaakk…”, Jenny yang dari tadi mendengus dan merintih itu kini meracau tak karuan dan kembali melenguh lenguh keenakan.
Jantungku berdegup makin kencang, apalagi melihat Jenny yang sejak tadi ngeseks dengan posisi woman on top itu menggelepar dalam dekapan pak Arifin yang dengan kejam melumat bibir Jenny yang dalam keadaan orgasme seperti itu. Jenny merintih tertahan dan kedua tangan Jenny itu menggenggam sesaat, lalu melemas mengikuti irama tubuh Jenny yang tersentak tak karuan.
Dan aku sudah hampir gila ketika aku melihat Cie Stefanny merangkak ke arah Suwito, lalu memberikan servis oral pada penis Suwito yang masih belepotan sperma setelah tadi berejakulasi di dalam liang vaginaku. Semua adegan seks di depanku ini membuat menginginkan adanya pejantan yang memberikan kenikmatan seks padaku, menyetubuhiku, menggagahiku bahkan memperkosaku.
Untungnya aku melihat pak Arifin sudah melepaskan Jenny yang kini terbaring lemas di samping pak Arifin. Maka tanpa membuang waktu lagi, aku segera naik ke atas tubuh pak Arifin untuk merasakan nikmatnya terjangan penis milik pak Arifin pada liang vaginaku ini.
Tapi, tiba tiba pak Arifin menahan tubuhku hingga rasanya aku ingin marah pada pak Arifin karena amat kesal, dan aku melotot pada pak Arifin.
“Non, saya ingin belakangnya non, enak”, pinta pak Arifin.
“Apaan sih! Nggak ah, eh…”, omelanku terputus ketika aku mendengar rintihan panjang dari Sherly, dan ketika aku menoleh ke arah Sherly, aku melihat Wawan baru saja beranjak dari tubuh Sherly.
“Akhirnya non Sherly K.O juga nih…”, kudengar Wawan berkata dengan nada bangga.
Sepertinya Wawan sudah berhasil menaklukkan Sherly yang kini terkapar lemas tak berdaya dengan mata yang terpejam dan nafas yang tersengal sengal tak karuan. Berarti kini Wawan sudah menganggur, dan sekali ini aku tak ingin didahului oleh Cie Stefanny yang masih mengoral penis Suwito, atau Jenny yang baru saja orgasme dalam pelukan pak Arifin.
Aku ingin langsung ngeseks dengan Wawan, maka aku rela memenuhi keinginan pak Arifin meskipun itu berarti aku harus siap disandwich oleh Wawan dan pak Arifin. Tapi sebenarnya diam diam aku merasa kesal juga, masa pak Arifin lebih suka menikmati anusku daripada liang vaginaku?
“Emm… pak Arifin, tunggu sebentar”, kataku pada pak Arifin sambil beranjak dari tempat tidur.
“Lho kok malah turun non?”, tanya pak Arifin.
“Udah diam ah!”, aku mengomel pada pak Arifin yang tak sabaran itu.
Aku melucuti bajuku sendiri hingga aku telanjang bulat, lalu aku segera menarik tangan Wawan dan mendorongnya hingga ia terbaring di hadapanku. Dan tanpa berkata apa apa aku segera menaiki tubuh Wawan yang terlihat senang senang saja menuruti keinginanku.
Aku menekan pinggulku ke bawah dan dengan mudah penis Wawan yang memang masih ereksi itu terbenam masuk ke dalam liang vaginaku. Setelah penis Wawan tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku hingga membuatku mendesis nikmat, aku menoleh ke arah pak Arifin.
“Ya udah pak, tunggu apa lagi? Tapi nanti jangan lupa langsung dicuci di kamar mandi ya!”, kataku sambil merebahkan tubuhku di atas tubuh Wawan dan menoleh ke arah pak Arifin, memberikan kesempatan pada pak Arifin untuk membobol anusku.
“Beres non! Cihui…”, jawab pak Arifin dengan senang seperti anak kecil yang mendapatkan mainan, dan ia segera mengambil posisi di belakangku.
“Ngghh… aaangghhk…”, aku melenguh sambil mengejang sesaat dan perutku terasa sedikit mulas saat penis pak Arifin yang panjang dan besar itu melesak masuk ke dalam anusku, menimbulkan rasa pedih yang nikmat pada liang anusku.
“Oh… Eliza… kamu curang… aku nanti juga mau…”, rengek Sherly.
Aku tersenyum usil sambil meleletkan lidah pada Sherly, lalu aku memagut bibir Wawan yang langsung menggenjotkan penisnya bersamaan dengan pak Arifin yang mulai menyiksa anusku. Rasa sakit dan nikmat yang mendera liang vaginaku ini, ditambah rasa mulas akibat adukan penis pak Arifin pada liang anusku ini, semua itu benar benar membuatku melayang dalam kenikmatan.
Apalagi Wawan membalas pagutanku dengan menjepit lidahku dengan bibirnya, lalu menghisap air ludahku dengan gencarnya, membuatku merintih nikmat dan dengan penuh penyerahan aku membiarkan Wawan berbuat sesuka hatinya terhadapku.
Tiba tiba aku mendengar pak Arifin menggeram dan dalam sebuah sodokan yang membuat penis pak Arifin terbenam begitu dalam pada liang anusku, kuraskaan penis pak Arifin berkedut dan menyemprotkan spermanya membasahi liang anusku, meredakan rasa pedih pada liang anusku ini.
“Ooohh… non Elizaaa…”, pak Arifin melolong panjang, lalu ia menarik penisnya dari jepitan liang anusku.
“Ngghhh… ayo cepat… ke kamar mandi pak… ooohh”, aku menyuruh pak Arifin untuk membersihkan penisnya sambil terus melenguh keenakan karena Wawan makin gencar menghajar liang vaginaku.
