Eliza (14) Blind Date
Entah sejak kapan aku berada di ruangan yang asing bagiku ini. Nyala sebuah lampu kecil di tengah langit langit tak cukup untuk menerangi tempat ini, semuanya remang remang dan tak begitu jelas. Hawa dingin yang kurasakan membuatku kadang menggigil, padahal saat ini aku berpakaian lengkap. Aku mengenakan salah satu stel pakaian santai yang cukup sering kupakai kalau aku berpergian ke mall.
Namun yang membuatku merasa takut, sekarang ini aku duduk di sebuah kursi, tak bisa bergerak bebas. Kedua pergelangan tanganku yang menyatu di belakang sandaran kursi ini terikat erat. Sedangkan kedua pergelangan kakiku terikat erat pada ujung kiri dan ujung kanan kaki kursi ini. Perutku ini juga terikat pada sandaran kursi, hingga aku tak bisa ke mana mana lagi.
Oh, apa yang terjadi padaku? Apakah aku diculik?
Selagi aku berusaha mengingat ingat mengapa aku sampai berada di tempat ini, tiba tiba pintu ruangan ini terbuka, dan aku melihat ada seseorang yang masuk dan mendekatiku.
“Siapa?” tanyaku dengan sedikit panik.
Tak ada jawaban. Dan yang makin membuatku merasa ngeri, pakaian orang itu serba gelap. Bahkan ketika ia sudah cukup dekat, aku baru melihat kalau orang itu ternyata memakai topeng yang menutupi bagian lingkar kedua matanya, hingga rasanya aku tak mungkin bisa mengenali wajahnya.
“Kamu siapa? Ka… kamu mau apa…?” desisku ketakutan tanpa bisa berbuat apapun.
Orang itu seperti tak perduli dengan pertanyaanku, ia malah membelai rambut dengan lembut. Aku tertegun sejenak, dan belum sempat aku berpikir atau berbuat sesuatu, tiba tiba wajah orang bertopeng ini sudah berada sedekat ini di hadapan wajahku, hingga membuatku terhenyak dan menahan nafasku.
Sempat kuperhatikan, bentuk bibir, dagu, hidung, dan lingkaran serta bulu matanya, dan aku yakin kalau ia adalah seorang wanita. Aku melihat ia tersenyum padaku, lalu ia mulai mencumbuiku wajahku dengan lembut. Diperlakukan seperti itu oleh seorang wanita yang aku tak tahu berwajah seperti apa, dan entah kukenal atau tidak, jantungku berdegup kencang dan wajahku terasa panas.
Setelah beberapa lama, kini aku antara pasrah dan menikmati cumbuan ini, dan tiba tiba bibirku dipagutnya dengan mesra. Aku sudah tak bisa berpikir lagi. Dengan memejamkan mata, aku langsung membalas pagutan wanita yang mengenakan topeng itu dengan penuh perasaan.
Kami berdua saling berpagut dengan panas, dan baru berhenti setelah akhirnya kami sama sama kehabisan nafas. Aku membuka mataku, dan kini wajah kami berdua tetap saling berhadapan hingga kami bisa saling merasakan hangatnya dengus nafas kami selagi saling bertatapan seperti ini.
“Kamu siapa?” dengan suara pelan aku memberanikan diri untuk bertanya lagi pada wanita itu, dan memang sebenarnya aku penasaran ingin tahu siapa wanita yang baru saja bercumbu denganku ini.
Tapi jawaban yang kuterima hanyalah sebuah kecupan lembut pada bibirku. Lalu ia meraba pipiku dengan mesra, membuatku merasa sedikit jengah, namun aku hanya bisa pasrah saja. Dan aku memejamkan mataku ketika ia mengecup pipi kananku, dan ia terus melanjutkan cumbuannya sampai ke telinga kananku hingga aku sedikit menggigil kegelian.
“Eliza… Cie Cie bukain bajumu ya,” kudengar bisikan yang lebih mirip desahan di telinga kananku.
Cie Cie? Cie Cie siapa? Aku menatapnya sejenak, heran karena ia mengetahui namaku. Apakah aku juga mengenalnya? Tidak, aku tak bisa mengenali suara Cie Cie ini. Tapi entah kenapa tiba tiba aku merasa aman, dan tanpa ragu aku mengangguk pasrah.
Dan berikutnya ia membuka kancing bajuku, satu persatu. Ia melakukan itu dengan perlahan, membuatku merasa begitu sexy saat bajuku sudah terbuka sampai setengah bagian.
Remasan lembut pada kedua payudaraku ini membuatku terbakar gairah. Dalam keadaan terikat di kursi seperti ini, aku balas mencium leher Cie Cie itu yang kebetulan berada di hadapan wajahku selagi Cie Cie itu mengecup telingaku.
“Ooh…” Cie Cie itu merintih mesra.
Kami kembali saling bertatapan, dan Cie Cie itu memagut bibirku dengan penuh nafsu. Aku membalas pagutan itu dengan sejadi jadinya.
“Cie… Cie Cie ini siapa?” aku bertanya lagi di tengah nafasku yang memburu setelah kami saling melepaskan pagutan ini.
Lagi lagi ia mengecup bibirku dengan lembut tanpa menjawab. Kemudian ia malah mengeluarkan sehelai kain hitam, yang lalu dilipatnya beberapa kali hingga kain itu berukuran kecil dan memanjang. Aku memejamkan mataku ketika ia menutupkan kain itu pada kedua mataku, dan aku diam saja ketika kain itu dilingkarkan dan diikatkan di belakang kepalaku.
Aku tak bisa melihat apa apa lagi. Kini aku hanya bisa pasrah menunggu dan menebak nebak apa lagi yang kira kira akan dilakukan Cie Cie itu padaku. Tiba tiba kepalaku jadi sedikit pening saat aku mencoba mengingat mengapa aku sampai berada di tempat ini.
“Yul… Yulita! Nanti Eliza bangun!” samar samar kudengar sebuah suara yang kukenal, yaitu suara Cie Natalia!
“Nggak apa apa deh Nat… kalau bangun, biar nanti kuajak bercinta sekalian,” kudengar suara seorang gadis yang dipanggil dengan nama Yulita itu, dan dari caranya memanggil Cie Natalia, sepertinya Cie Yulita ini teman sebaya Cie Natalia.
Entah apa yang terjadi, sekarang ini aku sedang dalam keadaan terbaring, bukan dalam keadaan duduk terikat. Walaupun kini tak ada ikatan yang membelenggu kedua tangan dan kakiku, aku sedikit merasa aneh dan kuatir, karena dari tadi rasanya aku tidak bergerak sedikitpun, juga rasanya tak ada yang sempat memindahkanku untuk berbaring di sini.
Eh? Di mana ini? Dan mengapa aku masih tak bisa melihat apapun? Apa yang terjadi padaku?
Tapi sekarang aku mulai mengenali aroma ruangan ini. Aku masih berada di kamar Cie Natalia. Dan aku mulai memikirkan tentang perkataan Cie Natalia dan Cie Yulita tadi.
Seketika aku menyadari tadi itu semua cuma mimpi, dan kini aku sudah terbangun. Dan mendengar suara Cie Natalia tadi, aku tahu ia ada di dekatku, maka aku jadi merasa sedikit tenang.
Tentang mengapa aku tak bisa melihat, kini aku menyadari ada sesuatu yang menempel dan menutupi pandangan kedua mataku. Mungkin ini adalah kain hitam, seperti dalam mimpiku tadi, tapi rasanya bukan kain biasa.
Sebuah kecupan lembut hinggap di bibirku. Aku hanya diam saja, tak tahu harus berbuat apa.
“Yuul… kamu kok ngawur sih!” aku mendengar bisikan Cie Natalia lagi.
Tapi kecupan ini malah berubah menjadi pagutan hingga aku menahan nafas saat jantungku berdetak kencang dan gairah mulai menghinggapi diriku.
Kalau yang disebut oleh Cie Natalia sejak tadi adalah Cie Yulita, berarti yang sedang memagut bibirku ini adalah Cie Yulita. Dan aku tetap diam, bahkan aku berusaha tak bereaksi sambil tetap menahan nafasku.
“Yul… kamu gila ya? Jangan terusin ah!” Cie Natalia mulai mengomel walaupun dengan nada berbisik.
“Mmmhh…” desah Cie Yulita di tengah nafasnya yang tersengal sengal setelah melepaskan pagutannya yang kurasakan begitu mesra itu pada bibirku.
batuk kalau ciuman tadi berlangsung beberapa detik lebih lama. Untung saja Cie Yulita sudah melepaskan pagutannya pada bibirku. Dengan sebisanya aku mengatur nafasku yang juga sempat tersengal ini, dan setelah aku berhasil menenangkan nafasku, aku tetap berusaha untuk berpura pura masih dalam keadaan tidur.
“Yul… kamu ini gimana sih! Liat tuh, hampir aja Eliza bangun!” kudengar Cie Natalia mengomel dengan berbisik setelah mereka berdua sempat terdiam beberapa saat, mungkin karena tadi mereka melihat nafasku yang sempat tersengal sesaat.
“Tenang deh Nat, sleeping beautymu ini masih tidur kok,” jawab Cie Yulita pelan dengan nada yakin.
Saat itu juga aku merasakan belaian lembut pada rambutku, pipiku, dan akibatnya getaran halus kembali menjalari tubuhku, menambah siksaan padaku yang sudah cukup terangsang akibat pagutan bibir Cie Yulita yang semesra itu pada bibirku tadi.
“Tapi Yul…” Cie Natalia kembali berbisik dengan nada kuatir.
“Nat… kamu kenapa sih?” tanya Cie Yulita balik dengan berbisik pula. “Kamu cemburu ya?”
“Eh? Yu… Yul… mmmhh…” kudengar Cie Natalia merintih lemah.
Kini aku mendengar rintihan tertahan dari mereka berdua. Aku membayangkan mungkin tadi itu Cie Yulita menyergap Cie Natalia, dan sekarang ini mereka pasti sedang saling berpagut bibir dengan panasnya. Dan, mereka tega membiarkan aku yang kini jadi sedikit kecewa, karena sekarang ini aku sudah mulai terbakar gairah, namun aku tak tahu harus berbuat apa dalam kesendirianku ini.
Tiba tiba aku jadi ingin tahu, seperti apa ya Cie Yulita itu? Apakah ia juga secantik Cie Natalia?
Tapi aku tak bisa melihat apa apa, sedangkan kalau aku nekat membuka kain yang menutup mataku ini dan mereka tahu kalau aku sudah bangun, entah apa yang akan terjadi.
Mungkin saja kami bertiga jadi saling bermesraan dan bercumbu, bahkan saling bercinta dengan panas malam ini.
Tapi mungkin juga kami bertiga malah menjadi canggung, karena Cie Natalia itu masih sepupuku sendiri, dan aku juga belum mengenal Cie Yulita.
Mengingat akan adanya kemungkinan yang terakhir itu, aku memutuskan untuk tetap diam, karena selain aku tak ingin merusak suasana, aku menyadari tadi itu aku amat menikmati sentuhan dan cumbuan Cie Yulita pada wajahku saat aku dalam keadaan tak bisa melihat apa apa. Dan aku menginginkan hal itu terjadi lagi.
Aku memang tak tahu bagaimana wajah Cie Yulita, bentuk matanya, bibirnya, ataupun bentuk tubuhnya, tapi itu semua malah menambah sensasi buatku saat Cie Yulita mencium bibirku tadi. Dan aku berharap akan diperlakukan seperti itu lagi kalau Cie Yulita mengira aku masih tidur.
“Ngghhk… Yuul…” rengek Cie Natalia mesra.
Sedang apa ya mereka?
Duh, kalau begini kan mereka itu membuatku makin iri aja.
“Mmphh… Yul… udah dong… Kalau Eliza sampai bangun, terus dia liat kita begini, nanti aku kan yang repot!” kudengar suara Cie Natalia memprotes.
Suasana jadi hening sejenak.
“Tapi Nat… aku…” Cie Yulita mengeluh.
“Udah, jangan terusin lagi, please Yul… besok besok kan masih bisa?” protes Cie Natalia. “Lagian, sekarang ini udah jam dua belas malam. Kamu nggak pulang ta Yul?”
Suasana kembali hening. Ternyata sekarang ini baru jam dua belas tengah malam. Ini artinya aku cuma sempat tertidur sekitar hampir satu jam saja.
“Ya udah deh… aku pulang sekarang. Tapi antarin aku sampai ke mobil ya sayang…” rengek Cie Yulita.
“Iya iya…” jawab Cie Natalia dengan nada suara seperti menghibur anak kecil yang manja.
‘klik’, kudengar handel pintu kamar ini terbuka, dan mereka meninggalkanku sendirian di dalam sini setelah menutup pintu. Aku menunggu beberapa saat hingga aku yakin mereka sudah turun ke bawah, lalu aku meraba raba kain yang menempel dan menutupi kedua mataku ini, mencoba untuk mencari tahu benda apakah ini, sampai akhirnya aku menyadari dan bisa memastikan ini adalah sebuah blindfold.
Tapi aku tak melepaskan blindfold ini, dan aku menaruh tanganku ke dalam bedcover kembali. Jadi Cie Natalia tak akan tahu kalau aku sudah bangun. Dan aku diam menunggu Cie Natalia kembali. Selagi menunggu, aku memikirkan apa yang baru saja terjadi.
Aku tertidur hampir satu jam. Aku jadi bertanya tanya, sejak kapan dan seberapa lama Cie Yulita mencumbuiku? Apakah aku bermimpi aneh seperti tadi itu karena aku memang sudah dicumbui seperti itu oleh Cie Yulita saat aku masih tertidur?
Mungkin saja. Dan teringat akan hal itu, tiba tiba wajahku terasa panas. Aku tak tahu apakah aku sempat benar benar membalas pagutan Cie Yulita selagi aku masih tertidur tadi. Dan harus kuakui, tadi itu saat aku dicumbui oleh Cie Yulita yang belum kukenal dan juga belum kuketahui wajahnya selagi aku mengenakan blindfold ini, adalah suatu sensasi baru bagiku. Dan aku amat menikmatinya.
Kemudian aku teringat saat Cie Natalia dan Cie Yulita saling merintih. Aku cukup yakin kalau waktu itu mereka sedang berciuman. Dan dari percakapan mereka yang tadi, aku rasa mereka memang sudah terbiasa seperti itu, walaupun entah apakah juga sudah sejauh seperti yang aku lakukan dengan Jenny, Sherly ataupun Cie Stefanny.
Dan teringat itu semua, nafasku jadi sedikit memburu seiring gairahku yang kembali bergejolak. Tapi aku sadar kalau aku harus cepat menekan gairahku ini. Bagaimana aku bisa tidur kalau semua hal erotis itu memenuhi benakku?
Tiba tiba kudengar pintu kamar ini terbuka, lalu tertutup kembali.
“Eliza…?” aku mendengar Cie Natalia berbisik pelan memanggilku.
Aku diam, bingung entah aku harus menjawab atau tetap pura pura tidur.
“Eliza…” Cie Natalia memanggilku lagi dengan suara yang sepelan tadi.
Ingin rasanya aku bangun, memeluk Cie Natalia, memuaskan gairahku yang bangkit akibat cumbuan Cie Yulita tadi, yang lalu terputus di tengah jalan dan tak diteruskan itu. Tapi aku takut membayangkan apa pikiran Cie Natalia tentang diriku kalau sampai ia mengerti bagaimana tadi aku pura pura tidur walaupun dihujani ciuman dan pagutan oleh Cie Yulita seperti itu.
Maka aku memutuskan untuk tetap berpura pura tidur, walaupun sebenarnya aku ingin sekali bercumbu dengan Cie Natalia.
“Hmmh… untung deh kamu nggak sampai bangun gara gara Yulita tadi,” kudengar Cie Natalia yang berkata pelan dengan nada lega, tampaknya ia sudah yakin kalau aku benar benar masih tidur.
Sesaat kemudian aku mendengar bunyi saklar lampu yang ditekan. Tampaknya Cie Natalia sudah mematikan lampu utama kamar ini.
Aku segera memejamkan mataku ketika kurasakan Cie Natalia perlahan melepaskan tali blindfold ini dari kepalaku. Aku berusaha menekan gairahku, dan sebisanya aku tetap memejamkan mataku dengan sewajar mungkin.
Namun, aku tak menyangka kalau sesaat kemudian Cie Natalia malah membuat keadaan menjadi semakin sulit buatku.
“Tapi bukan salah Yulita… abisnya kamu memang cantik…” desah Cie Natalia sambil membelai rambutku.
Dan sebuah kecupan yang begitu mesra pada bibirku membuat perasaanku tersengat. Berikutnya ketika Cie Natalia mulai mencumbui wajahku, perlahan sekali aku meremas sprei ranjang ini dengan kedua tanganku. Sekuat tenaga aku bertahan agar aku tak menuruti perasaanku untuk membalas ciuman dan cumbuan Cie Natalia, apalagi sampai memeluk tubuh Cie Natalia yang pastinya sedang berada dalam jangkauan kedua tanganku ini.
Entah sampai kapan aku kuat bertahan seperti ini. Pikiranku melayang ke mana mana, apalagi aku tak pernah membayangkan dicium dengan mesra seperti ini oleh Cie Natalia. Tapi untung akhirnya Cie Natalia menghentikan cumbuannya.
“Tapi… kalau kamu sampai tahu Cie Cie seperti ini… Cie Cie takut kamu nggak akan mau dekat sama Cie Cie lagi…” keluh Cie Natalia yang lalu mengecup keningku.
Oh… kalau saja Cie Natalia tahu, aku amat suka diperlakukan seperti ini olehnya. Kalau saja aku bisa memberitahunya… ingin rasanya aku menjerit meneriakkan isi hatiku pada Cie Natalia, dan aku mulai menyesal mengapa tadi aku harus pura pura tidur.
Kemudian Cie Natalia berbaring dengan perlahan di sampingku, dan kini kami berdua berada di dalam bedcover yang sama. Beberapa kali aku merasakan kulit tanganku bersentuhan dengan kulit tangan Cie Natalia, dan rasanya tubuhku menggigil ketika aku harus kembali berjuang menahan gairahku agar aku tidak berbuat sesuatu terhadap Cie Natalia.
Entah berapa lama, akhirnya Cie Natalia sudah tertidur, aku tahu dari nafasnya yang mulai berat. Kini tinggal aku sendiri yang harus berjuang memadamkan gairahku.
Sejak tadi aku merasa sedikit kecewa, karena sebenarnya aku sangat ingin bercumbu atau bahkan bercinta dengan Cie Natalia kalau mungkin. Dari kata kata Cie Natalia tadi aku merasa punya harapan Cie Natalia tidak menolak kalau aku mengajaknya bercinta denganku.
Tapi akal sehatku masih mampu mengingatkanku tentang tujuanku menginap di rumah Cie Natalia.
Aku ingin bisa beristirahat dengan benar, paling tidak selama beberapa hari. Walaupun jujur saja selama ini aku belum pernah sampai merasa diperkosa oleh tiga pejantanku itu, tapi aku berpikir tubuhku ini bisa remuk kalau harus terus menerus ngeseks dengan mereka setiap hari.
Bahkan kemarin itu, setelah gairah mereka bertiga itu terbakar hebat akibat kenakalanku, di sore harinya mereka berhasil menangkapku, dan mereka melampiaskan dendam padaku hingga membuatku tersiksa dalam kenikmatan. Dan mereka bahkan membuatku pingsan, tak kuat menahan orgasme yang terus mendera tubuhku. Masih terbayang dalam pikiranku waktu itu mereka bertiga menggendongku begitu rupa dan dengan kompaknya mereka menjarah tubuhku dengan seenak perut mereka sendiri.