Tak lama kemudian aku sudah mulai merasakan datangnya orgasme yang akan segera menderaku habis habisan. Cairan cintaku sudah membanjir. Rasa ngilu yang amat sangat pada liang vaginaku ini membuatku menggelepar. Kedua betisku ini melejang tak karuan dan rasanya seperti akan kram.
“Ngghh… angghh…”, aku melenguh dan melenguh karena Wawan dengan kejam malah mempercepat genjotan penisnya pada liang vaginaku.
Perutku juga mengejang hebat, dan akhirnya pinggangku melengkung ke atas saat tubuhku tersentak tak karuan, lalu aku terkapar rebah di atas tubuh Wawan yang akhirnya berhenti juga menyiksa liang vaginaku ini.
Walaupun begitu aku masih merasakan nikmat akibat kerasnya penis Wawan yang masih tertanam dalam liang vaginaku. Perlahan aku berusaha mengatur nafasku yang serasa hampir putus karena sensasi nikmat yang menyesakkan dadaku tadi.
“Wan… ayo sekarang sama aku…”, desah Jenny yang membuka kedua pahanya.
Aku sempat mendengar Suwito melolong lolong, dan ketika aku melihat ke arahnya, ternyata Cie Stefanny sedang menyeruput sperma Suwito dan menyedot penis Suwito yang belepotan sperma itu. Dan Suwito terkapar lemas setelah spermanya dihisap habis oleh Cie Stefanny.
“Jen… Cie Cie dulu dong…”, rengek Cie Stefanny yang kini mendekati Jenny dan Wawan.
“Tapi… Cie Cie kemarin kan udah ngerasain punya Wawan…”, Jenny balik merengek.
“Kamu kan baru aja keluar… Cie Cie udah dari tadi… ayo lah Jeen…”, Cie Stefanny terus merengek
“Iya deh Cie…”, jawab Jenny sambil tersenyum, tepat ketika pak Arifin masuk kembali, rupanya ia sudah selesai mencuci bersih penisnya.
“Arifin… sini dong”, Jenny memanggil pak Arifin yang tak perlu dipanggil dua kali segera mendekati Jenny.
Tanpa berkata apa apa lagi, Jenny langsung mengulum penis pak Arifin yang langsung merem melek sambil mendesah keenakan.
Aku berharap pak Arifin benar benar sudah mencuci bersih penisnya, jadi tak ada kotoran dari anusku yang masih menempel di penis pak Arifin yang sekarang dijadikan permen lolipop oleh Jenny itu.
Sesaat kemudian aku melihat Cie Stefanny berbaring di sebelah Jenny, lalu melebarkan pahanya. Wawan tanpa dipanggil lagi, segera mendekati Cie Stefanny yang sudah menyajikan tubuhnya untuk Wawan. Dan sesaat kemudian Wawan sudah bersiap untuk menikmati tubuh Cie Stefanny.
Aku masih sempat melihat penis Wawan melesak masuk ke dalam liang vagina Cie Stefanny, lalu aku memejamkan mataku, menikmati sisa orgasmeku sambil mendengarkan suara rintihan yang sexy dari Cie Stefanny.
“Non… nanti dulu non, oooh…”, kudengar suara Suwito melolong lolong.
Lagi lagi aku ingin tahu apa yang terjadi, maka aku membuka mataku dan mengarahkan pandangan mataku pada Suwito. Ternyata Sherly sibuk mengoral penis Suwito dan sesekali Sherly menghisap penis itu kuat kuat sampai kedua pipi Sherly terlihat kempot.
Cie Steffany
Cie Steffany
Aku tersenyum geli dan teringat kalau aku pernah melakukan hal itu bersama Cie Elvira, ketika kami balik mengerjai pak Agil, tukang sapu di tempat aku bersekolah balet. Dan kini Suwito melolong lolong seperti akan disembelih saja, entah apa yang dirasakan oleh Suwito sekarang ini. Tapi Sherly terus menghisap penis Suwito tanpa ampun.
Aku kembali memejamkan mataku sambil masih tersenyum geli. Suwito sudah menguik nguik, dan ia mulai minta minta ampun pada Sherly. Aku juga mendengarkan rintihan Cie Stefanny yang kini sering kali tertahan karena Wawan berhasil memagut bibir Cie Stefanny.
Tiba tiba suara lolongan Suwito berhenti. Aku membuka mataku dan mencari cari Suwito, ternyata ia terbaring dengan tubuh yang melengkung seperti udang. Sorot matanya terlihat mengantuk, rupanya Suwito sudah habis.
Sherly yang terlihat sudah pulih, menghampiri Jenny yang masih sibuk memberikan servis oral pada penis pak Arifin.
“Jen, gentian dong”, rengek Sherly.
“Yaaa… semua kok minta jatahku sih. Ya udah, nih… udah aku bikin berdiri lagi tuh”, Jenny mengomel dengan lucu, tapi memberikan kesempatan pada Sherly yang rupanya sama sepertiku tadi ketika menginginkan terjangan penis yang mengorek dan mengaduk dinding liang vaginaku.
“Lho… yang itu?”, tanya Jenny sambil menunjuk Suwito.
“Udah game over kali Jen”, kata Sherly dengan nada mengejek.
“Enak aja… nggak mau tau pokoknya”, kata Jenny sambil menghampiri Suwito.
Aku tak bisa menahan geli dan tertawa sejadi jadinya ketika aku melihat Suwito merangkak berusaha menghindari Jenny yang kini memburunya. Dan tak butuh waktu lama, Jenny berhasil menangkap Suwito, lalu Jenny mulai memperkosa Suwito yang kembali menguik nguik karena penisnya sudah mulai dioral oleh Jenny.
Kini perhatianku tertuju pada Sherly bersiap ngeseks dengan pak Arifin. Sherly duduk di tepi ranjang dan melebarkan pahanya hingga kedua telapak kakinya masih menginjak permukaan ranjang, dan bibir vaginanya sedikit terbuka mengundang tusukan penis pak Arifin. Pose tubuh Sherly saat ini benar benar sexy.
Kemudian Sherly mengerling nakal pada pak Arifin yang langsung saja tak bisa menahan diri dan menyergap Sherly. Dengan cepat pak Arifin sudah melesakkan penisnya ke dalam liang vagina Sherly, dan setelah pak Arifin menindih Sherly, mereka langsung ngeseks sambil saling melumat bibir pasangannya dengan hot.
Aku segera memalingkan pandanganku karena nafasku sudah mulai memburu lagi akibat melihat pemandangan itu. Kini aku melihat ke arah Jenny dan Suwito. Entah apa saja yang terjadi tadi pada Suwito, yang jelas sekarang ini Suwito sudah terkapar tak bergerak lagi dengan posisi tubuh seperti tadi, yaitu melengkung seperti udang.
Jenny duduk di ujung ranjang, sambil termangu melihat ke arah Cie Stefany yang kelihatannya sudah akan orgasme di pelukan Wawan. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Jenny sekarang ini, mungkinkah ia juga sedang menunggu gilirannya sepertiku tad?
“Ohh… Waan… ngghhh…”, Cie Stefanny merintih dan melenguh mengiringi sentakan tubuh Wawan, dan pinggang Cie Stefanny itu melengkung ke atas dengan sexy.
Sepertinya Cie Stefanny sedang didera orgasme. Tubuh Cie Stefanny menggeliat liar di bawah tindihan Wawan. Rintihan dan lenguhan Cie Stefanny berkali kali terdengar, sedangkan Wawan malah tertawa tawa dan memeluk tubuh Cie Stefanny, lalu Wawan berdiri sambil mengangkat Cie Stefanny dalam pelukannya.
“Angghhk… ngghhh…”, lenguhan Cie Stefanny makin menjadi ketika Wawan menggagahi Cie Stefanny dalam posisi seperti itu.
Aku tahu apa yang sedang dirasakan Cie Stefanny yang kini menggelepar dalam pelukan Wawan, dan aku menjadi iri pada Cie Stefanny. Kedua betis Cie Stefanny melingkari pinggang Wawan, sedangkan kedua tangan Cie Stefanny melingkari leher Wawan. Kini Cie Stefanny hanya pasrah dan melayani keinginan Wawan.
“Eliza…”, tiba tiba aku mendengar suara Jenny yang sudah berada dekat sekali denganku.
“Jeeen…”, aku nyaris menjerit karena terkejut, namun belum sempat aku berbuat sesuatu, Jenny sudah menerkam dan menindihku.
“Sayang… aku sama kamu aja ya…”, rengek Jenny yang lalu melumat bibirku.
Aku hanya bisa memejamkan mataku sambil balas melumat bibir Jenny. Aku memeluk Jenny dengan sepenuh hati, dan kami berdua sudah tak canggung lagi untuk saling memuaskan di hadapan mereka dengan cara saling mencelupkan jari tangan kami ke dalam liang vagina pasangan kami.
Lalu, satu tangan kami yang lain yang masih menganggur, kami gunakan untuk saling meremas payudara kami, dan tak lupa kami saling memagut bibir dengan mesra.
“Lho, non Jenny kok malah sama non Eliza? Tadi katanya mau sama saya”, tiba tiba kudengar suara Wawan yang disambung jeritan manja Jenny saat tubuhnya ditarik oleh Wawan dari pelukanku.
Wawan sudah menindih Jenny sambil mencengkeram kedua tangan Jenny hingga Jenny tak bisa bergerak, lalu Wawan mulai menggagahi Jenny. Sesekali Jenny mengangkat kepalanya, dan tanpa diminta Wawan melumat bibir Jenny dengan ganas sambil terus menggenjot liang vagina Jenny.
Sambil menekan gairahku, aku menggeleng gelengkan kepalaku tak habis pikir melihat keperkasaan Wawan. Ia sudah membuat Sherly, aku sendiri dan juga Cie Stefanny orgasme, namun Wawan masih saja mampu menggagahi Jenny dengan segencar itu.
Memang selama ini, setiap terjadi pembantaian terhadap diriku di rumah, Wawan seorang diri saja sudah mampu membuatku tersiksa dalam kenikmatan karena aku harus melayaninya sampai hampir satu jam lamanya hingga aku orgasme berkali kali, dan tak jarang aku sudah kehabisan tenaga ketika aku harus melayani pejantan yang lain.
Tiba tiba aku teringat akan Cie Stefanny. Aku segera mencari cari dan menemukan Cie Stefanny, yang lagi lagi tergolek lemas di lantai. Aku turun dari ranjang dan mendekati Cie Stefanny yang masih menikmati sisa sisa orgasmenya, terlihat dari tubuh Cie Stefanny yang sesekali tersentak hebat.
“Cie… jangan tiduran di lantai gini… ayo Cie naik ke ranjang aja ya, nanti Cie Cie masuk angin lho…”, aku berkata pelan sambil membelai rambut Cie Stefanny, lalu aku mulai mencoba membantu Cie Stefanny berdiri dengan melingkarkan tangan kanan Cie Stefanny pada leherku.
“Mmh… makasih sayang”, Cie Stefanny sempat mengecup bibirku dengan lembut, lalu ia menguatkan diri dan mencoba berdiri selagi aku terus memapah Cie Stefanny, hingga akhirnya kami sama sama berdiri.
Dengan jantung yang berdegup kencang akibat kecupan Cie Stefanny tadi, aku menuntun Cie Stefanny sampai ke ranjang, lalu membaringkan Cie Stefanny. Dan aku berbaring di samping guru lesku tersayang ini, sambil terus mengatur nafas.