Memikirkan semua itu, tiba tiba gairahku naik kembali. Dan hal ini menyadarkanku untuk berhenti menambah siksaan pada diriku sendiri, atau malah sampai bermasturbasi yang pasti semakin menguras tenagaku. Sebaiknya aku segera tidur untuk memulihkan kondisi tubuhku yang hancur hancuran ini.
Maka aku mencoba untuk mengusir semua bayangan tentang kehidupan seksku yang tak karuan ini dari dalam benakku. Dengan mencoba mengingat tentang pelajaran di sekolah, memikirkan tentang ujian kenaikan kelas di akhir bulan depan, perlahan aku kembali mengantuk, dan tak lama kemudian aku sudah kembali tertidur pulas.
Belaian lembut pada rambutku membangunkanku dari tidurku yang nyenyak ini. Tapi aku masih sangat mengantuk untuk membuka mataku dan melihat siapa yang akan menjarah tubuhku pagi ini. Aku masih ingin menikmati tidurku selagi bisa tanpa memperdulikan ulah para pejantanku yang akan segera berbuat sesuka hati mereka pada tubuhku ini.
Tapi setelah beberapa saat lamanya, malah aku jadi sedikit heran. Hanya belaian lembut pada rambutku? Mana remasan yang penuh nafsu dari tangan tangan mereka pada kedua payudaraku? Apa yang mereka tunggu, sehingga sampai sekarang ini masih belum ada satupun jari tangan mereka yang tercelup masuk ke dalam liang vaginaku?
Perlahan aku membuka mataku, dan aku sedikit terkejut ketika aku melihat wajah Cie Natalia yang tersenyum manis padaku. Pikiranku segera bercabang ke mana mana, dan aku jadi semakin bingung ketika aku sadar bahwa kamar ini bukan kamarku.
Akhirnya aku mulai mengerti mengapa sekarang ini aku berada di kamar Cie Natalia. Dan aku segera ingat kejadian tengah malam tadi, tentang kecupan Cie Natalia pada bibirku. Tiba tiba aku sedikit jengah dan wajahku terasa panas.
“Mmm… pagi Cie…” aku menyapa Cie Natalia dan mencoba bersikap sewajarnya.
“Pagi Eliza… Sorry ya Cie Cie bangunin kamu, Cie Cie mau ajakin kamu makan pagi,” kata Cie Natalia pelan dan ia berhenti membelai rambutku ketika aku menatap wajahnya.
Aku baru menyadari, Cie Natalia sudah berpenampilan rapi, dan tentu saja ia jadi terlihat semakin cantik. Beberapa saat kemudian tiba tiba aku melihat wajah Cie Natalia memerah, dan ia memalingkan wajahnya, hingga aku sadar kalau tadi itu aku terlalu lama menatap dan menikmati kecantikan wajah Cie Natalia.
“Eliza, kamu nggak marah kan Cie Cie bangunin kamu?” tanya Cie Natalia pelan.
“Eh… nggak apa apa Cie,” jawabku cepat sambil tersenyum malu.
Cie Natalia bangkit berdiri dan membuka gorden kamarnya. Sinar matahari yang terang langsung menembus masuk ke dalam kamar ini, membuatku menoleh ke arah jam dinding.
Aduh, ternyata sekarang ini sudah jam setengah delapan pagi! Tanpa berkata apa apa lagi aku segera ke kamar mandi di kamar Cie Natalia ini untuk menyikat gigi, lalu aku membersihkan mukaku seperlunya dan sedikit merapikan rambutku supaya tak terlihat awut awutan.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, aku melihat Cie Natalia yang menungguku, duduk manis di tepi ranjang, dan sepertinya sedang melamun, bahkan sepertinya ia tak menyadari aku sudah duduk di sampingnya. Dan aku perlahan memegang pundak Cie Natalia.
“Ih kamu… Cie Cie sampai kaget,” Cie Natalia menjerit kecil dan memukul tanganku dengan perlahan.
“Aduh… hihi… hayo Cie Cie melamun yaa?” aku mulai menggoda Cie Natalia.
“Eh… Cie Cie… enggak kok!” bantah Cie Natalia.
“Enggak apa sih Cie? Eliza kan cuma nanyain Cie Cie melamun apa nggak. Eliza kan nggak tahu Cie Cie sedang ngelamun siapa?” kataku sambil meleletkan lidah dengan senang.
“Emm…” Cie Natalia menatapku sambil menggigit bibir, lalu ia menunduk dan tersenyum malu dengan wajah yang merona merah.
Aku mulai yakin Cie Natalia sedang melamunkan seorang lelaki pujaan hatinya. Sebenarnya aku masih ingin terus menggoda Cie Natalia, sekalian membalas yang kemarin malam saat Cie Natalia menggodaku soal janjiku dengan Andy. Tapi aku kasihan juga melihat Cie Natalia yang kini tersenyum malu tanpa bisa berkata apa apa, hingga membuatku teringat akan keadaanku di saat aku digoda habis oleh Jenny dan Sherly tentang Andy.
“Ya udah deh, ayo kita turun Cie,” kataku sambil meraih dan menggenggam tangan Cie Natalia, lalu aku menggandengnya turun ke bawah menuju ruang makan.
Cie Natalia menurut saja, dan selagi menuju ruang makan kami saling bercanda hingga suasana hari ini rasanya menyenangkan sekali. Entah bagaimana dengan Cie Natalia, yang jelas aku merasakan getaran halus yang menjalari tubuhku saat aku menggandeng tangan Cie Natalia seperti ini. Tapi aku berusaha menekan perasaanku karena aku tak ingin suasana ini jadi rusak gara gara aku.
Dan kemudian kami bersama sama menikmati sarapan pagi ini, sementara aku diam diam mencuri pandang, menikmati kecantikan wajah Cie Natalia. Sesekali aku menatap wajah Cie Natalia dengan cukup lama saat pandangan mata Cie Natalia sedang tertuju ke arah makanan atau minumannya.
Makin lama aku makin terpesona dengan pemandangan indah di hadapanku. Rambut panjang sebahu yang menghias wajah Cie Natalia itu amat halus dan indah. Bibir Cie Natalia itu begitu mungil dan menggairahkan. Kulit Cie Natalia itu begitu putih, rasanya jauh lebih putih dariku. Lalu kedua mata itu…
“Hayo, kamu kok ngeliatin Cie Cie terus sih? Naksir ya?” tiba tiba aku terkejut mendengar suara Cie Natalia yang ternyata sudah selesai makan.
“Eh… iya… abisnya Cie Cie cantik sih,” jawabku sambil meleletkan lidah untuk memberikan kesan aku sedang balas menggoda Cie Natalia.
“Dasar… Kalau gitu kamu jadi teman kencan Cie Cie ke gereja ya,” Cie Natalia menggodaku lagi sambil tertawa.
Wajahku terasa panas dan aku merasa malu. Sepertinya aku terlalu lama memandangi wajah Cie Natalia hingga akhirnya ketahuan oleh Cie Natalia.
Duh, bodohnya aku…
Tapi aku juga merasa senang sekali, karena dengan menggodaku seperti tadi, berarti ada kemungkinan Cie Natalia memang tidak keberatan kalau aku memandanginya seperti tadi. Diam diam aku mulai berharap, aku bisa semakin dekat dengan Cie Natalia.
Dan tentang ajakan Cie Natalia untuk menemaninya ke gereja, oh… aku akan senang sekali… tapi…
“Aduh… masih sempat nggak Cie?” aku baru teringat soal ini, dan sadar kalau aku tadi bangun kesiangan dan belum mandi, aku kembali mencari jam dinding. “Jam berapa ya sekarang?”
“Tenang deh sayang,” kata Cie Natalia. “Masih jam delapan lebih sedikit kok. Nanti kita ke gereja ******** aja. Misa terakhir di sana kan masih sekitar satu setengah jam lagi.”
“Oh iya… untung deh… kalau gitu Eliza siap siap dulu ya Cie,” kataku sambil menarik nafas lega, dan Cie Natalia mengangguk.
Aku dan Cie Natalia sudah selesai makan, dan kami menaruh piring kotor kami di dapur. Setelah bergantian menggunakan wastafel untuk membersihkan mulut dan mencuci tangan, kami berdua segera naik ke atas menuju kamar Cie Natalia.
“Abis itu, kalau kamu nggak ada acara, kamu temanin Cie Cie pergi cari kado buat teman Cie Cie yang ulang tahun ya?” ajak Cie Natalia saat akan menaiki tangga.
“Iya Cie, Eliza nggak ada acara kok sampai waktu les balet nanti” aku menerima ajakan Cie Natalia dengan senang hati.
“Thanks ya Eliza… kamu baik deh,” kata Cie Natalia sambil tersenyum, manis sekali.
“Nggak apa apa Cie, Eliza malah senang kok diajak jalan jalan,” kataku dengan cepat untuk menutupi kecanggunganku karena saat ini jantungku kembali berdegup kencang.
Aku dan Cie Natalia sudah berada di kamar Cie Natalia. Dan aku membawa satu stel baju untuk berpergian dan juga handuk sebelum masuk ke kamar mandi. Setelah selesai, aku mengeringkan tubuhku dan berganti baju. Lalu aku membersihkan wajahku, dan memakai bedak tipis di wajahku, dan tak lupa aku menyisir rambutku serapi mungkin.
Diam diam aku menelan obat anti hamil yang tadi juga kubawa bersama baju gantiku. Setelah semuanya selesai, aku segera keluar dari kamar mandi dan menemui Cie Natalia yang sedang menonton TV selagi menungguku.
“Cie… Eliza udah siap. Berangkat yuk,” aku mengajak Cie Natalia segera pergi
“Iya, ayo…” Cie Natalia mematikan TV melalui remote dan berdiri sambil menatapku, tapi tiba tiba kata katanya terhenti.
“Auw… kalau udah rapi gini kamu makin cantik deh Eliza,” sesaat kemudian Cie Natalia memujiku. Tapi berikutnya ia juga menggodaku, “Nggak rugi deh Cie Cie jadiin kamu teman kencan, meskipun cuma sehari.”
“Thanks ya Cie… aku juga senang kok jadi teman kencannya Cie Cie,” aku berusaha balik menggoda Cie Natalia.
Senang sekali rasanya mendapatkan pujian dari Cie Natalia, dan kata kata Cie Natalia tentang teman kencan tadi membuat jantungku berdebar aneh.
Tiba tiba ponselku berbunyi, menunjukkan kalau ada sms yang masuk. Dan aku langsung mengambil ponselku, berharap itu adalah sms dari Andy.
‘Pagi Eliza. Sorry ya kemarin aku keterusan nelepon kamu sampai malam, nggak ingat deh kalau kamu masih butuh istirahat. Gimana kamu Eliza? Moga moga kamu udah enakan, tapi kamu jangan lupa istirahat yang cukup ya.’
Dengan hati berbunga bunga, aku langsung mengetik balasan untuk sms dari Andy ini, supaya ia tidak mengkuatirkan keadaanku.
“Halo Eliza… gimana kamu pagi ini? Lagi ngapain? Udah makan belum?” tiba tiba Cie Natalia yang sudah berada di hadapanku ini mulai menggodaku.
“Cie Cieee…” aku merengek malu.
“Duh… yang lagi kasmaran… Lupa deh kalau udah mau berangkat ke gereja. Eliza, kamu nggak usah bawa mobil deh, kamu ikut Cie Cie aja, jadi kamu bisa balas sms kekasihmu itu di mobil,” Cie Natalia kembali menggodaku.
“Ya ampun! Sorry Cie,” kataku sambil cepat memasukkan ponselku ke dalam tasku, dan aku jadi malu dan merasa tak enak. “Ayo berangkat Cie.”
“Eeh… nggak apa apa kok Eliza, nggak usah sampai segitunya deh,” kata Cie Natalia yang tersenyum manis, lalu ia menggandeng tanganku. “Cie Cie cuman lagi godain kamu aja kok. Yuk!”
Aku menurut saja mengikuti Cie Natalia yang menuju garasi, walaupun sekarang ini jantungku berdebar tak jelas. Selain gara gara senyuman itu, kini… apakah benar sekarang ini Cie Natalia meremas tanganku yang berada dalam gandengan tangannya? Atau ini cuma perasaanku saja?
Semua ini tetap menjadi teka teki bagiku, karena belum sempat aku bereaksi lebih jauh, kami berdua sudah berada di garasi, dan aku harus rela melepaskan gandengan tangan Cie Natalia ini. Aku masuk ke dalam mobil bersama Cie Natalia, dan kami berdua memulai aktivitas di hari Minggu ini.
“Akhirnya… selesai!” kata Cie Natalia dengan senang saat kami selesai membungkus kado ulang tahun ini dengan rapi.
“Iya Cie, padahal tadi Eliza udah kuatir lho gara gara jalanan macet waktu kita pulang tadi,” aku menimpali kata kata Cie Natalia dengan lega sambil bersandar di dinding.
“Cie Cie sih nggak kuatir, kan ada kamu yang bantuin Cie Cie. Makasih ya Eliza,” kata Cie Natalia yang tersenyum manis padaku, lalu ia juga bersandar di sebelahku.
“Nggak apa apa deh Cie, tadi kan Cie Cie udah nraktir Eliza. Tapi, besok Cie Cie juga harus nraktir Eliza lagi lho!” kataku sambil tersenyum senyum.
“Memangnya Cie Cie punya hutang apa lagi sama kamu sayang?” tanya Cie Natalia heran.
“Lhoo, kan nanti malam Eliza bantuin Cie Cie jagain piano?” tanyaku balik sambil meleletkan lidahku.
“Ooh… jadi gitu ya?!” Cie Natalia mencubit kedua pipiku dengan gemas.
“Aduh… iya Cie… ampun…” aku merengek manja sampai Cie Natalia melepaskan cubitannya, dan kami berdua tertawa geli. Lalu kami sempat bersantai dan mengobrol tentang beberapa hal, tentu salah satunya adalah soal bagaimana kami menemukan boneka panda yang dijadikan kado ini.
“Oh iya Eliza, kamu berangkat ke les balet nanti jam berapa?” tanya Cie Natalia.
“Jam setengah lima kurang sedikit Cie,” jawabku sambil melihat ke arah jam dinding, ternyata sekarang masih jam tiga sore.
“Ow… kalau gitu masih ada waktu bentar ya,” kata Cie Natalia sambil melihat ke arah jam dinding.kamu mau bantuin Cie Cie bentar kan? Yuk, ikut Cie Cie,” kata Cie Natalia yang lalu bangkit berdiri.
Aku mengangguk dan ikut berdiri, lalu aku mengikuti Cie Natalia yang masuk ke sebuah kamar. Cie Natalia menyalakan lampu di dalam kamar ini, dan aku baru melihat kalau kamar ini adalah ruang olahraga.
“Eliza, kamu tunggu bentar di sini ya, Cie Cie mau ganti baju dulu,” kata Cie Natalia.
“Iya Cie,” aku menjawab sambil menganggukan kepalaku.
Cie Natalia masuk ke kamar mandi yang ada di ruangan ini. Aku jadi bertanya tanya, apa Cie Natalia ingin berolahraga? Entah bantuan apa yang diperlukan Cie Natalia dariku, yang jelas sekarang ini jantungku jadi sedikit berdebar, karena aku mulai menebak nebak pakaian seperti apa yang akan dikenakan Cie Natalia nanti.
Apakah aku akan melihat tubuh Cie Natalia terbalut sebuah pakaian senam yang ketat seperti kostum baletku? Atau hanya kostum training biasa?
Eh? Mengapa aku sangat berharap Cie Natalia akan keluar dari kamar mandi dengan pakaian senam yang ketat?
Aku segera berusaha mengalihkan pikiranku. Sambil menunggu aku mengamati ruangan ini, yang seperti sebuah gym mini saja. Fasilitasnya cukup lengkap. Sebuah treadmill, sepasang sepeda statis, sepasang exercise ball, dan beberapa set alat latihan angkat berat yang sepertinya untuk Ko Honggo.
Suasana di ruangan ini cukup hangat, aku tak melihat ada AC di sini. Empat set lampu neon panjang ditambah dengan cermin yang menutup satu sisi dinding, membuat ruangan ini jadi terang benderang.
Aku mendengar sesuatu dan reflek aku menoleh. Mau tak mau aku terpaku dengan pemandangan indah yang terpampang di hadapanku. Tentu saja bukan karena aku melihat aktivitas Cie Natalia yang sedang membeber matras.
Melebihi harapanku tadi, sekarang ini Cie Natalia hanya mengenakan kostum training two piece yang ketat hingga aku bisa melihat jelas keindahan lekuk pinggang Cie Natalia, juga perutnya yang putih mulus dan begitu ramping itu benar benar membuatku kagum.
“Iih… kamu kok ngeliatin Cie Cie terus sih? Udah dong Eliza, jangan ngeledek Cie Cie terus. Cie Cie tau kok kalau badan Cie Cie ini agak endut. Makanya Cie Cie harus berolahraga!” tiba tiba aku mendengar Cie Natalia mengomel panjang pendek hingga aku terkejut setengah mati.
“Eh… Cie Cie… enggak kok… aku nggak…” aku tergagap panik tak tahu harus menjawab apa.
Aku tahu Cie Natalia hanya pura pura marah, namun lagi lagi dalam hati aku mengomeli diriku yang mengulangi kebodohanku pagi tadi.
“Hihi… kamu ini… kok jadi tegang gitu sih? Cie Cie cuma godain kamu aja kok,” kata Cie Natalia sambil menyodorkan sebuah gulungan plastik. “Kamu tolong bantuin Cie Cie pakai ini ya.”
“Eh… i… iya Cie. Tapi… apa ini ya?” aku bertanya di tengah kegugupanku.
“Masa kamu nggak pernah liat? Ini namanya body wrapping, Eliza. Cie Cie kan nggak bisa balet seperti kamu, jadi Cie Cie olahraga di rumah sendiri. Dan gunanya body wrapping ini, salah satunya bikin badan berkeringat lebih cepat. Harapannya, lebih banyak lemak di badan Cie Cie yang terbakar waktu Cie Cie berolahraga nanti. Yuk, Cie Cie ajarin cara masangnya ya,” kata Cie Natalia yang mulai membuka gulungan body wrapping itu.
Ingin aku mengatakan kalau tubuh Cie Natalia itu jelas jelas sangat ideal. Lekukan tubuhnya itu terlihat begitu kencang, dan tentu saja sama sekali tak ada tumpukan lemak di sana. Tapi aku takut kalau Cie Natalia malah menggodaku lagi.
Berikutnya, aku mengikuti petunjuk Cie Natalia untuk membalutkan body wrapping ini ke tubuhnya, mulai dari kedua paha dan betis yang indah itu, lalu perut yang rata dan sexy itu. Jantungku berdegup semakin kencang, dan aku merasa tubuhku sedikit gemetar saat aku membalutan body wrapping ini pada kedua lengan milik Cie Natalia ini.
“Thanks ya Eliza,” kata Cie Natalia yang tersenyum sambil memelukku ketika seluruh tangannya sudah terbalut dengan body wrapping ini.
Walaupun hanya sebentar saja, tapi pelukan Cie Natalia tadi sudah lebih dari cukup untuk menambah siksaan padaku yang sedang berjuang menahan gairahku ini.
“Mmm…” aku hanya mengguman tanpa berani menjawab.
Hatiku meronta berdebat dengan akal sehatku. Saat ini aku sudah terbakar gairah dan ingin sekali rasanya aku balas memeluk Cie Natalia. Perasaanku mengatakan bahwa jalan sudah terbuka lebar bagiku kalau aku ingin meluapkan isi hatiku pada Cie Natalia. Aku membayangkan kami berdua sudah saling bercumbu, saling berpagut bibir, atau bahkan bercinta di ruang fitness ini.
Tapi aku masih ingat tujuanku ke sini adalah mengistirahatkan tubuhku selama beberapa hari dari berbagai aktivitas seks yang akhir akhir ini sudah semakin keterlaluan. Dan aku juga masih sadar bahwa Cie Natalia ini masih sepupuku sendiri.