Orgasmeku sendiri sudah mereda, namun capeknya ini masih cukup terasa. Sekarang ini Sherly sedang ngeseks dengan pak Arifin, Jenny juga sedang ngeseks dengan Wawan. Suwito sendiri sepertinya sudah benar benar habis dan malas bangun lagi.
Cie Stefanny baru saja orgasme, berarti nantinya aku yang harus melawan pejantan berikutnya dari dua pasangan ngeseks ini, yang lebih dahulu berhasil menaklukkan betinanya. Maka aku harus memulihkan nafas dan tenagaku, dan sekuatnya aku berusaha menahan diri dari keinginanku untuk mencumbui Cie Stefanny seperti kemarin.
“Ngghhk… aduuuh…”, kudengar Sherly melenguh dan merintih.
Aku melihat ke arah Sherly, yang sekarang ini kepalanya terdongak dan ia memejamkan matanya erat erat sambil menggelinjang dan merintih keenakan di bawah tindihan pak Arifin. Tiba tiba dengan satu erangan panjang, tubuh Sherly mengejang hebat, lalu Sherly melemas dan gerakannya yang liar itu terhenti.
Rupanya Sherly sudah mengalami orgasme lagi. Nafas Sherly tersengal sengal, dan ketika pak Arifin melepaskan Sherly dari tindihannya, Sherly tetap tergolek lemas, telentang di atas ranjang.
Aku segera bangkit dan menghampiri pak Arifin, lalu tubuhnya kudorong hingga kini pak Arifin terbaring di samping Sherly. Lalu aku menaiki tubuh pak Arifin, dan sekali ini pak Arifin tak menahan tubuhku ketika aku akan memasangkan penis pak Arifin pada liang vaginaku.
Sebenarnya aku masih sedikit kesal pada pak Arifin kalau teringat tentang tadi, sewaktu pak Arifin bilang kalau ia lebih menyukai anusku daripada liang vaginaku. Tapi aku sudah amat menginginkan tusukan penis lelaki ke dalam liang vaginaku, dan satu satunya pejantan yang tersedia untukku sekarang ini hanya pak Arifin.
Maka aku terus menurunkan tubuhku, menikmati terjangan penis yang besar, panjang dan berurat ini pada liang vaginaku. Walaupun tak sekeras milik Wawan, penis pak Arifin ini juga mampu memberikan siksaan yang nikmat pada liang vaginaku.
“Non Eliza… hari ini saya benar benar ketiban rejeki non, bisa main sama non dan temen temen non yang memeknya pada seret semua seperti non Eliza, sudah gitu semuanya cakep cakep lagi. Bener bener gak rugi kerja di sini non”, kata pak Arifin panjang lebar, lalu ia menarik tubuhku hingga aku terbaring rebah menindih pak Arifin yang kemudian langsung mencumbuiku dengan sangat bernafsu.
“Mmmhh…”, aku merintih dan menggeliat, karena liang vaginaku mulai tersiksa akibat dipompa penis pak Arifin.
Seperti biasa, tanpa belas kasihan pak Arifin menggenjotkan penisnya yang berukuran raksasa itu memompa liang vaginaku, dan aku sendiri tak berani terlalu menggeliat karena liang vaginaku terasa penuh sekali.
“Non Eliza kok diam saja? Kok nggak mulet mulet seperti tadi? Enak lho non memeknya non ini kalau non Eliza mulet mulet”, kata pak Arifin sambil menggoyangkan pinggulnya mengadukkan penisnya yang terbenam dalam liang vaginaku.
“Ngghh…”, aku melenguh antara kesakitan dan keenakan, dan akibat gerakan pak Arifin tadi tubuhku terus menggeliat lemah.
“Ayo non… goyang non… oooh… enaknya nooon…”, pak Arifin mulai meracau ketika aku menuruti keinginannya dengan terus menggeliat, walaupun akibatnya siksaan kenikmatan pada liang vaginaku ini makin menghebat.
“Aduuh… paaak… enaaak…”, kini ganti aku yang meracau keenakan, kepalaku terdongak dan pinggangku sampai melengkung lengkung sangking nikmatnya adukan penis pak Arifin yang kurasakan pada liang vaginaku ini.
Cairan cintaku mulai membanjir lagi mengiringi orgasmeku, dan aku mulai lemas, lalu ambruk menindih pak Arifin yang masih saja bersemangat menggenjot tubuhku. Untungnya aku mendengar pak Arifin mulai menggeram, sepertinya ia akan segera mencapai klimaks.
“Huoooh… non Elizaaa…”, erang pak Arifin yang lalu memeluk tubuhku erat erat hingga penisnya itu tertanam begitu dalam pada liang vaginaku.
Beberapa kedutan dari penis pak Arifin mengawali rangkaian semburan spermanya yang membasahi liang vaginaku. Aku berusaha mengatur nafasku, lalu aku beranjak turun dari tubuh pak Arifin. Kulihat sisa sperma pak Arifin masih belepotan pada penisnya mulai mengecil itu.
“Sayang… kamu sexy sekali…”, desah Cie Stefanny yang kini sudah ada di depan selangkanganku, membuatku terkejut.
“Cieee… anggghkk… ngghh…”, aku melenguh tak karuan ketika Cie Stefanny memagut bibir vaginaku dan menyeruput isinya, yaitu cairan cintaku yang bercampur dengan sperma pak Arifin.
Aku hanya bisa pasrah sambil melenguh lenguh akibat ulah Cie Stefanny ini, dan celakanya aku kembali orgasme dan kurasakan cairan cintaku kembali membanjir. Aku menggeliat liar, tapi Cie Stefanny malah memeluk kedua pahaku kuat kuat, dan Cie Stefanny sama sekali tak melepaskan pagutannya pada bibir vaginaku.
“Aduh… Cie Cie jahat…”, aku merengek setelah Cie Stefanny puas menyeruput habis semua cairan cintaku.