Lalu kalau aku mengajak Cie Natalia bermesraan, apakah ia akan pasrah saja dan melayani gairahku seperti Cie Stefanny? Bagaimana kalau nanti Cie Natalia malah jadi canggung, atau marah padaku?
Tapi bukankah di malam kemarin itu, Cie Natalia sempat memagut bibirku dengan begitu mesra ketika aku terpaksa pura pura tidur?
“Eliza, masih ada waktu kan sebelum kamu les balet? Temani Cie Cie dulu yah. Kamu pakai aja alat fitness di sini yang kamu suka. Treadmill, bola, terserah kamu deh. Cie Cie mau warming up dulu,” kata Cie Natalia yang sudah mulai melakukan scretching.
Tapi perhatianku tertuju pada tubuh indah Cie Natalia yang kini bergerak meliuk dan menggeliat di hadapan pandang mataku, membuatku makin sulit menahan gairahku. Nafasku terasa makin sesak, sedangkan aku tak tahu harus berbuat apa.
Tak lama kemudian aku melihat Cie Natalia mulai lari di atas treadmill. Aku memutuskan untuk duduk santai di lantai dengan bersandar di dinding ruangan ini, sambil menonton Cie Natalia. Beberapa menit kemudian aku melihat body wrapping Cie Natalia basah oleh keringat, sedangkan Cie Natalia sama sekali belum terlihat lelah.
Aku jadi berpikir, masuk akal juga cara yang digunakan Cie Natalia ini. Dan aku jadi ingin memakai cara yang sama seperti yang dilakukan Cie Natalia ini. Tapi di rumahku kan tidak ada treadmill, masa aku lari keliling rumah dengan mengenakan body wrapping?
Mungkin aku bisa meminta papa mama untuk membelikanku sebuah ya? Harusnya papa mama juga nggak akan keberatan untuk membuatkan satu ruangan khusus untuk berolahraga di rumah. Lagipula mungkin kokoku tertarik juga.
Tiba tiba dalam pikiranku ini malah terbayang, bagaimana jadinya kalau aku lari keliling di dalam rumahku dengan tubuhku dalam keadaan terbalut body wrapping. Yang benar saja! Dalam keadaan berpakaian lengkap pun aku harus sering menjadi obyek pesta seks tiga pejantanku itu, lalu bagaimana nasibku kalau mereka melihatku berpenampilan sexy dan menantang seperti Cie Natalia sekarang ini?
Sudah jelas kalau aku tak akan bisa berolahraga dengan benar, karena tak akan butuh waktu lama sebelum para pejantanku itu segera menangkapku. Lalu mereka mungkin akan langsung merobek robek body wrapping yang membalut tubuhku, dan berikutnya aku harus merelakan tiga liang kenikmatanku ini terisi penuh oleh penis mereka.
Atau aku bisa meminta mereka untuk membiarkan tubuhku tetap terbalut body wrapping, hingga keringat yang keluar dari tubuhku akan lebih banyak dari biasanya selagi mereka bertiga memuaskan hasrat mereka. Itu berarti, lemak yang terbuang dari tubuhku juga semakin banyak.
Duh, apa yang baru saja kupikirkan ini? Kok bisa bisanya aku memikirkan manfaat body wrapping kalau aku terpaksa harus ‘berolahraga’ bersama tiga pejantanku itu? Memang masuk akal, tapi aku jadi malu sendiri. Mestinya kan aku berpikir bagaimana caranya supaya aku tak harus terus menerus melayani nafsu mereka itu terhadap tubuhku?
Aku berusaha tak memikirkan hal itu lagi, dan aku kembali memandang ke arah Cie Natalia yang ternyata sudah selesai menggunakan treadmill. Sekarang ini aku bisa melihat bagian tubuh Cie Natalia yang terbalut body wrapping itu begitu basah dibandingkan dengan yang lainnya.
Walaupun begitu, aku tak menemukan tanda kelelahan yang berlebihan dari Cie Natalia, malah wajahnya yang merona merah itu terlihat segar sekali. Mungkin body wrapping itu memang membantu olahraga yang dilakukan Cie Natalia menjadi lebih efektif untuk membuang lemak.
“Eliza, masa kamu cuma nonton aja? Ayo dong, kamu coba aja alat yang kamu suka,” Cie Natalia berusaha mengajakku.
“Eh… enggak deh Cie. Takutnya kalau Eliza kecapekan, nanti sakit lagi seperti kemarin,” aku mencari alasan untuk menolak ajakan Cie Natalia dengan halus. “Lagian, nonton Cie Cie olahraga kayaknya lebih asyik deh.”
“Oh iya ya! Sorry Eliza, Cie Cie sampai lupa kalau kamu kemarin abis sakit,” kata Cie Natalia yang kini jadi terlihat kuatir.
“Eh, nggak apa apa lah Cie, kemarin itu Eliza kan cuma kecapekan,” kini aku yang jadi kuatir kata kataku tadi malah merusak mood Cie Natalia untuk berolahraga.
“Abisnya kamu sih bikin hari ini jadi asyik buat Cie Cie. Ya udah Cie Cie lanjutin dulu yah,” kata Cie Natalia yang lagi lagi tersenyum manis padaku.
“Iya Cie…” aku menjawab dengan nada yang kuusahakan sewajar mungkin.
Aku sudah tak bisa memperhatikan olahraga yang dilakukan Cie Natalia. Senyuman yang semanis itu, ditambah dengan pemandangan yang menggairahkan di hadapanku ketika Cie Natalia menggerakkan tubuhnya yang indah dan sexy itu, oh… aku tak ingin tersiksa lebih lama lagi.
“Cie… Eliza mau ke kamar mandi dulu ya,” kataku pelan.
“Lhoo… kan masih ada waktu setengah jam lagi Eliza?” tanya Cie Natalia.
“Nggak… anu… perut Eliza sakit… Eliza ke atas dulu Cie,” jawabku dengan sedikit tergagap, mungkin karena aku berusaha mencari alasan apa saja.
“Ooo… iya deh sayang,” kata Cie Natalia.
Kata kata ‘sayang’ itu membuat jantungku berdetak makin tak karuan.
Aku mengangguk sambil tersenyum, dan aku cepat cepat keluar dari ruang fitness ini.
Setelah itu aku sempat bersandar pada dinding, dan secepatnya aku berusaha menenangkan diriku dari gairah yang berkali kali tersulut saat aku berada di dalam tadi. Perlahan nafasku mulai teratur kembali, dan aku mulai bisa menguasai diriku. Maka aku segera ke atas, karena aku memang sudah harus mulai bersiap untuk pergi ke les balet.
Saat menaiki tangga menuju ke kamar Cie Natalia, kembali terbayang dalam anganku tentang Cie Natalia yang tadi terlihat begitu sexy. Dan balutan body wrapping pada tubuh yang indah itu benar benar membuat Cie Natalia tampak begitu menggairahkan bagiku.
Ya ampun, kenapa sih kok sulit sekali buatku untuk tidak memikirkan Cie Natalia?
Sambil menekan gairahku, aku mulai menyiapkan semua keperluanku untuk mandi, juga sekalian menyiapkan kostum baletku. Sebisanya aku berusaha memikirkan yang lain, apa saja yang penting bukan tentang Cie Natalia, juga bukan tentang semua hal yang bisa membuat gairahku semakin terbakar. Aku tak ingin sampai lepas kontrol dan bermasturbasi di dalam kamar mandi hingga orgasme seperti kemarin.
Kini aku sudah berada dalam kamar mandi Cie Natalia. Perlahan aku melucuti pakaianku satu per satu lalu aku menaruh semua pakaianku tadi ke dalam keranjang. Dan aku sempat tertegun ketika aku melihat bayangan tubuhku yang telanjang bulat ini di dalam cermin.
“Eliza… jangan… jangan bermasturbasi…” aku membisikkan kata kata itu dalam hatiku, berusaha mengingatkan diriku supaya aku tidak mulai menyiksa diriku sendiri.
Aku mengerti sekali akibatnya kalau sampai jari tanganku terlanjur masuk dan menggoda liang vaginaku. Waktu itu tak akan ada satupun yang bisa kulakukan untuk menghentikan kenakalan jari tanganku, lalu akhirnya aku orgasme. Kalau itu terjadi, apa artinya aku menginap di rumah Cie Natalia?
Sesaat kemudian aku menikmati guyuran air shower yang hangat. Dan nampaknya aku berhasil menekan perasaanku setelah aku mandi keramas hingga tubuhku terasa bersih dan segar. Paling tidak, untuk saat ini aku sudah tak lagi didera keinginan untuk bermasturbasi.
Rasa lelah yang menderaku beberapa hari ini sudah tak begitu terasa. Dan tak lupa aku membersihkan liang vaginaku yang sempat terasa lembab. Mungkin saat aku terbakar gairah berkali kali akibat membayangkan yang tidak tidak tentang Cie Natalia tadi, liang vaginaku jadi basah oleh cairan cintaku.
Setelah semuanya selesai, aku mengeringkan rambutku dan juga seluruh tubuhku, lalu aku memakai bra dan celana dalam. Dan aku keluar dari kamar mandi untuk memakai kostum baletku, kostum yang selalu membuatku merasa sexy.
Entah kenapa, tiba tiba aku jadi ingin sedikit berdandan. Maka aku menyaputkan lipgloss tipis pada bibirku, dan juga sedikit bedak tipis pada wajahku.
Lalu aku memilih kaus santai dan celana jeans untuk kupakai selama perjalanan menuju ke tempat les balet. Tentu saja tidak lucu kalau aku harus menyetir dengan mengenakan kostum balet, karena aku tak mau lekuk tubuhku menjadi tontonan gratis para pengamen, penjual koran ataupun pedagang asongan yang lalu lalang saat aku terhenti di lampu merah nanti.
Setelah itu aku menyisir rambutku hingga rapi, dan saat aku sudah siap untuk pergi, aku melihat jam dinding. Masih jam empat kurang sepuluh menit. Kalau aku berangkat sekarang, aku akan sampai di tempat les baletku kira kira jam setengah lima.
Berarti aku bakal menganggur kira kira setengah jam. Tapi tak apa lah, daripada kalau aku tetap di sini, bisa bisa aku semakin menderita karena harus menahan gairahku terhadap Cie Natalia. Maka aku segera turun untuk berpamitan pada Cie Natalia. Ketika aku masuk ke dalam ruang fitness, aku melihat Cie Natalia sedang asyik mengayuh sepeda statis.
“Auw… cantiknya sepupuku yang satu ini,” kata Cie Natalia ketika tiba tiba ia menoleh ke arahku.
“Cie Cie ini… Cie, Eliza mau pergi sekarang ya,” aku berpamitan dengan wajah yang terasa panas.
“Iya… hati hati di jalan ya sayang. Mmm… oh iya jangan lupa lhoo… nanti kan…?” kata Cie Natalia sambil menatapku seperti ingin memastikan aku ingat tentang servis piano nanti.
“Iya, tenang deh Cie. Abis dari les balet nanti, Eliza langsung balik ke sini kok, jagain piano Cie Cie supaya nggak dibawa lari sama tukang servisnya. Asyik, besok ada yang nraktir Eliza lagi deh,” kataku sambil meleletkan lidah.
“Hihihi… awas ya kamu nanti kalau Cie Cie juga udah pulang,” Cie Natalia mengancam dengan mimik muka yang diserius seriuskan namun malah terlihat lucu, dan sesaat berikutnya kami berdua tertawa geli.
“Ya udah… dadah Cie,” kataku sambil melambaikan tangan, dan setelah Cie Natalia balas melambaikan tangannya, aku langsung keluar dari ruangan yang sejak tadi berkali kali membuatku tersiksa ini, dan aku melangkah menuju mobilku. Setelah mbak Lastri membuka pintu gerbang rumah Cie Natalia, aku berangkat menuju tempat les baletku.
Setelah sempat merasa senang karena lalu lintas di jalanan hari ini begitu lancar, kini aku jadi sedikit kecewa melihat rombong batagor yang tidak dijaga oleh penjualnya itu. Masa sudah habis? Padahal dengan satu bungkus batagor pasti akan membuat empat puluh lima menit sebelum les balet ini jadi tak begitu membosankan.
Aku berusaha menghibur diriku sendiri, dengan berpikir bahwa aku memang sebaiknya menjaga bentuk tubuhku agar tetap ideal, dan salah satu caranya adalah dengan tidak mengemil. Dengan demikian aku tak perlu merasa kecewa, bahkan aku merasa beruntung.
Tapi berikutnya aku merasa heran ketika aku melihat pak Agil sedang berdiri mengobrol dengan salah satu tukang parkir yang menjaga parkiran mobil di tempat les baletku ini.
Pembaca masih ingat dengan pak Agil? Buat yang lupa, atau tak tahu tentang pak Agil karena belum sempat membaca dan mengikuti semua serial Eliza High School Girl Series, silakan membaca serial Eliza bagian ke 6 yah ^^
Sekarang ini sudah beberapa bulan sejak kejadian yang waktu itu, ketika aku bersama Cie Elvira mampu ‘menaklukkan’ pak Agil. Aku masih ingat waktu itu Cie Elvira sempat memaksa pak Agil supaya berjanji untuk tidak akan menggangguku lagi.
Aku sangat berterima kasih kepada Cie Elvira, walaupun sebenarnya bagiku sudah tak ada bedanya kalau pak Agil masih terus menggangguku atau tidak. Toh setelah itu aku masih harus menjalani kehidupanku sebagai betina dari tiga pejantan di rumahku, dan aku malas mengingat tentang berapa banyak lelaki yang telah beruntung mendapat kesempatan menikmati tubuku.
Kembali ke pak Agil tadi, yang membuatku heran adalah aku sempat melihat mobil Cie Elvira yang sudah ada di areal parkiran. Biasanya kalau Cie Elvira sudah datang, pak Agil pasti ada di dalam tempat les baletku, menikmati tubuh Cie Elvira yang memang sengaja menyerahkan dirinya pada pak Agil. Tapi kalau pak Agil sekarang ini berada di luar sini, bukankah itu berarti bahwa saat ini tak ada yang mengganggu Cie Elvira di dalam sana?
Tak ada sebungkus batagor untuk meredakan rasa bosan selama aku menunggu di luar sini, dan aku mulai merasa risih saat aku menyadari kalau pak Agil beberapa kali memandang ke arahku selagi ia berbicara dengan tukang parkir itu. Mengingat les balet baru akan dimulai sekitar empat puluh menit lagi, aku berpikir tak ada salahnya kalau aku masuk ke dalam dan mengajak Cie Elvira mengobrol.
Maka aku turun dari mobil, dan setelah memastikan semua pintu mobilku terkunci, aku segera masuk ke dalam tempat les baletku. Saat melewati pak Agil, aku menghindarkan kontak mata dengannya. Selain aku merasa tak ada perlunya, aku juga jadi sedikit takut kalau tiba tiba pak Agil berubah pikiran setelah saling bertatap mata denganku, lalu ia mengikutiku ke dalam dan memaksaku untuk melayaninya.
Untung hal yang kutakutkan itu tak terjadi hingga aku sampai di pintu ruang ganti di tempat les baletku ini. Aku cepat cepat mencari Cie Elvira di dalam ruang ganti, tapi anehnya aku tak berhasil menemukan Cie Elvira. Tak ada siapapun dalam ruang ganti ini.
Oh, makanya pak Agil itu hanya berdiri berdiri di luar. Mana mungkin orang bejat seperti dia itu mau melepaskan kesempatan untuk menikmati tubuh Cie Elvira kalau Cie Elvira ada di dalam sini?
Tapi, ada dimana ya kira kira Cie Elvira sekarang?
Entahlah, aku pikir sebaiknya aku bersiap untuk latihan balet saja, dan aku masuk ke dalam ruang yang paling pojok untuk melepas kaus dan celana jeansku, yang kemudian kulipat rapi dan kumasukkan ke dalam tasku. Dan aku sudah akan bersiap memakai sepatu baletku ketika aku mendengar bunyi ‘sreeek’.
Aku terkejut sekali ketika aku mendengar suara tirai di bilikku yang tadi sudah kututupkan ini dibuka kembali. Siapa? Tenggorokanku serasa tercekat dan aku cepat membalikkan tubuhku.
“Pak Agil!! Mau apa bapak masuk ke sini?” aku membentak dengan suara pelan, walaupun sekarang ini aku jadi takut sekali.
Sama sekali bukan karena aku takut akan diperkosa, toh pak Agil juga sudah beberapa kali menikmati tubuhku. Yang kutakutkan adalah saat aku harus melayani nafsu bejat pak Agil, ada teman les baletku yang lain yang datang dan melihat semuanya. Entah apa yang akan terjadi padaku saat itu, yang jelas setelah itu rahasiaku tersebar ke mana mana, dan mungkin nasibku akan semakin buruk.
“Tenang non Eliza. Waktu itu non kan juga tahu bu Elvira sudah memaksa bapak untuk berjanji supaya nggak akan macam macam sama non Eliza,” kata pak Agil dengan santainya.
Aku diam setengah tak percaya. Tapi memang aku akan lebih senang kalau pak Agil memang benar benar tak berbuat apapun terhadap diriku.
“Tapi bu Elvira kan nggak bilang apa apa soal Vera dan… teman teman non Eliza yang lain,” sambung pak Agil lagi, dan ia masuk ke dalam bilik ini.
Aku sempat terkesiap mendengar kata kata pak Agil yang barusan ini. Apa ia bermaksud mengatakan kalau ia sudah mencicipi tubuh beberapa teman les baletku selain Vera dan aku?
Dan saat aku menyadari kalau posisi pak Agil sudah sangat dekat denganku, reflek aku langsung berusaha menjauhkan diriku dari pak Agil hingga punggungku tersandar pada sekat di belakangku. Tapi rasanya percuma saja, karena aku masih berada dalam bilik ini bersama pak Agil. Kalau pak Agil mau, ia bisa dengan mudah berbuat apa saja terhadapku sekarang ini, hingga aku merasa malu bercampur tegang.
“Felina, Mei Ling, dan yang satunya itu… oh iya, Viany yang manis itu. Aah… amoy amoy di sini memang sedap, walaupun jujur saja rasanya memeknya non Eliza ini masih lebih sedap,” bisik pak Agil di telingaku.
Mereka? Viany yang selalu terlihat ceria itu? Bahkan yang Felina kalem itu juga kena?
Dan orang ini memang benar benar kurang ajar ya! Apa perlunya membandingkan nikmat yang ia peroleh dari liang vagina para korban kebejatannya itu? Aku sama sekali tak tersanjung dengan pujian cabul pak Agil tadi, bahkan aku jadi sangat mendongkol.
“Bapak ini memang kurang ajar! Apa salah kami sama pak Agil?” aku bertanya dengan setengah membentak.
“Hehe… non Eliza ini… masa non nggak tahu?” pak Agil balik bertanya, dan ia mendekatiku dengan senyuman mesumnya itu hingga aku kembali berusaha melangkah mundur, tapi aku baru ingat kalau tubuhku sudah tersandar di dinding sekat bilik ini ketika aku merasakan punggungku tertahan.
“Salah mereka itu, ya sama seperti salahnya non,” kata pak Agil sambil menyergapku. “Sudah cantik… pintar ngeseks lagi.”
Sesaat kemudian aku merintih kesakitan karena kedua payudaraku yang berada di balik bra dan kostum baletku ini diremasi dengan kasar oleh pak Agil. Dan selagi aku terus merintih, pak Agil mulai berusaha untuk memagut bibirku. Aku tak bisa berbuat banyak untuk mengelak, dan ia berhasil memagut bibirku tanpa perlawanan yang berarti dariku. Lidahnya itu melesak masuk, mempermainkan lidahku, bahkan kemudian pak Agil menyedot lidahku kuat kuat.
Diperlakukan seperti itu, perlahan aku melemas dan keinginanku untuk melakukan perlawanan sudah lenyap entah ke mana. Yang ada kini aku malah terbakar gairah dan mulai menikmati serangan french kiss pak Agil. Kedua mataku kupejamkan selagi aku membalas permainan lidah pak Agil.
Aku terus terhanyut dalam pergumulan ini ketika kurasakan tangan pak Agil itu meraba raba daerah selangkanganku yang terlindung celana dalam plus kostum baletku. Jantungku berdebar keras, dan aku mendesis lirih ketika salah satu jari jari tangan pak Agil itu menekan kostum baletku. Oh, bagaimana kalau jari itu benar benar berhasil masuk ke dalam liang vaginaku? Bukankah itu berarti jari itu akan merobek stocking yang kukenakan ini?
Saat itu tiba tiba aku tersadar dari nuansa erotis yang menghanyutkanku ini. Bukan harga mahal dari stocking ini yang kupermasalahkan, tetapi aku pasti akan merasa sangat tidak nyaman kalau nanti itu aku harus mengikuti latihan balet dengan stocking yang berlubang pada daerah selangkanganku. Belum lagi aku akan repot untuk mencari dan membeli stocking yang baru.
Maka dengan semua sisa tenagaku yang ada, aku langsung mendorong tubuh pak Agil.
“Hentikan pak! Atau aku laporin bu Elvira!” aku mengancam pak Agil di sela nafasku yang masih tersengal sengal.
“Hehehe… padahal non Eliza suka kan?” ejek pak Agil sambil tertawa mesum, membuatku semakin malu hingga aku terdiam tanpa bisa menjawab.
“Sayangnya bapak juga nggak bisa lama lama menemani non Eliza,” kata pak Agil lagi.
Aku tetap diam, malas menanggapi kata kata yang rasanya amat melecehkanku itu. Dan berikutnya aku sedikit heran melihat pak Agil naik ke kursi yang ada di bilik ini. Kursi seperti itu memang terdapat di setiap bilik yang ada di ruang ganti ini, dan kami para peserta les balet di sini biasanya menggunakan kursi itu untuk duduk saat mengenakan ataupun melepas sepatu balet.
“Non Eliza, kalau non mau, non bisa naik ke kursi ini. Di sini, ada lubang kecil yang bisa dipakai untuk melihat ke dalam kamar mandi,” kata pak Agil yang menunjukkan jarinya ke satu titik pada bagian kiri atas tembok. “Sebentar lagi bapak mau ke sana.”
Aku merenggutkan mukaku. Memangnya seleraku ini sudah segitu rendahnya apa, sampai aku harus mengintip orang macam pak Agil ini di kamar mandi???
“Sekarang ini bu Elvira lagi berada di dalam kamar mandi,” kata pak Agil.
Kini aku tertegun memikirkan kata kata pak Agil yang seperti menjawab omelanku di dalam hatiku tadi. Jadi Cie Elvira berada di kamar mandi? Sendirian? Sedang apa Cie Elvira di dalam sana?
Setelah pak Agil turun dan keluar dari sini, aku cepat merapatkan tirai yang menutup bilikku ini. lalu dengan terdorong oleh rasa penasaran, aku menguatkan hatiku dan naik ke atas kursi ini untuk mencari lubang kecil yang dimaksudkan pak Agil tadi, lalu aku mencoba mengintip dari situ.
Dan berikutnya apa yang kulihat dari lubang kecil itu membuatku sangat terkejut.
Cie Elvira dan Vera, mereka berdua sama sama telanjang bulat dan saling berciuman!
Lalu, siapa pria yang wajahnya diduduki Vera itu? Apakah ini berarti suara kecipak yang samar samar kudengar sekarang ini berasal dari jilatan lidah pria itu pada bibir vagina Vera?
Saat ini Cie Elvira dan Vera sendiri masih saling berpagut bibir dengan panasnya. Dan tiba tiba saja aku merasa tak senang. Namun perhatianku kembali tertuju pada mereka karena aku mendengar suara ketukan yang cukup keras pada pintu kamar mandi.
“Bu Elvira, ini saya,” aku mendengar suara pak Agil.
Cie Elvira berdiri hingga aksi saling pagut dengan Vera tadi berhenti. Dan pak Agil langsung masuk ke dalam kamar mandi begitu Cie Elvira membuka pintu itu. Aku sempat melihat Cie Elvira mengunci pintu itu kembali, ketika aku mendengar Vera menjerit manja.
Ternyata pak Agil yang tiba tiba sudah berada di dalam kamar mandi itu sedang menarik Vera hingga berdiri. Ketika pria itu juga ikut berdiri sehingga aku bisa melihat wajahnya, aku menutup mulutku yang ternganga ini dengan tanganku. Saat ini aku nyaris tak percaya dengan pengelihatanku.
Pria itu kan… tukang batagor langgananku?
Sempat kulihat pak Agil memandang ke arahku tempatku mengintip ini, dengan senyumnya yang memuakkan. Walaupun rasanya pak Agil tak bisa melihatku, tapi aku jadi kesal bercampur malu. Pak Agil seperti begitu yakin kalau aku pasti akan mengintip melalui lubang yang baru saja diberitahukan padaku ini.
Tapi rasa penasaranku mengalahkan rasa malu yang melandaku sekarang ini, hingga aku masih terus mengintip untuk mengetahuhi lanjutan dari kegilaan yang akan dilakukan oleh pak Agil dan penjual batagor itu terhadap Vera dan Cie Elvira di dalam kamar mandi tempat les baletku ini.
“Pak Agiiil… Vera masih mau sama pak Bakir…” rengek Vera walaupun kelihatannya Vera sama sekali tidak terlihat keberatan diperlakukan seperti itu oleh pak Agil.
“Sudah… sama bapak aja, non Vera. Bapak lagi pengin sama non nih,” jawab pak Agil dengan suara yang dimesra mesrakan, dan kulihat pak Agil kembali menatap ke arah tempatku mengintip ini.
“Iya deh… tapi pak Agil harus bikin ini Vera enak ya…” kata Vera manja dengan jari tangannya yang menunjuk ke arah selangkangannya.
Aku sampai tertegun mendengar kata kata Vera yang terakhir itu.
Berikutnya Vera mendesah dan merintih ketika tubuhnya dijarah habis oleh pak Agil. Sedangkan Cie Elvira tak dibiarkan menganggur oleh pak Bakir yang kini sudah mendekap tubuh guru les baletku itu dari belakang. Dan sesaat kemudian aku melihat kedua mata Cie Elvira yang indah itu terbeliak, lalu meredup sayu diiringi rintihan sexy Cie Elvira saat tubuhnya terhentak hentak dalam kekuasaan pak Bakir.
“Ayo dong pak Agil… cepet masukin… Vera udah gatel nih…” rengek Vera.
Rasanya aku hampir tak percaya kalau Vera bisa mengucapkan kata kata sevulgar itu. Dan gilanya, Vera tak berhenti sampai di situ saja. Sesaat kemudian, kedua tangan Vera itu merayap turun mencari penis pak Agil, dan berikutnya Vera sendiri yang mengarahkan penis itu hingga masuk dan tertelan habis dalam liang vaginanya.
“Ngghh…” sesaat kemudian Vera melenguh manja, bahkan Vera mulai menggerak gerakkan tubuhnya, mencari kenikmatan dari penis pak Agil yang sudah bersarang dalam liang vaginanya itu.
Semua adegan yang kulihat itu membuat jantungku berdetak tak karuan. Rasanya tubuhku bergetar ketika kurasakan hawa panas menjalari sekujur tubuhku. Ada apa sih dengan hari ini? Mengapa sejak pagi hari tadi aku mengalami begitu banyak kejadian yang membuatku harus terus tersiksa dalam gairah seperti ini?
Suara pintu kamar ganti yang terbuka itu membuatku berhenti mengintip. Aku segera duduk di kursi kotak ini sambil menenangkan nafasku yang memburu. Dan ketika aku mulai memakai sepatu baletku, rasanya jantungku ini nyaris berhenti ketika tirai yang menutup bilikku ini kembali dibuka. Siapa?
Ternyata yang membuka tirai sekarang ini adalah salah seorang temanku di sekolah balet yang bernama Viany. Sekilas tentang Viany, ia baru saja berulang tahun yang ke 17 di akhir bulan Januari yang lalu. Viany memiliki tinggi badan sekitar lima senti lebih tinggi dariku. Viany memiliki mata yang sipit. Wajah yang memiliki kecantikan khas oriental itu hampir tidak pernah berhenti tersenyum, membuat Viany selalu tampak ceria dan jenaka. Rambut yang lurus dan halus, hitam panjang sampai ke setengah lengan itu selalu tertata rapi hingga makin menambah pesona Viany.
Penampilan Viany selalu modis. Dengan kulitnya yang begitu putih, memang bukan salah Viany kalau ia selalu tampak sexy dengan baju apapun yang melekat di tubuhnya, apalagi kalau Viany mengenakan kostum balet seperti ini. Namun sayangnya, semua karunia itu mengantarkan Viany menuju nasib yang sangat buruk, yaitu menjadi salah satu budak seks pak Agil yang bejat itu.
Viany adalah salah satu teman di sekolah baletku ini yang cukup akrab denganku. Namun tetap saja aku menjadi kikuk ketika Viany membuka tirai bilik kamar ganti ini selagi aku ada di dalamnya.
“Liza?” Viany yang kelihatannya sama terkejutnya denganku itu menyapaku dengan nada tanya.
“Eh… halo Vian. Aku…” dengan sedikit tergagap aku membalas sapaan Viany.
“Aduh… sorry ya Liiz, aku pikir nggak ada orang. Kok tumben sih, masih kurang setengah jam gini kamu udah datang?” tanya Viany.
“Iya Vian, kebetulan tadi ada perlu ke rumah teman. Aku takut kena macet, jadi dari sana aku aku langsung ke sini. Nggak tahunya malah kepagian deh,” aku menjawab dengan sedikit berbohong, daripada nanti Viany malah bertanya yang macam macam padaku.
“Hihi… tapi untung deh kamu udah selesai ganti baju,” kata Viany yang lalu duduk manis di sebelahku.
Kali ini aku tak berani menanggapi perkataan Viany. Memangnya apa yang akan dilakukan Viany kalau tadi aku sedang tidak memakai baju ketika tirai bilikku ini dibuka Viany? Wajahku terasa panas, jantungku berdebar keras. Aduh, apakah semua usahaku untuk menekan gairahku sepanjang hari ini akan sia sia gara gara Viany?
“Liz, mereka tuh udah selesai belum?” tanya Viany yang menatapku dengan jari telunjuknya yang diarahkan ke tembok di belakang kami berdua.
Tentunya yang ditunjuk jari Viany tadi adalah mereka yang berada di dalam kamar mandi yang ada di balik tembok di belakang kami berdua ini.
Apakah Viany berpikir kalau aku memang tahu tentang apa yang sedang terjadi dalam kamar mandi sekarang ini? Aku memang sudah mendengar tentang rahasia lain di sekolah baletku ini dari pak Agil, bahkan tentang Viany sendiri yang juga harus menjadi korban kebejatan pak Agil.
Tapi aku sama sekali tak menyangka kalau Viany bertanya seperti itu. Apakah itu berarti Viany juga tahu tentang perbuatan pak Agil kepadaku dan juga kepada yang lain?
“Mm… maksudmu Vian?” aku balik bertanya dengan hati hati.
“Duh… Liza, nggak ada yang perlu kamu sembunyikan deh. Toh kita udah sama sama tahu kan?” kata Viany sambil memegang pergelangan tanganku dengan lembut.
Sama sama tahu?
Tampaknya dugaanku benar. Tapi senyuman lembut dari Viany ini membuatku salah tingkah. Apalagi ketika Viany tiba tiba menyandarkan kepalanya di atas pundak kiriku. Mana genggaman tangan Viany pada pergelangan tanganku ini tak dilepas lagi.
Aku tak tahu pasti mengapa Viany memegang tanganku dengan cara seperti ini. Apa karena Viany menganggapku sebagai teman senasib? Atau karena alasan yang lain? Memikirkan alasan yang lain itu, tiba tiba aku kembali merasa tegang.
Sekali ini yang kutakutkan adalah kalau sampai aku dan Viany terlibat adegan lesbian, kami berdua pasti akan mengeluarkan suara rintihan ataupun lenguhan. Dan kalau kemudian pak Agil ataupun pak Bakir yang berada di kamar mandi itu mendengar suara kami berdua di sini, baik aku maupun Viany pasti akan mendapat masalah.
“Vian, kamu mau cerita nggak, gimana kamu bisa sampai jatuh ke tangan pak Agil?” aku bertanya pada Viany untuk mengurangi keteganganku. Dengan membuat Viany bercerita, aku berharap bisa mengurangi kemungkinan akan terjadinya hal yang macam macam di antara kami berdua.
Selain itu aku memang jadi ingin tahu bagaimana ceritanya hingga teman sekolah baletku yang satu ini bisa sampai bernasib buruk seperti diriku.
Viany diam sejenak sebelum mengangkat kepalanya sambil menatap wajahku, lalu ia menundukkan kepalanya dan menghela nafas panjang.
“Eh… sorry Vian,” kataku dengan kuatir setelah melihat reaksi Viany. “Kalau kamu nggak mau cerita ya nggak apa apa, aku nggak maksa kok.”
“Nggak… nggak apa apa kok Liz,” kata Viany dengan senyumnya yang aku tahu sedikit dipaksakan.
Dan sesaat berikutnya dengan suara pelan Viany mulai menceritakan semuanya. Di hari minggu awal bulan ini, kebetulan papa dan mama Viany ada janji untuk bertemu dengan seseorang pada jam setengah lima sore. Viany sendiri tak keberatan untuk diantarkan lebih pagi ke sekolah balet, maka hari itu Viany sudah menunggu di teras sekolah balet ini sejak jam empat sore.
Itulah awal malapetaka buat Viany di sekolah balet ini. Rupanya sama sepertiku, Viany dijebak pak Agil untuk masuk ke dalam.
“Waktu aku sadar kalau pak Agil berniat buruk terhadapku, semua sudah terlambat,” keluh Viany yang lalu kembali menyandarkan kepalanya itu pada pundakku. “Aku sudah berusaha memohon dengan segala cara supaya bajingan itu nggak memperkosaku. Tapi dia cuma ketawa dan terus nelanjangin aku.”
Kini aku yang menghela nafas panjang. Apa yang telah menimpa Viany ini mirip sekali dengan pengalamanku. Dan aku tahu kalau saat itu tak ada pilihan lain buat Viany selain menuruti keinginan pak Agil.
Sama sepertiku waktu itu, Viany pasti juga mengerti kalau ia mencoba melawan dengan cara menjerit minta tolong, itu hanya akan mengundang beberapa pedagang asongan dan tukang becak di depan sana, yang mungkin malah dengan senang hati bergabung bersama pak Agil untuk ikut menggilir Viany.
Tiba tiba aku teringat dengan pak Bakir, si penjual batagor yang sekarang ini sedang ikut bersenang senang di dalam kamar mandi. Apakah ia juga sudah pernah merasakan nikmatnya tubuh Viany?
“Waktu itu semua baju luarku udah lepas, tinggal baju dalamku aja,” tiba tiba Viany kembali meneruskan ceritanya. “Dan aku berusaha untuk mempertahankan celana dalamku yang lagi ditarik tarik sama pak Agil sambil terus memohon. Tapi pak Agil bilang gini, ‘Sudah deh non, kamu nggak usah terus ngelawan! Eliza lho waktu itu pulangnya sampai nagih lagi ke bapak… masa kamu nggak kepingin?’”
Rasanya sekarang ini aku ingin sekali menampar wajah tukang sapu sialan itu. Seenaknya saja dia bicara. Apa dia nggak tau kalau penis Wawan itu jauh lebih enak? Duh, mengapa malah penisnya Wawan yang kupikirkan?
“Waktu itu, sangking kagetnya abis dengerin kata kata pak Agil, aku sampai lupa menahan celana dalamku, yang terus ditarik pak Agil sampai lepas. Akhirnya aku nggak bisa apa apa lagi…” suara Viany terdengar semakin lemah dan mulai sedikit serak. “Dan bajingan itu… memperkosaku… Sakit sekali rasanya Liz… virginku hilang gitu aja…”
Kini rasa haru dan iba pada Viany memenuhi hatiku. Aku memeluk Viany yang sudah mulai terisak menahan tangis.
“Cuma sama tukang sapu Liz… dia…” ucap Viany seperti berbisik sangking sedihnya, dan aku amat merasakan nada tak rela dari kata kata Viany tadi.
“Udah Vian… cukup… jangan cerita lagi…” aku berusaha menenangkan Viany, tapi aku sendiri juga sudah tak mampu menahan air mataku yang mulai meleleh melihat Viany yang tampak begitu menderita karena ia masih sulit untuk menerima kenyataan yang memang teramat pahit ini.
“Liz… aku ini udah punya pacar… kalau nanti dia nggak mau lagi sama aku, itu salah siapa Liz? Salah siapaa…? Kan bukan salahku Liiz…” kini tangis pilu Viany sudah tak terbendung lagi, hingga aku cepat menyembunyikan wajah Viany ke dadaku supaya tak ada yang bisa mendengar suara isak tangis Viany.
“Bukan salahmu Vian… bukan salahmu…” aku berusaha menghibur Viany selagi aku sendiri juga berusaha menahan dan menghentikan tangisku.
Dadaku terasa sesak akibat rasa marah yang amat sangat pada pak Agil. Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Apa sih yang dipikirkan oleh bajingan itu? Apa dia tahu akan sampai sejauh mana akibat perbuatan bejat yang dilakukannya terhadap Viany ini?
Lalu bagiamana dengan Cie Elvira? Apakah Cie Elvira tahu akan semua ini?
Kira kira dua atau tiga menit kemudian, Viany mendongakkan wajahnya, dan ia menatapku dengan kedua matanya yang masih basah.
“Liz… sorry ya aku udah bikin kamu ikut nangis…” kata Viany, dan kelihatannya ia sudah mulai mampu menguasai diri dari emosi yang sempat melandanya itu.
"Nggak… nggak apa apa Vian,” aku menjawab sambil tersenyum dengan setulus hatiku.
Aku melepaskan Viany dari pelukanku, lalu mengambil sebungkus tissue dari tasku. Aku mengambil dua tiga helai, dan sisanya kuberikan pada Viany.
“Makasih ya Liza… kamu memang baik,” kata Viany yang kini mulai bisa tersenyum, walaupun dengan mata yang masih merah akibat baru saja menangis.
Aku hanya tersenyum sambil menyusuti sisa air mataku dengan tissue. Viany juga melakukan hal yang sama, dan beberapa saat kemudian kami berdua sama sama tenang kembali.
“Liz… aku nggak percaya kok sama omongan pak Agil soal kamu yang sampai nagih lagi itu. Aku tahu kamu bukan cewek murahan seperti Vera itu,” kata Viany pelan.
Aku termenung sejenak. Aku jadi teringat, waktu itu aku memang sempat mempermalukan diriku sendiri, bahkan aku sampai menganggukkan kepalaku ketika pak Agil bertanya apakah aku juga mau dimandikan oleh pak Agil. Tapi hanya sampai sebatas itu. Aku tak sampai minta minta untuk disetubuhi pak Agil seperti yang tadi telah dilakukan Vera di kamar mandi itu.
“Makasih ya Vian,” aku menundukkan kepalaku sambil tersenyum.
Kini Viany kembali menyandarkan kepalanya pada pundakku. Kelihatannya sikap Viany yang suka bermanja manja ini memang sudah pembawaannya, tanpa ada maksud lain. Aku jadi malu sendiri mengingat tadi aku sudah mengira Viany yang tidak tidak.