“Mmmhh… maafin Cie Cie ya sayang… abisnya Cie Cie haus sih”, kata Cie Stefanny sambil meleletkan lidah ketika aku menatap sayu padanya.
Aku tertegun mendengar kata kata Cie Stefanny tadi, tapi belum sempat pikiranku melayang, aku melihat Cie Stefanny merangkak mendekati pak Arifin, dan Cie Stefanny langsung mengoral penis pak Arifin yang masih berlumuran sisa spermanya dan juga cairan cintaku.
“Oooh… non…”, pak Arifin mulai melolong ketika Cie Stefanny menghisap hisap penis pak Arifin sambil memaju mundurkan kepalanya hingga sesekali terdengar suara seruputan dari mulut Cie Stefanny.
Aku masih tersengal sengal dan terus berusaha mengatur nafasku sambil memperhatikan keadaan kami semua. Sherly terlihat sudah mampu mengatur nafasnya, walaupun ia masih terlihat kelelahan dan tubuhnya basah oleh keringat. Cie Stefanny sedang memeras sperma pak Arifin, sedangkan Jenny menggeliat liar berjuang menahan gempuran Wawan yang masih menindihnya.
Wawan sudah mulai mendengus dengus dan sesekali ia menggeram. Tapi Jenny sendiri yang terus merintih rintih dengan matanya yang terpejam erat, kelihatannya sudah akan orgasme. Tubuh Jenny mulai mengejang dan kepala Jenny terdongak ke belakang.
“Ngghkk… aduuhh…”, Jenny merintih dan melenguh keenakan dan tubuhnya tersentak beberapa kali, lalu melemas tanpa daya di bawah tindihan Wawan.
Akhirnya Jenny sudah orgasme, dan Wawan sendiri mempercepat genjotannya hingga Jenny merintih rintih sambil mencengkeram sprei ranjang tempat dirinya dibantai oleh Wawan. Tak lama kemudian Wawan menggeram panjang, lalu menekankan pinggulnya ke arah Jenny dan tubuhnya tersentak beberapa kali.
Kini Wawan ambruk menindih tubuh Jenny. Aku melihat Sherly yang ternyata masih terlihat lelah dan memejamkan matanya. Wajahnya masih terlihat agak merah, tapi nafas Sherly sudah mulai teratur.
“Sher… aku duluan ya?”, aku bertanya pada Sherly sambil menunjuk ke arah Wawan.
Sherly membuka matanya, dan setelah mengerti maksudku Sherly mengangguk lemah. Kelihatannya sekarang ini Sherly memang masih kelelahan.
Maka aku langsung beranjak ke arah Wawan. Tubuh Wawan kugulingkan ke samping Jenny, lalu kedua tangan Wawan kutarik sehingga Wawan harus berdiri. Kemudian aku berjongkok di depan Wawan, dan aku mulai mengulum penis Wawan yang masih belepotan sisa sperma dan cairan cinta Jenny itu.
Penis Wawan yang tidak sekeras ketika ereksi ini kuhisap kuat kuat hingga Wawan mulai melolong lolong keenakan. Aku terus memaju mundurkan kepalaku, mengulum ngulum penis itu dalam mulutku. Sudah beberapa menit aku mengoral penis Wawan, ketika kurasakan penis Wawan mulai mengeras dalam mulutku.
Aku melirik ke arah Cie Stefanny yang masih berjuang memeras sperma pak Arifin. Aku jadi tak mau kalah, dan seperti sedang berlomba dengan Cie Stefanny yang mengoral penis pak Arifin, aku dengan bersemangat mengulum dan menyedot penis Wawan, lalu batang penis itu kujilat memutar hingga pemiliknya mengerang keenakan.
Namun Cie Stefanny yang sudah mengoral penis pak Arifin sejak tadi itu berhasil membuat pak Arifin melolong lolong dan akhirnya pak Arifin berejakulasi juga. Dan aku tak tahu apa yang terjadi, yang jelas pak Arifin juga roboh lemas setelah Cie Stefanny melepaskan kulumannya pada penis pak Arifin.
Entahlah, yang pasti aku memilih untuk berkonsentrasi membuat Wawan juga berejakulasi, dan aku memutuskan untuk melakukan deep throat pada penis Wawan ini.
“Uuugh… ampun nooon…”, tiba tiba kudengar pak Arifin melolong lolong kembali.
Aku menoleh untuk melihat ke arah pak Arifin, ternyata Jenny sedang mengulum penis pak Arifin yang terus berkelojotan dan melolong lolong. Diam diam aku tertawa geli dalam hatiku, kelihatannya kami para cewek akan mendapatkan kemenangan telak dalam pesta seks ini.
“Non Eliza… oooh”, Wawan kembali mengerang keenakan ketika aku terus melakukan deep throat, dan aku beberapa kali melakukan gerakan menelan pada tenggorokanku, hingga Wawan mulai berkelojotan.
“Huuooooh…”, Wawan menggeram dan melolong, lalu kurasakan liang tenggorokanku basah oleh sperma Wawan.
Sperma itu tersemprot saat ujung penis Wawan masih terbenam pada liang tenggorokanku, dan ketika Wawan menarik lepas penisnya dari mulutku, aku tersedak beberapa kali hingga sebagian dari sperma Wawan yang sempat tertelan olehku ini keluar lagi ke dalam mulutku.
Rasanya sungguh aneh, seperti habis batuk berdahak saja. Aku cepat cepat menelan sperma itu kembali supaya tak perlu berlama lama merasakan sperma itu di lidahku, dan aku sudah akan mengulum penis Wawan yang masih belepotan sperma, tapi Sherly sudah maju mendekati Wawan terlebih dahulu.
Sebenarnya Wawan sudah mulai lemas setelah aku berhasil memaksanya berejakulasi dalam mulutku, tapi Sherly yang sudah menghampirinya tak memberi Wawan kesempatan untuk beristirahat. Tanpa berkata apa apa Sherly mengulum penis Wawan yang langsung melolong lolong.