“Liz… nanti malam kamu disuruh nunggu nggak?” tiba tiba Viany bertanya padaku.
“Nunggu? Enggak tuh. Menunggu siapa Liz?” aku balik bertanya pada Viany.
Viany mendongakkan kepalanya. Kini Viany duduk tegak sambil menatapku dengan heran.
“Masa kamu nggak pernah disuruh pak Agil untuk tinggal dulu setelah pulang, dan… terus…” Viany tak meneruskan pertanyaannya, dan wajahnya yang cantik jelita itu merona merah.
Aku mulai mengerti maksud Viany. Berarti, entah sudah berapa kali Viany disuruh pak Agil untuk tinggal setelah jam pulang sekolah balet, dan nantinya setelah tempat ini sepi, pak Agil akan memaksa Viany untuk melayani nafsu bejatnya terlebih dahulu sebelum memperbolehkan Viany pulang.
Kini aku yang jadi merasa tak enak pada Viany. Tapi aku merasa lebih tak enak lagi kalau aku berbohong pada Viany, maka aku memilih untuk mengatakan apa adanya.
“Vian,” aku mulai menjelaskan pada Viany. “Selama ini aku nggak pernah disuruh tinggal dulu sepulang les balet. Terus terang aja Vian, aku pikir aku ini adalah korban terakhirnya pak Agil, soalnya sejak itu pak Agil nggak pernah menggangguku lagi. Tapi tadi ini, dia sempat menakutiku”
“Oh…?” kata Viany yang terlihat tak begitu percaya padaku.
“Iya Vian,” aku melanjutkan ceritaku. “Tadi aku kan datangnya kepagian, tapi aku ngeliat mobil Cie Elvira udah ada, jadi aku masuk ke dalam untuk mencari Cie Elvira. Waktu itulah pak Agil sempat menggangguku sebentar, yaa… sekedar main cium dan raba gitu sih. Waktu itu dia sempat cerita tentang kamu, juga Felina dan Mei Ling. Dia juga ngasih tau soal lubang di dinding atas sini. Aku sempat ngintip sebentar, dan aku nggak pernah menyangka, bapak penjual batagor di depan itu ternyata…”
“Pak Bakir? Nggak usah heran deh Liz. Memang Vera udah langganan sama dia,” Viany menimpali ceritaku tadi dengan nada sinis.
“Langganan?” tanyaku ragu.
“Iya Liz,” jawab Viany. “Minggu lalu waktu aku nggak boleh pulang dulu, kan malamnya aku harus ngelayani pak Bakir. Dan dia cerita kalau hampir tiap minggu dapat jatah dari Vera. Kalau melihat tingkah si Vera sih, aku percaya deh sama cerita pak Bakir itu.”
“Terus, kamu udah berapa kali nggak dibolehin pulang dulu oleh pak Agil, Vian?” tiba tiba aku jadi ingin tahu dan menanyakan hal itu pada Viany.
“Sejak itu, aku baru dipaksa tinggal satu kali, tepatnya satu minggu lalu. Tapi waktu itu aku nggak sendirian Liz. Felina, Mei Ling dan Siska juga dipaksa untuk tinggal dulu,” jawab Viany.
Siska? Ya ampun, apa masih ada lagi di antara teman kelas baletku ini yang juga menjadi korban pak Agil?
Tapi aku jadi berpikir, mengapa pak Agil begitu nekat memaksa Viany, Mei Ling, Felina dan Siska untuk tinggal? Mana mungkin bandot itu kuat ngeseks dengan mereka semua? Apalagi aku masih ingat dengan jelas kejadian waktu itu, baru aku dan Cie Elvira yang cuma berdua saja, sudah berhasil membuatnya terkapar dan minta minta ampun.
“Vian, mmm… masa pak Agil itu… katakanlah ditambah pak Bakir, apa mereka berdua itu kuat ngadepin kalian berempat?” tanyaku pada Viany walaupun sebenarnya aku merasa malu menanyakan hal seperti ini karena aku jadi terlihat tahu akan batas kemampuan pak Agil dalam hal ngeseks.
“Oh, kamu nggak tau ya Liz? Kamu pernah liat kan, ada seorang pengemis yang pergelangan tangan kanannya buntung, yang suka lewat di depan sini? Kalau di sini udah pulang semua, pengemis itu ikut sama tukang parkir, masuk ke dalam sini…” jawab Viany dan kata katanya itu membuatku benar benar terkejut.
“Ya ampun? Pengemis itu? Vian… kamu… kamu udah pernah digituin sama dia?” aku bertanya dengan perasaan ngeri.
“Aku sih belum pernah digituin sama pengemis itu Liz, tapi yang lain sudah. Kalau nggak salah, minggu lalu itu giliran Mei Ling yang harus main sama pengemis itu. Kalau aku waktu itu dipaksa main dua kali. Yang pertama sama pak Bakir, abis itu ganti tukang parkir itu yang nggituin aku,” jawab Viany.
“Aduh Vian, kenapa tukang parkir itu juga? Jangan jangan tukang becak di dekat sini itu…?” aku bertanya dengan tegang. Mengapa sekolah baletku yang dulu aman aman saja, kini bisa mendatangkan mimpi yang begitu buruk bagi murid murid sekolah balet ini?
“Selama ini, tukang becak itu nggak pernah ikut. Kalau tukang parkir itu sih iya. Orang itu namanya Rizal. Dia itu yang paling brengsek Liz. Sejak dia tahu kalau dia bisa gituin aku, dia malah narik lima puluh ribu dari aku buat uang parkir,” kata Viany dengan kesal.
“Hah? Sampai segitu Vian?” aku amat terkejut dan kini aku jadi ikut kesal. Lima puluh ribu hanya untuk parkir? Itu kan pemerasan?
“Iya. Aku sempat tanya sama Felina, ternyata Felina sendiri sudah ditarik segitu sejak pak Rizal bisa nggituin Felina. Aku yakin Mei Ling dan Siska juga diperas seperti aku dan Felina oleh tukang parkir sialan itu,” jawab Viany.
Sama sepertiku, Viany juga sempat menghela nafas panjang, lalu Viany melanjutkan ceritanya.
“Pak Bakir sih masih… mendingan Liz. Malam itu dia malah bilang kalau aku boleh ambil batagornya berapapun yang aku suka, gratis. Tapi nggak deh. Aku nggak tau dengan Felina, Mei Ling atau Siska, tapi kayaknya aku sudah nggak mungkin deh mau nyamperin rombong batagor pak Bakir lagi,” kata Viany yang kini memainkan rambutnya yang indah itu dengan jemari tangannya.
Dalam hatiku aku berpikir, ya tentu saja! Kalau aku jadi Viany, aku juga nggak akan perduli dengan tawaran batagor gratis itu.Yang benar saja, memangnya aku ini cewek macam apa sampai mau menukar tubuhku dengan batagor?
Setelah mendengar cerita Viany, aku berpikir sebaiknya mulai sekarang aku pun juga harus berada jauh jauh dari rombong batagor pak Bakir. Tapi ada satu hal yang sejak tadi membuatku penasaran dan ingin kutanyakan pada Viany.
“Vian, mmm… Cie Elvira?” tanyaku dengan hati hati.
“Iya Liz, aku udah tau kok tentang Cie Elvira dengan pak Agil,” jawab Viany. “Tapi rasanya Cie Elvira nggak tahu tentang nasib kami berempat ini. Maksudku, Felina, Mei Ling, Siska dan aku. Kalau Vera sih, kata pak Agil udah lama sebelum Cie Elvira, mmm…”
Viany tak meneruskan kata katanya, kelihatannya ia sedang memikirkan sesuatu.
“Oh iya, aku jadi ingat Liz. Vera itu ngaco deh. Minggu lalu itu, dia itu lho udah pulang. Tapi nggak tau kenapa, selagi si Vera itu balik lagi ke sini,” kata Viany yang kini kembali terlihat kesal. “Jadinya Vera kan ngeliat aku dan yang lainnya sedang digituin sama orang orang itu. Dan kamu tau nggak? Dia itu bukannya nolongin, tapi malah nelepon sopirnya dan disuruh masuk.”
“Hah? Dia…?” aku bertanya sambil menggigit bibir.
“Iya. Memangnya dia pikir waktu itu di dalam sini lagi ada pesta seks apa?” Viany mengomel dengan sedikit berapi api. “Jadinya bagi dia sih memang pesta seks, tapi bagi aku dan yang lain ya menyebalkan sekali. Gara gara Vera, jadinya tambah lagi satu bajingan yang bisa maksain nafsunya ke kita kita. Tanya aja sama Siska yang waktu itu terpaksa harus gituan sama sopirnya Vera itu. Huh, kalau ingat itu rasanya aku masih ingin menampar tuh anak Liz!”
“Ssst… Vian!” aku cepat berbisik dan menempelkan jari telunjukku ke bibirku yang kukatupkan.
Viany langsung menutup mulut dengan menggunakan tangan kirinya, dan kedua matanya itu menatapku dengan terbelalak. Jadinya Viany malah terlihat begitu lucu. Aku sampai tersenyum dan harus menggigit bibirku untuk menahan diriku agar tak sampai tertawa geli melihat tingkah Viany ini.
Tiba tiba aku mendengar suara pintu kamar ganti kami terbuka. Aku memandang Viany dengan tegang. Masa tadi itu suara kami berdua sampai terdengar ke kamar mandi di sebelah?
Viany sendiri juga terlihat tegang. Aku diam sejenak, namun aku segera sadar bahwa tak ada gunanya aku bersembunyi di sini. Selain itu aku merasa keadaan akan jadi lebih parah kalau siapapun orang yang datang itu sempat melihatku di dalam sini berduaan dengan Viany.
Maka aku memberi isyarat pada Viany supaya tetap di sini, sedangkan aku sendiri segera keluar dari bilik ini. Sesaat kemudian aku tertegun sekaligus lega karena yang ada di depan pintu sekarang ini ternyata Cie Elvira.
“Liza?” Cie Elvira menyapaku dan aku merasa ia terlihat seperti gugup.
“Halo Cie Vira,” aku balas menyapa Cie Elvira sambil tersenyum, sebuah senyuman lega.
Aku sempat memperhatikan keadaan Cie Elvira yang udah mengenakan kostum baletnya itu. Keringat masih sedikit membasahi leher dan juga wajahnya, hingga ada sebagian rambut yang menempel pada kening dan kedua pipi Cie Elvira. Namun bagiku semua itu tak mengurangi kecantikan Cie Elvira.
“Kapan kamu datang Liza?” tanya Cie Elvira.
Aku melihat jam tanganku, sekarang masih jam lima kurang seperempat.
“Baru aja Cie,” aku memilih berbohong. “Nggak sampai lima menit.”
Cie Elvira tersenyum tipis, lalu ia merapikan rambutnya yang sedikit awut awutan itu di hadapan cermin. Aku sendiri juga ikut merapikan dan mengikat rambutku seperti Cie Elvira.
“Liza, nanti kamu langsung pulang ya,” kata Cie Elvira selagi membenarkan kuncir rambutnya.
“Iya Cie,” jawabku singkat sambil memasang senyumku.
Setelah itu Cie Elvira keluar dari ruang ganti ini. Aku menarik nafas lega, lalu aku kembali ke Viany yang masih berada di dalam bilik tadi. Dan melihat ulah Viany, aku tersenyum geli dan menahan tawaku.
Kalau saja aku tidak takut akan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi, tentu aku akan sengaja mengagetkan Viany yang saat ini malah sibuk mengintip kamar mandi lewat lubang di atas itu. Tapi aku tak mau melakukannya, karena aku tahu akibatnya pasti akan sangat tidak lucu buat aku dan Viany.
Maka aku hanya duduk di sebelah Viany yang segera sadar kalau aku sudah kembali, dan ia langsung duduk di sebelahku.
“Liz, kamu tau nggak?” bisik Viany sambil menggelengkan kepalanya. “Tadi aku liat Vera baru aja selesai main sama pak Agil. Abis itu Vera masih sempat sempatnya ngisepin burungnya pak Agil dan pak Bakir. Bener bener deh tuh anak!”
“Ha? Memangnya mereka masih mau terus?” tanyaku dengan heran. “Bukannya sebentar lagi udah banyak orang?”
“Harusnya sih enggak Liz,” jawab Viany. “Tadi waktu kamu udah balik ke sini, aku liat pak Agil dan pak Bakir itu sudah siap siap keluar dari jendela kamar mandi.”
Aku dan Viany berhenti berbisik bisik ketika pintu kamar ganti ini kembali terbuka. Sekali ini teman teman kami yang masuk, kelihatannya mereka sudah mulai banyak yang datang, mungkin empat atau lima orang. Dan seperti biasa, ruang ganti ini langsung menjadi gaduh dengan celoteh teman temanku itu.
“Halo Vian. Eh… halo juga Eliza. Ih, sejak kapan kalian berdua ini mesra amat seperti ini?” Felina yang tiba tiba sudah berada di hadapanku dan Viany ini menyapa sekaligus menggoda kami berdua.
“Halo Felina,” aku balas menyapa Felina sambil tersenyum malu.
“Memangnya kenapa Fel? Iri ya?” Viany balik menggoda Felina.
“Sedikit sih,” jawab Felina dengan kalemnya, dan berikutnya kami bertiga tertawa geli.
“Aku ganti baju di sini ya,” tiba tiba Felina berkata sambil menutupkan tirai di bilik ini, dan belum sempat aku dan Viany menjawab, Felina sudah melepas semua pakaiannya di hadapan kami berdua ini begitu saja.
Felina dan aku sama sama menginjak usia yang ke 17 di akhir tahun lalu, ulang tahun kami terpaut hanya dua hari saja. Saat ini aku tak bisa mengalihkan pandangan mataku dari Felina yang dengan cueknya berganti baju di hadapanku dan Viany, dan Felina sama sekali tak terlihat canggung.
Felina memiliki pembawaan yang kalem. Dan sama seperti Viany, Felina ini memiliki kulit yang begitu putih. Ia memiliki rambut yang panjang sampai ke siku tangannya. Rambut itu berwarna hitam dengan sedikit highlight, membuat Felina tampak semakin cantik jelita. Kedua payudara Felina itu yang tertutup bra berwarna putih susu itu mungkin lebih besar sedikit dari milikku ini.
Ketika aku mulai mengira ngira tentang merk dari bra yang dikenakan Felina, aku baru sadar kalau aku terlalu memperhatikan Felina. Maka aku terpaksa mengalihkan pandanganku kepada Viany dengan wajah yang terasa panas. Viany sendiri hanya tersenyum manis padaku, dan ia malah menyandarkan kepalanya pada pundakku.
“Vian… nanti malam aku disuruh nungguin dulu. Kalau kamu?” tanya Felina pada Viany dengan suara pelan.
“Aku disuruh minggu depan, Fel. Nanti malam sih nggak,” jawab Viany yang lalu balik bertanya pada Felina dengan suara yang sama pelannya, “Kamu sendiri, minggu depan gimana?”
“Nggak tau deh Vian,” jawab Felina dengan nada pasrah. “Aku mesti liat nanti, maunya si Agil itu gimana. Kalau nanti aku disuruh ikut lagi untuk minggu depan, ya mau gimana lagi…?”
Aku mendengar semua itu, dan aku merasa heran.
“Eh, kalian ini kok mau nurutin orang itu begitu aja?” aku bertanya ingin tahu. “Memangnya dia bisa apa kalau kalian nggak perduli dan pulang aja?”
“Yah, kamu nggak tau ya Liz?” keluh Viany. “Bajingan itu, pertama kali abis gituin aku, pulangnya dia maksain aku menulis kata kata ‘MILIK VIANY – UNTUK AGIL’ pakai spidol hitam di bagian belakang celana dalamku itu, sekalian dengan tanda tanganku juga. Terus, celana dalamku itu disimpan sama pak Agil.”
“Nggak cuma punya Viany saja, celana dalamku juga dia rampas Liz,” timpal Felina selagi Viany menghela nafas. “Dan aku juga disuruh menulis namaku di sana seperti Viany.”
“Yang bikin aku nggak bisa apa apa Liz, pak Agil itu sudah mencatat alamat rumahku. Kalau aku nggak nurutin kemauannya, aku takut celana dalamku…” Viany tak meneruskan kata katanya.
Aku sudah mengerti lanjutan cerita Viany, yaitu celana dalam itu diantar ke rumah. Tubuhku jadi sedikit menggigil mendengar cerita mereka ini. Ngeri rasanya membayangkan kalau aku harus tunduk pada pak Agil itu karena celana dalamku dijadikan sebagai sandera. Aku jadi teringat bagaimana dulu pak Agil mengancamku untuk tinggal di kamar ganti ini sepulang les balet setelah merampas celana dalamku.
Diam diam aku merasa lega, karena aku bisa meminta kembali celana dalamku yang sempat dirampas pak Agil. Kalau tidak, sejak saat itu aku pasti sudah mengalami nasib yang sama dengan teman temanku ini. Tapi tentu saja aku berusaha menyembunyikan perasaanku yang terakhir ini dari mereka berdua.
“Udah dulu ah,” tiba tiba Viany berdiri. “Kalau kita terus cerita cerita di dalam sini, nanti malah nggak jadi balet deh. Yuk, udah waktunya ke ruang latihan nih!”
Maka kami bertiga merapikan letak tas dan sepatu milik kami masing masing sebelum keluar dari bilik ini. Entah dengan mereka berdua, yang jelas semua cerita Viany dan Felina itu terus terbayang dalam pikiranku, dan membuat perasaanku sekarang ini menjadi sedikit kacau.
Latihan balet hari ini berjalan seperti biasa. Dan hari ini tidak ada gerakan baru, kami hanya disuruh menyempurnakan gerakan terakhir yang kami pelajari dari Cie Elvira. Dengan diselingi istirahat beberapa kali, tanpa terasa aku dan sebelas teman les baletku yang lain ini sudah berlatih selama satu jam hingga tiba saatnya bagi kami semua untuk pulang.
Tapi mungkin tidak bagi Felina. Aku kembali teringat tentang rahasia lain di sekolah baletku ini. Aku tak menyangka, hanya dengan merampas celana dalam Viany, Felina, Mei Ling dan Siska, pak Agil dengan otak cabulnya itu mampu menciptakan mimpi buruk yang mengerikan hingga keempat temanku tak bisa berbuat apa apa selain menuruti semua keinginan pak Agil.
Kenyataan bahwa penjual batagor di depan itu yang entah sejak kapan juga ikut ikutan menikmati tubuh teman temanku, apalagi ditambah dengan cerita Viany tentang tukang parkir yang tak tahu diri itu dan juga pengemis yang bertangan buntung tadi, semua itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku takut berlama lama di sekolah baletku ini. Selain itu, aku memang harus segera pulang untuk membantu Cie Natalia dalam urusan servis piano di rumah nanti.
Maka ketika aku berada di ruang ganti, aku tidak berganti baju, hanya mengganti sepatu baletku dengan sepatu biasa. Aku bermaksud langsung pulang, dan tidak seperti sore tadi, aku tak perlu risih walaupun mengendarai mobil dengan mengenakan kostum balet, karena toh tak akan ada yang bisa melihat jelas ke dalam mobilku dalam gelapnya malam.
“Vian, Felina, aku pulang dulu ya,” aku berpamitan pada kedua temanku ini.
“Iya Liz,” kata Viany sambil tersenyum manis, sementara Felina hanya menganggukkan kepalanya walaupun ia juga tersenyum padaku.
Aku segera keluar menuju mobilku. Saat membayar uang parkir, aku membuka kaca jendela mobilku seperti biasa dan menyerahkan selembar uang seribuan, lalu aku memasang wajah tersenyum ketika pak Rizal mengucap terima kasih sebelum aku melajukan mobilku. Memang aku berusaha bersikap sewajarnya di hadapan pak Rizal, walaupun aku sudah tahu tentang perbuatan bejatnya itu pada Viany dan yang lainnya, supaya tukang parkir itu tidak curiga yang macam macam padaku.
Tiba tiba aku teringat kalau tadi Cie Elvira menyuruhku untuk langsung pulang. Itu berarti malam ini Cie Elvira akan pulang telat.
Aku mengerti bahwa setiap kali Cie Elvira pulang telat seperti ini, berarti Cie Elvira baru bertengkar dengan mama mertuanya itu. Dan masalahnya adalah selalu sama, yaitu tentang kapan Cie Elvira akan mempunyai anak. Setiap kali hal itu terjadi, Cie Elvira selalu melampiaskan kekesalannya, dengan cara yang aku tahu sebenarnya juga menyakiti dirinya sendiri itu.
Tapi kalau Felina juga disuruh pak Agil untuk tinggal dulu, bukankah itu berarti Felina akan bertemu dengan Cie Elvira? Kalau benar seperti apa yang dikatakan Viany bahwa Cie Elvira tak tahu apa apa tentang mereka, apa yang akan dilakukan Cie Elvira kalau melihat Felina nanti? Apakah Cie Elvira mau dan bisa menyelamatkan Felina?
Sadar kalau aku masih menyetir mobil, aku memutuskan untuk lebih memperhatikan jalan raya yang hari ini bisa dibilang cukup lancar.
Hampir sepuluh menit berlalu saat aku terhenti di sebuah traffic light. Sekitar satu menit kemudian, lampu merah itu sudah berubah menjadi lampu hijau. Dan aku baru mulai melajukan mobilku ketika dering ringtone ponselku sedikit mengejutkanku.
Tak ingin mendapat marah dari pengemudi mobil di belakangku seperti kemarin, aku memilih untuk menepikan mobilku.
“Hai Liz,” kudengar suara Viany yang riang itu dari ponselku.
“Hai Vian, kamu udah pulang?” aku balas menyapa sekaligus bertanya pada Viany.
“Udah Liz. Tadi aku cuma sebentar menemani Felina, soalnya dia suruh aku cepetan pulang. Aku pikir memang sebaiknya begitu sih. Tapi abis bayar parkir, aku pura pura pulang, padahal aku muterin sekolah balet, terus ini aku berhenti di seberang sini, agak jauh,” kata Viany.
“Terus, gimana Vian?” aku bertanya ingin tahu.
Sebetulnya tadi itu aku jadi sedikit heran, tapi sesaat berikutnya aku merasa bisa mengira apa maunya Viany. Dan rasanya dengan bertanya seperti tadi, aku pikir Viany akan merasa tidak canggung lagi untuk terus bercerita padaku.
Dan memang Viany langsung melanjutkan ceritanya. Setelah Viany sempat menunggu sekitar lima menit, ternyata bukan Cie Elvira yang pukang, melainkan Felina. Seperti dugaanku tadi, malam ini Cie Elvira memang pulang telat. Dan bukan hanya Cie Elvira saja, Vera juga ikut ikutan pulang telat.
“Felina nggak jadi nunggu pak Agil, soalnya Cie Elvira pulang telat Liz. Aku pernah diceritain Mei Ling, kalau Cie Elvira pulang telat, Mei Ling bisa langsung pulang, soalnya pak Agil nggak berani berbuat macam macam kalau ada Cie Elvira,” kata Viany.
“Ow,” aku baru mengerti ternyata pak Agil itu kucing kucingan dengan Cie Elvira, dan hanya berani menyusahkan teman temanku itu kalau Cie Elvira pulang cepat.
“Nah, tukang parkir sialan itu udah masuk. Liz, udahan dulu ya,” Viany berpamitan padaku. “Tadi aku juga nunggu dia masuk, soalnya aku takut dia bisa ngenalin mobilku, terus minggu depan dia tanya tanya sama aku yang nggak nggak lagi.”
“Oh iya deh. Hati hati di jalan ya Vian,” kataku menutup pembicaraan kami ini.
“Iya. Kamu juga ya Liz. Daaah…” kata Viany dengan nada yang ceria seperti biasanya.
Aku tersenyum geli mendengar suara temanku ini. Entah siapa yang lebih ceria antara Viany dan Jenny, tapi yang pasti bagiku sikap mereka berdua itu sama sama jenaka. Dan aku sudah hampir menekan tombol end call di ponselku ketika aku mendengar suara Viany yang memanggil manggil.
“Iyaa… ada apa Vian?” aku bertanya sambil menahan geli karena suara Viany yang panik itu terdengar lucu sekali.
“Liz… itu… aku ngeliat pengemis itu! Yang tangannya buntung itu! Aku nggak berani jalanin mobil dulu Liz,” kata Viany.
“Hah? Vian, kamu cepetan kunci pintu mobilmu dulu! Terus dia di mana? Kamu nggak apa apa kan Vian?” kini ganti aku yang panik.
“Tenang deh Liz, enggak apa apa kok. Pintu mobilku sih sudah terkunci dari tadi Liz. Dan… orang itu jauh kok dari sini, dia itu ada di depan sekolah balet. Duh… makasih ya Liz, kamu itu memang baik deh, masih sempat sempatnya mikirin aku,” kata Viany dengan nada manja.
“Yee… aku kan ngeri kalau mbayangin kamu diapa apain sama pengemis itu Vian,” aku memprotes.
“Iyaa. Makanya itu, berarti kamu care sama aku kan?” Viany terus menggodaku.
“Aku… duh iya deh. Terus, orang itu ngapain Vian?” aku tak tahu harus berkata apa, tapi aku pikir sebaiknya aku mengalihkan pembicaraan kami kembali ke pengemis yang bertangan buntung itu sebelum Viany kembali menggodaku.
“Pengemis itu? Tuh, dia masih pura pura minta minta di depan sekolah balet. Bentar lagi pasti dia pergi lewat sebelah kiri, dan… oh iya… aku belum bilangin kamu ya Liz. Selain pak Agil, teman temannya yang lain itu masuk ke dalam sekolah balet lewat jendela di kamar mandi itu Liz,” jawab Viany.
“Aduh…” aku hanya bisa mengguman sambil berpikir, mungkinkah semua ini dimulai saat mereka mendengar lenguhan Cie Elvira yang sedang digagahi oleh pak Agil di dalam kamar mandi? Atau jangan jangan pak Agil sendiri yang memang merencanakan itu semua? Dan sejak kapan Cie Elvira harus merelakan tubuhnya dinikmati oleh para lelaki bejat itu?
Membayangkan bagaimana Cie Elvira harus rela melayani pengemis buntung yang berwajah tak karuan itu, tiba tiba gairahku bergolak dan jantungku berdegup kencang. Apa yang kira kira dirasakan Cie Elvira saat pengemis buntung itu menjarah tubuhnya? Bagaimana ya rasanya saat bagian yang buntung dari tangan pengemis itu menyentuh tubuhku?
Tubuhku?
Mengapa jadi tubuhku?
Aku memejamkan mataku, tapi tangan buntung itu tak juga berhenti, malahan mulai menyentuh dan meraba raba beberapa bagian tubuhku yang lain. Getaran halus mulai menjalari tubuhku saat ujung tangan yang buntung itu terus menyusuri seluruh kulit tubuhku.
“Liz…? Lizaa…?” tiba tiba suara Viany yang memanggil manggil aku dari ponselku membuyarkan lamunan erotisku ini.
“I… iya Vian…?” aku cepat menjawab panggilan Viany.
“Iih… kamu ini. Ngelamun siapa sih kok aku dicuekin dari tadi? Aku pamit pulang Liiiiz…” Viany mengomel sambil pamit pulang lagi padaku.
“Duh… sorry ya Vian… iya deh, hati hati di jalan ya,” kataku sambil berharap Viany segera menutup telepon ini sebelum aku mulai melantur.
“Iya… kamu juga ya Liz. Daah…” kata Viany dan sekali ini pembicaraan kami lewat telepon ini benar benar berakhir.
Perlahan aku memejamkan mataku kembali, dan aku melihat ujung tangan buntung itu ternyata masih berada di sini, menggerayangi tubuhku dengan nakalnya. Tubuhku mulai menggigil diterpa rasa ngeri yang bercampur gairah ketika aku merasakan tekanan dari ujung tangan buntung itu pada salah satu puting payudaraku, sementara remasan lembut pada payudaraku yang satunya lagi ini membuatku makin tak berdaya dan menyerah terhadap semua rangsangan yang mendera tubuhku ini.
Tapi selagi aku menikmati semua itu, kerasnya suara deru mesin mobil yang lewat sedikit mengejutkanku. Ditambah dengan sekelebat sinar lampu yang sempat menerpa wajahku ini, membuatku perlahan membuka mataku. Sekarang tangan buntung itu menghilang, dan kini yang nampak di mataku adalah kedua tanganku yang dengan nakalnya menggoda kedua payudaraku sendiri.
“Mmmh…” aku merintih kecewa dan menurunkan kedua tanganku ini.
Gairahku masih begini tinggi, namun aku tak tahu harus berbuat apa. Aku berusaha mengatur nafasku yang tak beraturan, namun rasanya semuanya menjadi semakin sulit ketika entah kenapa aku jadi teringat akan Cie Elvira.
Akibatnya saat ini pikiranku malah dipenuhi dengan bayangan tentang berbagai kemungkinan adegan seks yang saat ini terjadi antara Cie Elvira dan para pejantan itu. Namun aku tak berani memejamkan mataku, karena aku tahu bayangan tangan yang buntung itu akan datang kembali untuk menyeretku dalam lamunan erotis seperti tadi.
Semua itu membuat aku menjadi bingung, karena aku tak tahu apa yang harus kuperbuat selagi aku terus diamuk gairahku yang semakin menjadi ini.
Oh, kalau saja saat ini ada Wawan di sampingku, ia tak mungkin tega membiarkan nona majikannya menderita seperti sekarang ini. Penisnya yang amat keras itu pasti sudah menusuk dan mengaduk habis liang vaginaku ini, untuk membuatku tenggelam dalam lautan orgasme.
"Ngghh…” aku melenguh lemah ketika aku merasakan tekanan beberapa jari tangan pada bibir vaginaku yang masih terlindung celana dalam dan juga kostum baletku ini.
Ketika aku menundukkan kepalaku untuk melihat apa yang terjadi, aku hanya bisa pasrah melihat jari jari tanganku yang terus menari dan menekan selangkanganku.
Perlahan rasa panas mulai menjalari seluruh tubuhku. Berikutnya aku harus memejamkan mataku dan mendongakkan kepalaku hingga tersandar di sandaran kepala jok mobilku saat aku harus menahan nikmat. Sebuah jari tanganku itu berhasil menusuk selangkanganku hingga sedikit tenggelam dalam liang vaginaku bersama celana dalam dan kostum baletku.
“Waan… mmmhh…” aku menggeliat lemah dan merintih.
Nafasku mulai memburu, tubuhku terus bergetar dan sesekali menggeliat ketika aku merasakan sebuah jariku yang lain juga ikut melesak masuk menemani jariku yang satunya. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan kenakalan kedua jari tanganku itu. Saat ini, tubuhku ini seperti bukan milikku lagi, bahkan aku hanya bisa memandang heran saat tanganku yang satunya bergerak sendiri, meraih ponselku yang tergeletak di jok kiri depan mobilku ini, entah apa yang sedang diperbuat oleh tanganku ini.
“Halo…?” tiba tiba aku mendengar suara yang cukup kukenal.
“Halo…?” suara itu kembali memanggilku, dan berikutnya aku sadar kalau itu adalah suara Sulikah, pembantu di rumahku.
Hah? Aku melihat ponselku, dan aku kembali terkejut. Mengapa aku menelepon rumahku sendiri selagi aku dalam keadaan terbakar gairah seperti ini?
Aku diam tak berani menjawab, bahkan aku menahan nafasku karena rasa nikmat pada liang vaginaku yang masih sedikit tertusuk oleh kedua jari tanganku ini membuatku ingin melenguh.
Dan tiba tiba wajahku terasa panas. Apakah tadi itu aku sudah sebegitu inginnya untuk ngeseks, hingga di luar kesadaranku aku sampai menelepon rumah dan mencari Wawan? Memang selama ini Wawan adalah pejantanku yang paling mampu membuatku menjerit keenakan sewaktu aku harus ngeseks. Dan aku tahu kalau sekarang ini Wawan benar benar berada di sini, mungkin aku sudah memohonnya untuk menggagahiku, menyetubuhiku sampai aku orgasme sejadi jadinya.
Duh, mengapa aku sampai jadi seperti ini?
Lalu, bagaimana dengan ponselku ini? Kumatikan, atau kujawab? Tapi kalau kujawab, apa yang harus kukatakan atau kutanyakan pada Sulikah?
Setelah sempat meragu beberapa saat, akhirnya aku menggerakan jari tanganku, memilih untuk menekan tombol end call di ponselku. Aku menarik nafas panjang, perlahan kesadaranku mulai pulih, dan akhirnya aku berhasil juga menghentikan kenakalan jari tangan dari tanganku yang satunya ini.
Aku masih mengatur nafasku yang tak karuan ini sambil berusaha untuk menekan gairahku, saat aku hampir menjerit kaget karena ponsel yang masih kupegang ini berbunyi dan bergetar. Dari nadanya sih itu adalah sms masuk, dan aku cepat cepat membacanya.
‘Eliza, Cie Cie berangkat sekarang. Kamu udah pulang kan? Cie Cie udah taruh amplop untuk ongkos servis di atas piano, tolong ya sayang… Sorry ya jadi ngerepotin kamu, thanks ^^’.
Aku cepat membalas sms itu, mengabarkan pada Cie Natalia kalau aku memang dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Mungkin aku akan terlambat sedikit, tapi aku tak memberitahu Cie Natalia tentang kemungkinan ini, supaya ia tidak merasa kuatir, toh tukang servis piano itu sendiri juga belum tentu tepat waktu.
Lalu aku segera melajukan mobilku. Radio di mobil ini kunyalakan dengan harapan bisa membantuku untuk mengalihkan pikiranku dari semua bayangan yang menyiksaku sejak mendengarkan semua cerita Viany tadi. Pasti akan tidak lucu kalau aku harus menyetir pulang ke rumah Cie Natalia dalam keadaan terbakar gairah.
Harapan tinggal harapan, entah kenapa aku tak berhasil mengalihkan pikiranku dari bayangan tangan buntung itu. Hal itu sungguh amat menyiksaku, terutama setiap kali aku harus menghentikan mobilku kalau lampu merah pada traffic light menyala. Di saat seperti itu, aku bahkan beberapa kali menggigit bibir sambil memejamkan mataku, menikmati kenakalan ujung tangan buntung yang terus merayapi seluruh tubuhku dan sesekali bahkan menggoda bibir vaginaku.
Tapi lamunan erotis itu tak bisa kunikmati sepenuhnya, karena aku kuatir kalau kalau nyala lampu merah pada traffic light sudah berganti lampu hijau. Aku tak ingin kendaraan di belakangku sampai membunyikan klakson kalau kalau aku tidak segera menjalankan mobilku. Tampaknya hal itu masih cukup untuk mencegahku terseret lebih jauh dalam lamunanku ini.
Akhirnya aku sampai di depan rumah Cie Natalia dengan selamat, walaupun di sepanjang perjalanan pulang ini aku harus menyetir dalam keadaan terbakar gairah. Kebetulan aku melihat seorang bapak yang baru saja masuk dari pintu gerbang rumah Cie Natalia. Dan mbak Lastri yang melihat kedatanganku, langsung melebarkan pintu gerbang yang sudah terbuka sedikit itu.
Maka aku terus melajukan mobilku ke dalam garasi dan sempat melewati bapak itu. Sekilas aku melihat ia mengenakan baju batik dan celana panjang berwarna coklat. Ia juga membawa sebuah tas berwarna putih yang tergantung di pundak kanannya. Tas itu terlihat sudah agak lusuh dan kumal.
Aku sudah cukup yakin kalau bapak itulah yang akan memperbaiki piano Cie Natalia, dan aku merasa lega karena ini berarti aku belum terlambat pulang. Tapi ketika aku sudah memarkir mobilku di dalam garasi ini dengan rapi, bayangan tangan buntung itu sempat kembali melayang layang dalam pikiranku.
Hal itu membuatku menggigit bibirku, perlahan kedua mataku meredup, sementara nafasku kembali memburu. Tanpa kusuruh, jari tanganku ini bergerak sendiri meraba bibir vaginaku yang masih terlindung celana dalam dan kostum baletku ini. Oh, bagaimana ya rasanya kalau ujung tangan buntung itu benar benar menusuk masuk ke dalam sini?
Tapi aku sadar kalau sebentar lagi aku harus berbicara pada bapak tukang servis piano itu. Maka aku berusaha untuk menekan gairahku dengan sebisaku, agar nanti aku tak berbuat sesuatu yang mungkin akan mempermalukan diriku sendiri.
Dan tiba tiba aku teringat sesuatu yang membuatku sedikit terkejut dan menyesal. Seharusnya sebelum pulang tadi, aku memakai baju gantiku yang tadi. Kalau begini kan aku harus menemui bapak itu dalam keadaan masih mengenakan kostum baletku seperti ini? Bagaimana kalau penampilanku sekarang ini membuat gairah bapak itu terbakar, lalu ia berbuat yang tidak tidak padaku?
Tapi bapak itu sudah berada di sini, dan sekarang ini tak ada pilihan lain untukku. Maka aku terpaksa memberanikan diri untuk turun dari mobilku.
“Malam pak. Bapak ini siapa ya?” aku langsung bertanya padanya setelah menutup pintu mobilku.
“Malam non,” jawab orang itu dengan sopan. “Nama bapak Sigit, tukang servis piano panggilan. Bapak yang menyetel piano di sini sejak tahun sembilan-puluhan.”
“Ow gitu. Kalau gitu mari pak, ikut saya ke ruangan piano,” aku mengajak pak Sigit sambil melangkah ke dalam.
“Eh… non, tolong pelan pelan,” kata tukang servis piano itu. “Bapak ini nggak bisa melihat.”
Kata kata itu membuatku terkesiap dan aku menghentikan langkahku. Aku mulai memperhatikan keadaan pak Sigit, dan aku baru sadar kalau ia mengenakan kaca mata hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat penunjuk jalan. Keadaannya itu membuatku merasa iba, tapi diam diam aku juga merasa lega, karena itu berarti aku tak perlu kuatir lekuk tubuhku yang pastinya tercetak jelas pada kostum baletku ini terlihat oleh pak Sigit.
“Maaf ya pak, saya nggak tau,” aku berkata sambil mendekati pak Sigit dan memegang tangan kirinya yang menganggur. “Mari pak, saya bantuin ke dalam.”
“Terima kasih ya non. Boleh bapak tau siapa ya nama non yang baik hati ini?” tanya pak Sigit.
“Aduh, nggak segitunya kali pak. Boleh aja kok, nama saya Eliza,” jawabku dengan sedikit senang mendengar pujian pak Sigit tadi.
Setelah kami sampai di dalam ruang piano, aku menyalakan lampu ruangan ini dan terus membimbing pak Sigit sampai ke dekat piano yang berada di tengah tengah ruangan ini, dan sebuah amplop putih yang ada di atas piano seperti kata Cie Natalia di dalam SMS tadi. Aku sempat memperhatikan piano milik Cie Natalia itu, sebuah piano dari merk terkenal, dan masih terlihat mengkilat seperti baru.
“Ini pianonya, pak,” kataku sambil membimbing dan meletakkan tangan pak Sigit di atas piano.
“Terima kasih non Eliza,” kata pak Sigit.
“Pak Sigit mau minum apa?” tanyaku sambil mengambil dan memasukkan amplop itu ke dalam tasku, dan aku juga menyalakan AC ruangan ini dari remote yang juga ditaruh di atas kap piano ini.