“Huooh… noon… sudah… ampun noon…”, Wawan mulai menguik nguik seperti sedang disembelih.
Tiba tiba aku melihat Jenny sudah berdiri, dan pak Arifin sudah tak bersuara lagi, terkapar dalam posisi melengkung seperti udang. Rupanya pak Arifin sudah K.O seperti Suwito. Lalu Jenny membantu Sherly dengan memegangi tangan Wawan yang mencoba mendorong kepala Sherly dari selangkangannya, dan Jenny melumat bibir Wawan hingga erangan dan lolongan Wawan itu teredam.
Benar benar pemandangan yang aneh, dua orang bidadari yang cantik jelita sedang memperkosa seorang lelaki yang wajahnya hancur hancuran. Semua ini adalah ide Sherly, yang akhirnya berhasil memaksa Wawan berejakulasi sekali lagi di dalam mulutnya.
Wawan sendiri terkapar tanpa daya, ia terlihat lemas sekali dan sudah tak bergerak lagi. Pak Arifin dan Suwito juga tak bergerak sama sekali. Hanya kami para cewek ini yang masih mampu berdiri tegak, yang berarti kami telah meraih kemenangan telak atas para pejantan itu. Kini hanya terdengar dengusan dan desahan nafas dari kami semua yang kelelahan setelah menjalani pesta seks yang amat liar ini.
Sherly memejamkan matanya dan menelan semua sperma Wawan yang ada dalam mulutnya. Lalu Sherly memeluk Jenny dan bibir mereka saling berpagut dengan mesranya. Beberapa saat kemudian mereka berdua turun dari ranjang dan berdiri, sambil menatap Wawan dengan senyum kemenangan.
“Tuh kan, kalau jumlah kita sama banyak gini, ternyata kalian cowok cowok yang abis duluan”, ejek Sherly dengan senang.
“Makanya jangan sombong dulu, kalau kalian bertiga main gangbang sama Cie Stefanny dan kalian yang menang, itu memang udah biasa kali. Tapi lain kan kalau kita sama banyaknya gini?” timpal Jenny.
“Terus… siapa ya yang tadi pakai bilang ‘belum tau dia’?”, Sherly kembali meledek ketiga pejantan di rumahku ini, dan Cie Stefanny hanya tersenyum malu mendengar celoteh kedua kekasihku ini.
“Udah ah, yuk kita balik ke kamar”, aku mengajak Sherly, Jenny dan Cie Stefanny untuk keluar, kasihan juga aku melihat tiga pejantanku yang sudah lemas seperti itu, dan masih harus diledek habis oleh Sherly dan Jenny.
Kami memunguti helai demi helai pakaian kami yang berserakan di mana mana, lalu setelah mengenakan pakaian dengan ala kadarnya pun kami berempat keluar dari kamar ini dengan senyum kemenangan, dan kami semua langsung menuju ke kamarku.
Sesampainya di kamarku, kami semua tertawa geli sambil membahas pesta seks yang liar tadi. Sherly senang sekali karena tadi kami begitu kompak memeras sperma para pejantan itu. Dan seperti yang kuperkirakan, kami semua sependapat kalau Wawan memang yang paling perkasa dan penisnya itu paling nikmat di antara semua pejantan tadi.
Memang tadi itu jelas sekali kalau Wawan yang paling tahan lama. Ia mampu memaksa Sherly, aku, Cie Stefanny dan Jenny orgasme di pelukannya, barulah ia berejakulasi di dalam liang vagina Jenny. Tapi ternyata Wawan tetap bisa kami buat terkapar loyo setelah spermanya kami peras habis.
Tiba tiba Sherly mengomel karena ia tak sempat merasakan bagaimana enaknya disandwich oleh Wawan dan pak Arifin, seperti yang dilakukan oleh mereka padaku. Kami semua tertawa geli, tapi sebentar saja aku sudah harus berhenti tertawa, dan aku hanya bisa menggigit bibir karena Sherly dan yang lain mulai meledekku.
Aku jadi teringat bagaimana liarnya diriku ketika aku memilih menikmati kerasnya penis Wawan dalam liang vaginaku, dan untuk itu aku rela meluluskan permintaan pak Arifin untuk membobol anusku hingga aku disandwich oleh mereka berdua.
“Eliza… tadi itu waktu kamu disandwich, Arifin keluar nggak? Kalau keluar, berarti kamu satu satunya yang dapat sperma di sini, di sini dan di sini “, goda Sherly lagi dengan senyumnya yang usil sambil menunjuk ke arah anusku, vaginaku dan tenggorokanku.
“Sheeer…”, aku merengek malu dan memukuli Sherly dengan kedua tanganku yang kugenggamkan, tapi Sherly malah menangkap kedua pergelangan tanganku, lalu ia memagut bibirku dengan mesra.
“Eh eh… jangan pacaran dulu dong. Nggak capek apa kalian ini?”, Jenny mengomel dengan gaya merajuk.
“Iya iya… kamu cemburu ya sayang… sini deh…”, kata Sherly yang setelah melepaskanku langsung saja menerkam Jenny dan mencumbuinya.
“Mmmh… toloong… aku diperkosaaa ammphh…”, teriakan usil Jenny itu terhenti ketika aku memagut bibirnya dengan sepenuh hatiku.
“Ya ampun… jadi kalian ini tiap hari ya seperti ini?”, tanya Cie Stefanny yang tertawa geli.
Aku, Jenny dan Sherly sama sama tersenyum malu dan menghentikan kenakalan kami ini. Obrolan kami berlanjut, dan setelah kami selesai membahas pesta seks yang tadi, topik obrolan kami berubah ke arah pesta seks kemarin malam.
Cie Stefanny menceritakan dengan lebih detail tentang apa saja yang kulakukan, termasuk tentang susu kental manis yang kutuangkan pada kedua puting payudara Cie Stefanny, dan bahkan juga pada bibir vagina Cie Stefanny.