“Apa saja non, pokoknya yang dingin dingin,” jawab pak Sigit.
“Kalau gitu saya ambilkan dulu pak,” kataku dan aku segera menuju ke dapur.
Ternyata di sana mbak Lastri memang sedang menyiapkan sebuah baki dengan dua gelas sirup yang dingin. Dengan senang aku mengucapkan terima kasih sekaligus menawarkan diri untuk membawakan baki minuman itu, namun mbak Lastri tidak mengijinkan. Setelah beberapa kali aku memaksa, barulah mbak Lastri mengiyakan. Lalu aku langsung kembali ke dalam ruang piano tadi.
Saat aku kembali, ternyata pak Sigit sedang sibuk menekan nekan tuts piano. Sepertinya ia sedang berkonsentrasi mendengarkan apakah ada yang salah pada nada yang dihasilkan oleh setiap tuts piano yang ditekannya. Aku sempat melihat dan memperhatikan, dari deretan tuts yang ditekan bergantian secara berurutan, memang kurasakan ada beberapa nada yang sumbang.
Diam diam aku jadi penasaran, apakah orang buta seperti pak Sigit ini benar benar bisa memperbaiki piano Cie Natalia?
Aku tak ingin menggangu pekerjaan pak Sigit, maka aku memilih untuk menunggu sampai ia selesai dahulu, baru aku akan menawarkan minuman ini padanya. Dengan perlahan aku menaruh baki minuman yang kubawa pada meja kecil di ujung ruangan ini, dan tasku juga kuletakkan di sebelahnya.
Melihat sofa yang indah di samping meja itu, aku merasa senang. Berarti aku bisa bersantai di sana selagi menunggu selesainya servis piano ini. Lalu aku berjongkok di depan meja ini dan mengambil ponselku yang berada di dalam tasku untuk menemaniku selama menunggu pak Sigit selesai bekerja.
pada saat tanganku menyentuh ponselku, bunyi dering ringtone ponselku yang cukup keras sekaligus getarannya membuatku sangat terkejut hingga secara reflek aku menarik tanganku yang masih berada di dalam tasku ini. Akibatnya tasku ikut tertarik dan menyenggol salah satu gelas minuman yang ada di atas baki ini.
Beruntung aku masih cukup cepat menggerakkan tanganku yang kiri dan berhasil menahan gelas minuman itu hingga tidak sampai jatuh dan pecah, tetapi cukup banyak tumpahan air minuman dingin dari gelas itu yang mengguyur baju balet yang kukenakan ini, hingga bagian depan dari baju baletku ini basah kuyup. Bahkan aku merasa bagian depan celana dalamku juga basah terkena tumpahan ini.
Aku mengeluh perlahan sambil menggigit bibirku, menahan rasa dingin dari air minuman yang membasahi baju baletku ini. Aku tahu bahwa sebaiknya aku cepat berganti baju kalau aku tak ingin mendapat sakit flu, apalagi sebentar lagi AC di ruangan ini akan membuat hawa semakin dingin.
Sayangnya itu berarti aku harus mandi dahulu kalau aku tidak mau baju gantiku juga kotor dan lengket dengan air sirup. Dan itu juga berarti aku harus meninggalkan pak Sigit yang sedang memperbaiki piano itu untuk sekitar lima belas sampai dua puluh menit, padahal aku sudah berjanji pada Cie Natalia untuk membantunya menunggui tukang servis piano.
Maka dengan sedikit kesal aku terpaksa berusaha mengeringkan baju baletku ini untuk sementara, dan aku mengambil sebungkus tissue yang masih utuh dari dalam tasku. Namun tiba tiba saja terlintas sesuatu hal di pikiranku yang menurutku adalah sebuah ide yang bagus, yaitu baju baletku plus bra yang sudah basah kuyup ini sebaiknya kulepas, dan kulit tubuhku yang basah kuseka pakai tissue ini hingga kering, lalu aku bisa memakai baju gantiku yang ada di dalam tasku ini, tanpa bra juga tidak apa apa. Tak ada yang perlu kukuatirkan tentang pak Sigit, toh ia buta dan tak akan dapat melihatku.
Tapi tepat sebelum aku melepas bagian atas baju baletku, terlintas satu hal lain yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak dan tenggorokanku serasa tercekat. Bagaimana kalau aku terlanjur berganti baju di sini begitu saja, lalu ternyata pak Sigit itu sama sekali tidak buta? Bukankah itu berarti aku seperti melakukan striptease di hadapannya?
Memikirkan itu semua aku jadi ragu ragu untuk meneruskan niatku berganti baju di sini. Aku berpikir cepat, dan aku memutuskan untuk lebih baik bertanya pada Cie Natalia terlebih dulu. Maka aku mengambil ponselku dan bertanya lewat SMS pada Cie Natalia, tentang apakah ia tahu kalau pak Sigit memang buta.
Dengan harap harap cemas aku menunggu jawaban Cie Natalia. Semoga suasana di pesta ultah teman Cie Natalia itu tidak terlalu hingar bingar sehingga Cie Natalia masih bisa mendengar dering ringtone SMS masuk dari ponselnya dan menjawab pertanyaanku tadi secepatnya, karena aku sudah mulai tersiksa dengan rasa dingin.
“Non Eliza,” tiba tiba pak Sigit memanggilku setelah ia berhenti menekan nekan tuts piano. “Bapak bisa minta tolong non untuk bantuin bapak?”
“Saya? Bantuin gimana ya pak?” tanyaku dengan ragu.
“Non Eliza cuma perlu menekan tuts tuts ini kalau bapak minta, mulai dari yang paling kanan. Nanti non ganti ke tuts di sebelah kirinya setiap bapak bilang selesai. Bapak sendiri akan menyetel senar piano ini dari belakang,” jawab pak Sigit.
“Mmm… sepertinya bisa sih. Saya coba bantuin ya pak,” kataku dan aku segera beranjak ke arah piano sambil membawa ponselku, juga sebungkus tissue yang nantinya mungkin akan kuperlukan.
Karena aku pikir bunyi dering ringtone ponselku mungkin bisa mengganggu kerjanya pak Sigit, aku memutuskan untuk mengubah profile di ponselku ke mode silent.
“Oh iya, saya hampir lupa. Apa bapak mau saya ambilkan minum dulu?” aku menawarkan minuman yang masih ada satu gelas itu pada pak Sigit.
“Terima kasih non, tapi nanti saja, bapak belum haus,” tolak pak Sigit. “Oh iya, sepertinya tadi itu ada gelas yang hampir jatuh, dan juga ada air yang tumpah. Kalau dari bau sirup yang bapak cium sekarang ini, sepertinya baju yang non Eliza pakai ini ketumpahan air minuman. Mungkin non ingin ganti baju dulu sebelum balik ke sini dan bantuin bapak?”
Aku terkejut mendengar kata kata pak Sigit itu dan hal ini makin membuatku curiga kalau sebenarnya ia hanya pura pura buta.
“Pak Sigit, maaf saya bertanya seperti ini. Pak Sigit kan nggak bisa melihat? Gimana caranya bapak sampai bisa tahu kalau baju saya ini ketumpahan minuman?” tanyaku dengan cepat.
“Buat orang buta seperti bapak ini,” jawab pak Sigit sambil membuka kacamata hitamnya, “bunyi air yang tumpah ke kain tadi itu terdengar jelas. Dan waktu non Eliza berdiri di dekat sini, bapak mencium harumnya bau sirup. Jadi bapak tahu air minuman yang non bawa tadi itu tumpah di bajunya non.”
Sekarang aku bisa melihat mata pak Sigit yang sejak tadi tertutup kacamata hitam. Diam diam aku bergidik ngeri karena bola mata itu terus bergerak tak menentu. Dan melihat bagian yang harusnya berwarna hitam dari mata pak Sigit itu ternyata berwarna kelabu dan sedikit pudar, aku mulai yakin kalau ia memang buta.
“Wah, kalau gitu pendengaran pak Sigit tajam sekali yah,” aku memuji dengan kagum sebelum aku menjawab pertanyaan pak Sigit yang tadi. “Oh iya pak Sigit, ini tumpahannya cuma sedikit kok, jadi saya nggak perlu ganti baju sih.”
“Kalau begitu bapak mulai sekarang saja ya non?” kata pak Sigit yang sudah berdiri sambil membawa tasnya.
“Iya pak,” jawabku singkat dan aku duduk di kursi piano yang baru ditinggalkan pak Sigit ini.
Sebenarnya aku ingin mengganti bajuku, tapi aku sedikit berbohong pada pak Sigit karena rasanya tak enak juga kalau aku sampai membuat pak Sigit menunggu. Jadi aku berpikir soal ganti baju ini kulakukan nanti saja sekalian setelah urusan servis piano ini selesai.
Lagipula, setelah aku yakin pak Sigit memang buta, aku bisa saja sementara menggunakan kaos yang ada di dalam tasku sebagai baju gantiku kalau aku mau. Dan tentu saja aku tak mungkin mengatakan pada pak Sigit kalau aku berniat untuk berganti baju di sini.
Dengan hati hati aku menaruh ponselku di bagian atas piano yang kapnya sudah terbuka ini, sedangkan bungkusan tissue ini kutaruh di pinggir kursi piano ini. Pak Sigit sendiri mengeluarkan dua buah alat dari dalam tasnya yang kumal itu, dan dengan membawa dua alat itu, ia beranjak menuju ke bagian belakang piano.
Dan sesaat kemudian tangan kananku sudah sibuk menekan tuts tuts piano ini sesuai permintaan pak Sigit, kadang ia minta aku menekan dengan biasa, kadang keras. Hampir di setiap jeda sebelum aku diminta menekan tuts lagi, selalu diselingi dengan suara senar yang dikencangkan. Kadang aku juga mendengar suara ketukan. Duh, rumit juga yah ^^”
Setelah proses penyetelan piano ini berlangsung sekitar lima menit, tiba tiba aku melihat layar ponselku berkedip, dan aku cepat mengambil ponselku. Ternyata ada SMS yang masuk dari Cie Natalia, dan aku langsung membacanya.
Ternyata isinya adalah jawaban Cie Natalia untuk pertanyaanku tadi, yaitu pak Sigit memang buta, dan sekalian Cie Natalia titip salam untuk pak Sigit. Selain itu Cie Natalia juga ngucapin thanks karena aku sudah repot repot menggantikannya jagain piano. Aku tersenyum dan membalas SMS itu.
Namun jawaban Cie Natalia itu mengingatkanku kepada penyebab aku menanyakan hal itu. Tiba tiba saja aku kembali merasakan dinginnya AC yang sudah cukup lama menyala ini, dan membuat tumpahan dari air minuman yang sangat dingin pada baju baletku ini terasa semakin dingin.
Maka aku teringat kembali pada ideku tadi. Jadi, bagaimana ya? Apakah aku langsung berganti baju di sini saja selagi pak Sigit menyetel piano ini? Atau sebaiknya aku menunggu sampai servis piano ini selesai dan pak Sigit pulang?
Kalau aku memilih yang pertama, paling tidak aku mengenakan pakaian kering dan rasa dingin ini tak akan terus menyiksaku.
Dan kalau aku memilih yang kedua, dengan kondisi tubuhku yang masih belum pulih sepenuhnya dari kelelahan akibat terlalu sering orgasme ini, aku mungkin sekali akan terkena sakit flu yang pasti akan lama sembuhnya, padahal sebentar lagi aku harus menghadapi ujian kenaikan kelas. Gimana nih?
Setelah beberapa saat aku bimbang di antara dua pilihan ini, akhirnya aku memutuskan untuk memilih yang pertama. Tapi entah kenapa walaupun aku tahu pak Sigit itu buta, dan ia bahkan sibuk dengan bagian dalam piano ini, tetap saja aku merasa jantungku berdegup kencang saat aku mulai membuka baju baletku ini.
Rasa dingin yang makin menyiksa ini membuatku tak punya pilihan lain. Setiap kali pak Sigit sibuk menyetel senar, aku melanjutkan usahaku untuk menarik lepas baju baletku ini, hingga akhirnya tinggal bra saja yang melekat pada setengah tubuhku bagian atas ini, karena baju baletku ini sudah jatuh sampai ke pinggangku.
Eh… pak Sigit memang tak akan bisa melihatku dengan kedua matanya yang buta itu. Tapi tadi itu, ia bisa tahu bajuku ketumpahan air minuman hanya dengan mendengar saja. Lalu, apakah ia juga bisa mendengar kalau aku sudah membuka baju baletku yang ketat ini?
Dengan tubuhku yang sudah dalam keadaan setengah telanjang, memikirkan semua itu membuatku merasa tegang. Bagaimana kalau pak Sigit ternyata juga bisa mengenali suara terlepasnya baju? Perlahan aku menggigit bibirku dan tiba tiba aku merasa malu sekali. Kalau benar seperti dugaanku, bukankah itu berarti aku sama saja seperti sedang melakukan striptease di hadapannya sekarang ini?
“Tekan lagi non,” tiba tiba aku mendengar suara pak Sigit.
“Eh, i… iya pak,” aku menjawab di tengah kegugupanku.
Sambil menekan tuts piano yang terakhir kutekan sebelum aku berhasil melepas bagian atas baju baletku tadi, aku terus memikirkan situasi sekarang ini. Rasaya suara pak Sigit ketika menyuruhku menekan tuts piano tadi terdengar wajar wajar saja. Dan proses penyetelan piano ini terus berlangsung tanpa ada hal yang aneh dari pak Sigit.
Ah, mungkin aku terlalu curiga yang tidak tidak. Sepertinya aman saja bagiku untuk berganti baju di sini walaupun ada pak Sigit. Maka selagi pak Sigit kembali sibuk menyetel senar piano, aku berdiri dari kursi piano ini dengan perlahan untuk menarik lepas rok baletku, rok yang sedikit transparan ini. Dan rok ini kutaruh di atas kursi piano.
Masih dalam keadaan berdiri, aku sempat harus menekan tuts piano lagi sebelum akhirnya aku berhasil melepaskan baju baletku yang lalu kutaruh di atas rok baletku tadi. Semua itu kulakukan dengan hati hati dan kuusahakan tanpa suara, dan kini aku hanya tinggal mengenakan bra, celana dalam dan stocking saja.
Ow, harusnya sekarang ini aku dan tubuhku merupakan pemandangan indah bagi pak Sigit (duh, narsisnya kumat deh). Dan entah apa yang akan terjadi padaku kalau saja pak Sigit bisa melihat aksi striptease yang kulakukan ini. Kalau saja yang berada di hadapanku sekarang ini adalah Wawan cs, maka tak akan butuh waktu lama sebelum tubuhku ini diterkam dan dimangsa habis oleh mereka.
Lalu bagaimana dengan pak Sigit yang sedang sibuk menyetel piano ini? Ah, dia kan juga lelaki, sama seperti ketiga pejantanku itu. Kalau benar pak Sigit bisa melihat apa yang kulakukan sekarang ini, servis piano ini akan lebih lama selesainya karena ia pasti lebih memilih untuk sibuk denganku.
Memikirkan semua itu, aku merasa geli dan menahan senyumku, namun jantungku tetap berdebar dengan kencang. Bagaimanapun juga, memikirkan tubuhku yang hanya terbalut pakaian dalam seperti ini di hadapan seorang lelaki, membuatku sedikit merasa risih bercampur ngeri.
Tiba tiba rasa dingin yang sempat kulupakan itu kembali lagi, bahkan kini terasa lebih menusuk, terutama di kulit dada dan perutku yang sempat tersiram tumpahan air minuman tadi. Sebisanya aku menyeka bagian tubuhku yang basah ini dengan tissue yang tadi sempat kubawa sebelum aku membantu pak Sigit.
Setelah menempuh semua kesulitan ini, akhirnya aku berhasil mengeringkan tubuhku, dan semua tissue yang telah kupakai itu kutaruh di atas tumpukan kostum baletku. Namun aku justru merasa lebih kedinginan. Aku baru sadar, penyebabnya adalah AC yang membuat hawa di ruangan ini menjadi semakin dingin, ditambah dengan tubuhku yang hanya mengenakan pakaian dalam seperti ini.
“Pak Sigit, tolong berhenti sebentar yah,” kataku pada pak Sigit. “Saya mau m… minum.”
Dan aku tersenyum lega karena aku merasa alasanku yang tiba tiba terpikir ini tepat sekali. Kan tidak mungkin aku mengatakan pada pak Sigit kalau aku ingin memakai kaosku karena aku baru melepaskan kostum baletku ini?
“Oh iya iya. Silakan non Eliza,” jawab pak Sigit dan ia menghentikan penyetelan senar yang sedang dilakukannya itu.
“Bapak mau saya ambilkan minum juga?” aku sekalian menawarkan minuman tadi pada pak Sigit.
“Oh, nanti saja non. Tanggung, ini sudah tinggal 8 senar lagi. Dan bapak belum haus,” lagi lagi pak Sigit menolak.
Aku berpikir sejenak. Delapan tuts, kalau setiap tuts rata rata satu menit atau lebih, berarti masih sekitar sepuluh menit lagi. Maka aku tetap memilih untuk memakai kaos gantiku tadi daripada terus menggigil kedinginan sampai selesainya servis piano nanti.
“Kalau gitu saya minum dulu sebentar ya pak,” kataku lagi.
Pak Sigit mengiyakan saja, dan setelah mengambil tumpukan kostum baletku yang kutaruh di kursi piano ini, aku segera menuju ke meja tempat dimana tasku sedang duduk manis menungguku. Aku sempat menoleh ke arah pak Sigit, entah kenapa tiba tiba aku merasa takut kalau ia mengintipku.
Tapi gara gara itu aku jadi melihat ponselku berkedip, hingga aku cepat menaruh tumpukan kostum baletku ini di samping tasku, lalu dengan masih dalam keadaan hampir telanjang bulat seperti ini, aku melangkah kembali ke piano untuk mengambil ponselku.
Dan ternyata ada sebuah SMS masuk, dari Cie Stefanny? Aku cepat membuka SMS itu.
‘Eliza, sorry ya, besok Cie Cie nggak bisa ngelesin kamu. Soalnya Cie Cie capek sekali, rasanya perlu istirahat. Tapi hari Kamis nanti, kamu langsung les dua kali, buat gantiin yang besok. Nggak apa apa ya sayang? Abisnya kamu juga sih, ngenalin Cie Cie ke Jenny dan Sherly. Dua anak itu… duh, mereka itu nggak kalah nakal deh sama kamu.’
Aku memejamkan mataku, mencoba mengatur nafasku yang memburu akibat membaca SMS dari Cie Stefanny itu. Jenny, Sherly, kalian apain aja Cie Stefannyku ini sampai kecapekan seperti itu? Dan, mengapa aku kalian tinggalkan sendiri seperti ini?
Tiba tiba semua adegan mesra antara aku dan Cie Stefanny di malam hari itu melayang dalam anganku. Juga tentang kegilaan yang kami lakukan bersama Jenny dan Sherly pada keesokan harinya hingga ketiga pejantanku itu terkapar lemas.
Akibatnya, nafasku jadi makin memburu. Sekujur tubuhku serasa bergetar halus dan gairahku naik dengan cepat.
Aku bergidik ngeri karena tiba tiba saja aku menyadari tangan kananku sudah meraba dan meremasi payudaraku sendiri, walaupun dengan lembut. Aku membelalakkan kedua mataku sambil menatap ke arah pak Sigit.
Duh, untung pak Sigit tak bisa melihat apa yang sedang kulakukan sekarang ini. Tapi ketika aku berusaha menghentikan kenakalan tanganku, entah kenapa tanganku yang satunya ini seperti tak mau kalah, dan mulai meraba bibir vaginaku yang serasa makin berdenyut saja.