“Kalian aja nggak liat yang kemarin, ampun deh anak nakal ini…”, kata Cie Stefanny yang menutup ceritanya sambil melirikku sambil tersenyum.
“Nggak tau kok… nih anak makan apa ya kok bisa sampai punya ide senakal itu?”, ledek Jenny.
“Udah gitu berani nakal sama guru lesnya lagi. Aku belum pernah dengar sih ada sih murid cewek yang memperkosa guru lesnya sendiri”, Sherly juga meledekku.
“Biarin, kalian iri kan?”, balasku sambil meleletkan lidah walaupun sebenarnya aku merasa malu juga mendengar ledekan mereka.
“Dasar… kamu ini masih bisa bisanya balas ngeledek”, kata Sherly yang kemudian tiba tiba menyergapku, lalu Sherly memelukku dan menindihku, membuatku menjerit kecil sambil tertawa.
“Cie, kita ditinggal mereka pacaran lagi tuh. Ya udah, kita juga pacaran sendiri aja ya Cie”, kudengar suara Jenny, yang kemudian disambung dengan rintihan manja Cie Stefanny.
Ketika aku menoleh ke arah mereka, kulihat Jenny juga menindih tubuh Cie Stefanny, dan mereka saling berpelukan, wajah mereka sudah nyaris menempel. Jenny tanpa sungkan lagi mulai mencumbui wajah Cie Stefanny yang hanya pasrah sambil sesekali merintih mesra.
“Sayang, kamu kok ngeliatin mereka sih… liat aku dong… kamu tau nggak… sejak terakhir di vila itu… aku udah kangen abis sama kamu…”, bisik Sherly dengan nafas yang memburu, kemudian Sherly juga mencumbui wajahku ketika aku menatapnya.
Aku memejamkan mataku menikmati cumbuan Sherly ini, dan kami bercinta dengan mesra di samping Jenny dan Cie Stefanny yang juga sedang bercinta dengan panasnya. Dalam sekejap pakaian kami kembali berserakan di lantai, dan kami sudah sibuk untuk saling memuaskan pasangan kami, dengan megadukkan jari tangan kami ke dalam liang vagina pasangan kami, dan tak lupa kami saling cium dan saling cumbu dengan pasangan kami.
Dan gilanya kami semua bertukar pasangan bercinta tiap salah satu pasangan bercinta kami orgasme, hingga kami berempat ini sudah pernah saling berpasangan. Entah dengan yang lain, aku benar benar menikmati semua ini dan bercinta semesra mesranya dengan semua pasanganku, meluapkan rasa sayangku pada mereka.
Aku, Jenny, Sherly dan Cie Stefanny seperti tak puas puasnya mereguk kenikmatan ini, sampai kami semua tergolek lemas kehabisan tenaga karena mengalami orgasme berkali kali.
Pesta seks antar sesama cewek ini ini berakhir sekitar jam 5 sore, dan kami semua berbaring di atas ranjangku, beristirahat memulihkan tenaga sambil mengobrol ke sana kemari. Setelah tubuh kami tak begitu lelah, kami mandi bersama di dalam kamar mandiku.
Sudah bisa ditebak, acara mandi bersama ini malah kacau karena kami lebih sibuk untuk saling merangsang daripada saling memandikan teman mandi kami.
Entah berapa lama, akhirnya acara mandi bersama ini selesai. Aku meminjamkan pakaianku dan juga pakaian dalamku pada Jenny, Sherly dan juga Cie Stefanny. Mereka semua bisa memakai bra dan celana dalamku, dan juga baju dan celana panjang yang kuberikan pada mereka, karena tubuh kami memang nyaris seukuran, mulai dari tinggi badan kami yang hampir sama, lingkar pinggang kami yang sama kecilnya, juga payudara kami yang sama sama berukuran sedikit mungil.
“Aduh… Cie Cie lapar sekali”, keluh Cie Stefanny
“Aku juga…”, keluh Jenny dan Sherly hampir berbareng.
Aku sendiri juga merasakan yang sama. Kini barulah kami sadar kalau kami semua lapar sekali karena belum makan siang. Terutama Cie Stefanny yang bahkan belum makan sama sekali hari ini. Setelah kami semua merapikan penampilan kami, Jenny mengajak kami untuk makan bersama di luar, dengan menumpang mobilnya Jenny.
Mengingat kami semua masih lemas akibat pesta seks tadi, Jenny memutuskan kalau lebih baik sopirnya yang menyetir. Setelah kami semua siap di depan rumah, Jenny memanggil sopirnya yang ternyata setia menunggu di samping mobil Jenny dengan duduk di kursi kayu, yang entah didapatkannya dari mana.
Kami semua masuk ke dalam mobil. Cie Stefanny duduk di depan, sedangkan kami bertiga duduk di belakang, dan mobil ini segera berangkat menuju depot yang dipilihkan oleh Jenny.
Dengan posisiku yang duduk di tengah Jenny dan Sherly, aku tahu kalau saja sekarang ini tak ada sopirnya Jenny, aku pasti sudah menjadi barang mainan dua kekasihku ini. Tapi untung saja mereka berdua dan aku bisa menahan diri supaya tak bermesraan di depan sopirnya Jenny ini.
Aku sempat memikirkan, apakah tadi kami para cewek ini masih akan menang tetap kalau sopirnya Jenny juga ikut serta menggagahi kami dalam pesta seks tadi. Entahlah, dan kalau melihat bentuk badan sopir Jenny yang gembul seperti pak Edy, wali kelasku yang hampir impoten itu, aku tak tertarik untuk membayangkan diriku harus melayaninya. Mungkin saja si sopir ini juga hampir impoten seperti pak Edy.
Lamunanku berakhir saat kami sampai di depot favorit Jenny, yang juga kesukaanku dan Sherly. Suasana akrab saat kami makan bersama itu begitu menyenangkan. Kami berempat saling bercanda dan saling menggoda, tapi kali ini aku yang paling tersudut karena mereka bertiga tiba tiba kompak meledekku tentang Andy. Aku tersenyum malu sekaligus bahagia, tapi aku sedikit kesal juga karena aku tak bisa balas meledek mereka.
Akhirnya acara makan ini selesai juga, lalu kami semua diantar pulang ke rumah masing masing oleh Jenny. Pertama adalah Cie Stefanny, lalu Sherly dan barulah aku yang diantar paling terakhir. Selama perjalanan menuju ke rumahku, Jenny meremas jari tanganku dengan mesra, aku juga balas meremas jari tangannya dengan tak kalah mesranya.
Untung saja kami tak sampai lupa diri dan bercinta di hadapan sopirnya Jenny ini hingga akhirnya mobil Jenny ini berhenti di rumahku. Jam tanganku menunjukkan sekarang ini pukul 9 malam. Aku segera pamit pada Jenny dan mengucap terima kasih padanya, juga pada sopirnya.
Beruntung aku membawa remote pagar, jadi aku bisa langsung masuk ke dalam tak perlu memencet bel rumah. Setelah pintu pagar terbuka, aku kembali melambaikan tangan ke arah Jenny lalu masuk ke dalam.
Ketika sampai di garasi, aku masih tak melihat mobil orang orang tuaku, juga mobil kokoku. Artinya lagi lagi mereka meninggalkanku di rumah sendirian, mungkin karena masih ada urusan dengan tamu tamu papa mama kemarin.
Dan biasanya tiga pejantan itu tak mungkin diam saja membiarkanku menganggur, mereka pasti sudah menungguku di garasi untuk kemudian memangsa tubuhku ramai ramai. Tapi aneh juga rasanya ketika sekali ini garasiku sepi sepi saja, tak ada satupun dari mereka.
Aku melangkah menuju kamar para pembantuku itu dan perlahan aku membuka pintunya, lalu aku melongokkan kepalaku ke dalam. Kulihat pak Arifin, Wawan dan Suwito masih terbaring lemas, dan mereka semua terlihat kecapaian dan mengantuk.
“Masih loyo semua ya? Kasian deh lu…”, kataku sambil melingkar lingkarkan jari tanganku dari atas ke bawah di hadapan mereka, lalu aku meleletkan lidahku dan aku menutup pintu meninggalkan mereka bertiga yang masih tak berdaya itu.
Sebenarnya aku tak keberatan kalau mereka sekarang ini menggagahiku, bahkan sejujurnya tadi itu aku sedikit berharap mereka akan melumat habis diriku, karena saat di rumah tak ada orang seperti sekarang ini, adalah saat dimana aku bisa melenguh dan menjerit keenakan saat digagahi oleh mereka tanpa kuatir ada yang mendengar.
Entahlah, rasanya aku sedikit merasa kecewa. Tapi ada baiknya juga sih, kini aku bisa benar benar beristirahat tanpa gangguan. Apalagi sebenarnya aku juga merasa lelah sekali. Jelas saja, siapa sih yang bisa tahan kalau harus orgasme berkali kali dalam sehari?
Setelah aku keramas dan mandi sepuasnya, tak lupa aku membersihkan liang vaginaku dengan menggunakan cairan pembersih vagina yang biasa kupakai. Lalu aku segera menghanduki tubuhku dan mengeringkan rambutku dengan hair dryer.
Setelah tubuh dan rambutku kering, aku mengunci pintu kamarku, dan tak lupa aku memeriksa keadaan semua jendela kamarku, memastikan semuanya dalam keadaan terkunci. Lalu tanpa memakai apapun aku segera membaringkan tubuhku di atas ranjangku yang spreinya sudah diganti ini.
Dengan cepat aku menyelimutkan bedcover menutupi tubuhku, untuk melindungi tubuhku dari dinginnya AC kamarku ini. Setelah aku merasa nyaman, aku mulai memejamkan mataku.
Tiba tiba ponselku berbunyi, dan dari ringtonenya aku tahu kalau itu SMS, bukan telepon. Dengan malas aku bangkit berdiri dan meraih ponselku yang ada di meja belajarku, dan aku membaca isi SMS itu.
‘Eliza… udah jam 9 malam. Cepat tidur ya, good nite’
Dan ketika aku menekan tombol bawah untuk melihat nama pengirimnya, aku melihat nama Andy!
Hatiku benar benar berbunga bunga, dan secepatnya aku balas SMS itu dengan ucapan terima kasih. Dan sambil berbaring kembali di atas ranjangku dan menyembunyikan tubuhku di bawah bedcover, aku mulai tersenyum senyum sendiri ketika aku teringat perhatian Andy tadi siang.
Lalu pikiranku mulai menerawang, membayangkan apa yang akan terjadi nantinya sewaktu Cie Stefanny sedang memberi les pada Sherly di rumahnya. Juga ketika di rumah Jenny. Apakah mereka juga akan bercinta seperti ketika aku bercinta dengan Cie Stefanny?
Aku juga teringat kalau aku belum menceritakan pada Jenny tentang apa yang menimpaku di tempat tambal ban kemarin. Mungkin tadi kami terlalu asyik sampai aku dan Jenny sama sama lupa tentang hal itu, dan aku berpikir kalau tak perlu memang hal seperti itu tak usah kuceritakan lagi.
Tapi bagaimana kalau besok besok Jenny teringat akan kata kata Dedi yang mengatakan aku hot sekali di tempat tambal ban itu?
Entahlah, sekarang ini aku sudah sangat mengantuk dan tak lama kemudian aku tertidur pulas, mengistirahatkan tubuhku yang entah sudah berorgasme berapa kali hari ini.
No comments:
Post a Comment