Sekuat tenaga aku menahan diriku agar tidak mendesah, apalagi merintih. Aku benar benar tersiksa karena gairahku makin menjadi, hingga di dalam hati aku memohon pada kedua tanganku ini untuk menghentikan kenakalan mereka. Namun keduanya seperti tak mau mendengar, bahkan seolah malah saling berlomba untuk menggoda tubuhku. Perlahan tapi pasti, rasa panas mulai menjalari sekujur tubuhku ini.
“Non Eliza, katanya tadi mau minum?” tiba tiba suara pak Sigit mengejutkanku, membuat kenakalan kedua tanganku ini terhenti.
“Eh… enggak jadi pak,” jawabku dengan tegang, dan tiba tiba saja aku berubah pikiran. “Rasanya lebih baik sekalian nanti aja, cuma kurang delapan tuts kan pak?”
“Iya non. Kalau gitu bapak lanjutkan ya?” tanya pak Sigit lagi.
“Iya pak,” jawabku sambil kembali duduk di kursi piano dan menaruh tangan kananku di deretan tuts piano.
Sambil kembali membantu pak Sigit menyetel piano ini, aku membalas SMS Cie Stefanny tadi. Dengan susah payah aku menuliskan jawabanku di ponselku ini karena aku harus menekan semua gairahku akibat kenangan erotis bersama Cie Stefanny yang sempat melayang dalam anganku tadi.
Aku mengiyakan tentang masalah les yang diundur, jadi hari Kamis nanti aku akan les dua kali, tapi aku tak mengatakan apa apa tentang rasa penasaranku akan kegilaan yang dilakukan kedua temanku pada Cie Stefanny. Aku hanya mengatakan kalau aku udah kangen sama Cie Stefannyku tersayang ini, dan meminta padanya untuk menjaga diri dan nggak terlalu capek, jadi nggak sampai sakit.
“Tekan… tekan… ya, selesai,” kata pak Sigit mengakhiri servis piano ini.
Hampir bersamaan dengan itu, aku melihat ponselku berkedip. Ternyata ada SMS yang masuk dari Cie Stefanny lagi.
“Sama sama, pak,” jawabku singkat, sambil membuka SMS itu.
‘Thanks ya sayang. Cie Cie juga kangen sama kamu, murid les Cie Cie yang paling pintar, paling cantik, paling baik, dan paling nakal :p’
Aku tersenyum sambil menggigit bibirku saat membaca SMS Cie Stefanny itu. Senang sekali rasanya mendapat semua pujian dari Cie Stefanny itu, dan kata kata paling nakal dalam SMS itu membuatku tersenyum geli.
Suara denting peralatan milik pak Sigit membuyarkan lamunanku. Ternyata pak Sigit sedang menyimpan semua peralatannya yang tadi digunakan untuk menyetel piano ini ke dalam tas yang kumal itu. Hal itu menyadarkanku bahwa servis piano ini sudah selesai.
“Non Eliza, silakan dicoba pianonya,” kata pak Sigit yang sudah berdiri sambil membawa tasnya.
Hah? Mencoba piano? Sekarang? Dalam keadaan hanya mengenakan pakaian dalam seperti ini? Tapi apa alasanku untuk menolak permintaan pak Sigit ini?
“Eh… tapi pak, saya udah lama nggak main piano,” aku mencoba mengelak.
“Ah, non Eliza jangan merendah,” kata pak Sigit memaksaku. “Dari cara non menekan tuts piano tadi, bapak yakin kok kalau non ini pandai main piano.”
“Duh, makasih deh pujiannya pak,” jawabku dengan sedikit senang. “Tapi, apa bapak nggak mau minum dulu?”
Aku masih berusaha mencari kesempatan supaya paling tidak aku bisa memakai kaos yang ada di dalam tasku itu selagi aku harus mencoba piano. Rasanya tidak lucu kan kalau aku harus bermain piano dengan penampilan yang amat sexy seperti ini di hadapan pak Sigit?
“Bapak sih masih belum haus,” jawab pak Sigit. “Tapi non Eliza tadi kan nggak jadi minum ya? Kalau gitu silakan non minum dulu.”
“Iya pak. Kalau gitu, saya minum sebentar ya,” jawabku cepat dengan rasa lega.
Tepat pada saat itu, aku sempat memperhatikan ponselku yang kembali berkedip. Maka tanpa menunggu jawaban pak Sigit, aku segera beranjak menuju ke arah tasku sambil membawa ponselku ini. Ternyata ada SMS dari Cie Natalia.
‘Eliza, kamu mau nggak ikut Cie Cie karaoke? Daripada kamu sendirian di rumah, sayang. Kalau kamu mau, Cie Cie bisa jemput kamu dulu. Servis pianonya udah selesai kan?’
Aku menghela nafas sambil melihat ke arah jam dinding. Rasanya nggak enak juga kalau aku ikut Cie Natalia pergi. Aku kan nggak kenal dengan teman teman Cie Natalia? Lagipula, sekarang sudah jam delapan malam. Kalau mereka baru akan ke karaoke sekarang, lalu jam berapa mereka baru pulang? Aku tak mau tidur terlalu malam dengan kondisi tubuhku yang masih didera rasa capek seperti ini.
Memang aku akan sendirian lagi, tapi tentu saja hal itu bukan merupakan masalah besar bagiku. Maka aku cepat membalas SMS Cie Natalia ini, memberitahunya kalau servis piano ini mungkin masih agak lama baru selesai, dan aku sendiri sudah mulai mengantuk, jadi aku nggak usah dijemput.
Lalu aku meneguk minumanku, dari gelas yang sebagian isinya sempat tumpah ke baju baletku tadi, hingga membuatku berpenampilan sexy seperti sekarang ini. Rasa segar melegakan tenggorokanku yang sempat terasa kering. Sesaat kemudian lagi lagi ponselku berkedip.
‘Duh, sorry ya Eliza, kamu jadi sendirian lagi deh. Ya udah, nanti kalau kamu udah benar benar mengantuk, kamu tidur aja dulu seperti kemarin. Thanks ya, kamu udah mau repot bantuin Cie Cie. Besok Cie Cie traktir kamu apa aja yang kamu mau, sayang.’
Membaca SMS Cie Natalia ini, aku menggigit bibirku dan nafasku kembali tak beraturan. Aku masih ingat sekali tentang kejadian tadi malam, dan hal itu membuat jantungku berdegup kencang. Dengan susah payah aku berjuang menahan deru nafasku, karena aku kuatir kalau pak Sigit mendengar nafasku yang makin memburu ini, lalu ia jadi bertanya yang macam macam padaku.
Namun semua kejadian tadi malam itu tetap melayang dalam pikiranku. Lalu, kalau nanti aku tidur lebih awal seperti kemarin, apakah kejadian tadi malam itu akan terulang kembali?
Membayangkan semua itu, perlahan tapi pasti aku kembali terbakar oleh gairahku sendiri. Aku memejamkan mataku, kedua tanganku ini kusilangkan di depan dadaku. Aku tak perduli dengan traktiran yang dijanjikan oleh Cie Natalia tadi, karena saat ini aku hanya ingin dipeluk mesra oleh Cie Natalia.
Tapi sentuhan tanganku pada dadaku ini, membuatku makin tersiksa. Ketika aku merasakan kulit tanganku bergesekan dengan bra yang masih menutup kedua payudaraku ini, aku sudah tak tahu apa yang sebaiknya kulakukan untuk meredam gairahku yang serasa hampir meledak ini.
Di tengah rasa dingin yang cukup menyiksa ini, aku ingin sekali mendapatkan kehangatan, entah dari Cie Natalia ataupun Cie Yulita yang mencumbuiku seperti malam tadi. Atau dari Cie Stefanny yang mau membalas cintaku. Atau dari dua kekasihku itu, Jenny dan Sherly yang begitu menyayangiku.
Atau mungkin tiga pejantan yang ada di rumahku itu, pak Arifin, Suwito dan terutama Wawan yang selalu membuat tubuhku menggeliat keenakan di bawah tindihannya. Atau pak Sigit, yang memelukku dari belakang sambil meremasi kedua payudaraku ini dengan lembut, saat aku mencoba piano yang baru diservis olehnya itu.
Eh? Mengapa jadi pak Sigit?
Aku terkejut saat menyadari apa yang sempat kupikirkan tadi tentang pak Sigit. Perlahan aku membuka mataku, dan aku menemukan pak Sigit yang saat ini sudah berada di samping piano, dan dengan sabar menungguku.
Dalam keadaan terbakar gairah seperti ini, aku tak tahu harus berbuat apa. Aku terus memandang ke arah pak Sigit. Tiba tiba, kedua kakiku ini bergerak sendiri, melangkah tanpa perintahku, dan aku hanya pasrah saja ketika kedua kakiku ini mengantar tubuhku yang setengah telanjang ke hadapan pak Sigit yang masih berdiri diam di samping piano.
“Pak Sigit… saya sudah selesai minum,” aku berkata dengan suara pelan, dan aku terkejut sendiri menyadari kenekatanku sekarang ini.
“Nah, kalau non Eliza tidak keberatan, coba non mainkan satu atau dua lagu,” kata pak Sigit.
“Mm… saya coba mainkan satu lagu aja ya pak,” kataku menawar.
“Nggak apa apa, terserah non mau main berapa lagu. Mari, bapak ingin dengar,” kata pak Sigit.
Dengan sedikit ragu, aku duduk di kursi piano. Setelah sempat memikirkan beberapa lagu, akhirnya aku memutuskan untuk memainkan sebuah instrumen lagu yang dulu sering kumainkan ketika aku masih ikut les piano, yaitu lagu “Ave Maria”, yang digubah oleh Bach dan Gounod, dan dipopulerkan oleh seorang pemain piano ternama, Richard Clayderman.
Entah apa aku memainkan lagu ini dengan baik, karena aku merasa tak bisa berkonsentrasi penuh selama jemariku menari di atas tuts piano. Selain aku terganggu oleh rasa dingin, pak Sigit yang mondar mandir di belakangku itu membuatku kembali teringat dengan anganku tadi.
Dan saat ini, ia kan sudah berdiri di belakangku. Lalu, apa yang ia tunggu? Mengapa ia tak segera memeluk tubuhku yang sesekali menggigil kedinginan ini, dan kapan ia akan meremasi kedua payudaraku dengan lembut? Apa ia sama sekali tak tergoda dengan penampilanku saat ini yang begitu sexy? Apa nanti ia tak akan menyesali pilihannya untuk melewatkan rejeki yang ada di hadapannya ini begitu saja?
Aku menggigit bibirku, dan sesekali aku menoleh ke arah pak Sigit dengan tatapan memohon. Namun aku sadar bahwa ia tak akan memenuhi harapanku, karena ia memang tak bisa melihat semua ini. Maka dengan sebersit rasa kecewa, aku memilih berkonsentrasi dengan permainan pianoku, membiarkan pak Sigit menikmati alunan musik yang kumainkan ini.
Ternyata suara piano ini memang sudah tidak aneh dan sumbang seperti tadi. Bahkan dentingannya terdengar jernih. Akhirnya aku selesai memainkan instrumen lagu ini. Ada sedikit rasa bangga yang menyusup dalam hatiku karena aku merasa masih bisa bermain piano dengan baik, padahal aku sudah berhenti les piano sejak lulus SMP dahulu.
“Benar kan seperti yang saya katakan, non Eliza memang pandai bermain piano,” kata pak Sigit yang sudah berada di samping kananku ini dengan suara pelan.
“Makasih pak,” aku kembali merasa senang mendapat pujian pak Sigit.
Setelah itu kami berdua diam beberapa saat, sebelum aku teringat untuk kembali menawarkan minuman, sekalian membayarkan ongkos servis piano yang sudah dititipkan oleh Cie Natalia tadi.
“Oh iya, mari pak, silakan minum dulu,” kataku pada pak Sigit. “Saya ambilkan ya pak?”
“Iya non, terima kasih,” jawab pak Sigit
Aku segera berdiri dan melangkah ke arah meja tadi. Gelas yang isi minumannya masih utuh itu kuambil untuk kuberikan pada pak Sigit. Saat itu aku kembali sadar dengan keadaanku. Entah kekacauan seperti apa yang akan terjadi, kalau misalkan pak Sigit ini tidak buta, dan melihatku yang dalam keadaan nyaris telanjang ini dengan santainya menawarkan minuman padanya.
“Aduh,” aku nyaris menjerit karena terkejut setengah mati. “Maaf pak Sigit… saya nggak sengaja.”
Entah apa yang tadi sedang kulihat, tiba tiba gelas yang kubawa ini membentur dada pak Sigit, hingga air minuman itu membasahi bajunya, bahkan sampai ke celananya. Untung aku memegang gelas dengan cukup kuat hingga gelas itu tidak sampai terjatuh dan pecah. Tapi aku kesal sekali, kenapa aku hari ini begitu ceroboh? Masa dalam satu jam ini saja aku sudah menumpahkan air minum untuk kedua kalinya?
“Nggak apa apa non. Non sendiri gimana?” tanya pak Sigit.
“Saya… saya nggak apa apa,” jawabku dengan sedikit tergagap. “Maaf pak, saya nggak sengaja. Saya bantu keringkan sedikit ya pak.”
“Oh, nggak usah non, nggak apa apa. Cuma gini aja kok,” kata pak Sigit.
“Tapi bajunya pak Sigit jadi basah gini,” kataku dengan rasa bersalah, dan tanpa memperdulikan pak Sigit, aku mulai menyeka bagian yang basah dari bajunya itu.
“Aduh, jadi ngerepotkan non Eliza,” kata pak Sigit. “Terima kasih ya non yang baik.”
Aku tersenyum mendengar kata kata pak Sigit. Ia selalu memujiku, membuatku merasa sedikit malu bercampur senang. Aku terus menyeka bajunya pak Sigit ini, setidaknya ini yang bisa kulakukan untuk meringankan rasa bersalahku.
“Sudah non Eliza,” kata pak Sigit dan ia memegang kedua pergelangan tanganku yang sibuk menyeka bajunya yang masih basah itu. “Bapak jadi nggak enak.”
“Tapi pak…” aku masih mencoba menyeka baju pak Sigit, namun aku sedikit terkesiap merasakan kuatnya cengkeraman tangan pak Sigit pada kedua pergelangan tanganku ini.
“Sudah, terima kasih non Eliza,” kata pak Sigit. “Aduh, tangan non ini, halusnya. Eh… maaf non… bapak sampai lancang pegang tangan non… maaf ya non.”
Saat itu juga pak Sigit melepaskan pegangannya pada kedua pergelangan tanganku. Ia terlihat tegang dan kikuk. Aku tersenyum kecil, ada sebersit rasa senang juga dalam hatiku mendengar pujian pak Sigit tentang halusnya tanganku ini.
“Nggak apa apa deh pak. Masa pegang tangan gitu aja udah lancang?” kataku sambil kembali menyeka baju pak Sigit. “Saya bantu keringkan sedikit lagi ya.”
Sekali ini pak Sigit hanya diam saja, tidak menolak lagi. Aku terus menyeka sampai aku merasa baju itu sudah tidak sebasah tadi. Namun aku melihat celana pak Sigit itu juga basah. Maka aku berjongkok dan mulai menyeka bagian yang basah dari celana itu.
Beberapa saat kemudian, aku merasa melihat di bagian tengah celana itu seperti ada yang bergerak dan mendesak dari dalam. Wajahku terasa panas, karena aku tahu apa yang sedang terjadi. Aku tahu apa yang bergerak di dalam situ.
Reflek aku membuang muka, mengalihkan pandanganku ke tempat lain. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku tak perlu melakukan hal itu, karena toh pak Sigit tak tahu apa yang baru saja kulihat ini.
Maka aku mencoba untuk bersikap biasa saja. Namun aku jadi ingin tahu, mengapa tiba tiba penis pak Sigit itu meronta bangun? Sesaat kemudian, kerasnya cengkeraman pak Sigit pada kedua pergelangan tanganku tadi malah terbayang dalam pikiranku. Dan, ia mengaku telah lancang memegang tanganku.
Aku menggigit bibirku sambil tersenyum kecil. Pak Sigit, ternyata sebenarnya ia menginginkanku. Tapi ia tak berani berkata ataupun berbuat yang macam macam padaku.
Rasanya aneh juga. Maksudku, kalau dibandingkan dengan semua pejantan yang pernah menikmati tubuhku. Yang kualami selama ini, setiap ada pejantan yang menginginkan tubuhku, mereka tidak akan sungkan untuk langsung menerkam diriku, menggagahiku, bahkan memperkosaku.
Dan entah dari mana datangnya, tiba tiba sebuah ide yang sangat nakal tercetus dalam benakku.
“Pak Sigit, saya bantuin keringkan celana dalamnya bapak ya,” kataku pelan.
Tanpa menunggu jawaban, aku mulai membuka kepala sabuk yang melingkar di celana pak Sigit, lalu aku membuka kancing dan resleting celana pak Sigit. Perlahan tapi pasti, aku mulai diamuk gairahku, mungkin karena baru pertama kali ini aku menelanjangi seorang pria dengan maksud untuk menggodanya.
Tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Setelah semuanya terbuka, aku menurunkan celana panjang pak Sigit. Dan tidak ada yang menarik bagiku dari celana dalam pak Sigit yang masih terpasang di selangkangannya itu, selain tonjolan yang cukup besar pada bagian depannya.
Sambil menggigit bibirku, aku meneruskan kenakalanku ini.
“Oh…” kudengar pak Sigit merintih perlahan ketika aku menyeka tonjolan di celana dalamnya itu dengan tissue.
“Aduh, maaf ya pak. Sakit ya?” tanyaku pura pura kuatir.
“Eh… enggak non… anu…” pak Sigit hanya mengguman tak jelas.
Aku menahan tawa melihat reaksi pak Sigit. Saat ini, penis pak Sigit itu pasti sudah ereksi sejadi jadinya, karena aku merasa tonjolan itu bahkan sedikit lebih besar dibandingkan dengan tadi saat aku baru membuka celana panjangnya.
Namun tiba tiba aku jadi sedikit penasaran. Memangnya, sebesar apa ya penisnya pak Sigit itu?
“Pak Sigit, yang di dalam sini ini juga basah ya?” tanyaku sambil membelai tonjolan pada celana dalam pak Sigit itu dengan lembut. “Mmm… kalau gitu, saya bantu keringkan dulu ya pak?”
“Eh… non… i… e…” pak Sigit hanya gelagapan tanpa menjawab.
Entah pak Sigit hendak berkata apa , tapi aku tak perduli. Seperti tadi, tanpa menunggu jawaban pak Sigit, aku mulai melucuti celana dalamnya itu. Aku mengaitkan kedua jari telunjukku di ujung kiri dan kanan, lalu celana dalam itu kutarik ke bawah dengan perlahan, hingga benda nakal yang sejak tadi terus bergerak dan membuatku penasaran itu mulai terlihat olehku.
Aku terus melucuti celana dalam pak Sigit, hingga kini celana dalam dan celana panjang pak Sigit itu tergeletak di lantai, melingkar di kedua pergelangan kaki pak Sigit.
Ternyata penis itu besar juga. Mungkin bahkan lebih besar sedikit dari punya Wawan. Melihat penis pak Sigit yang teracung ke arah wajahku ini, nafasku kembali memburu. Aku merasa penis itu seperti mengancamku, memaksaku untuk memberikan servis oralku, atau ia akan mengaduk aduk liang vaginaku hingga aku menggeliat dan melenguh keenakan.
Namun ancaman penis itu sama sekali tak terdengar menakutkan buatku. Sekarang ini aku malah ingin menggoda pemiliknya. Sesuai “janjiku” tadi, aku mengambil tissue dan menyeka rambut kemaluan pak Sigit yang ternyata juga sedikit basah. Setelah bagian itu kurasa sudah cukup kering, barulah aku memberikan perhatianku pada penis yang sempat kucuekin itu.
Bagian pertama yang kuseka dari penis itu adalah kepalanya. Saat itu aku baru menyadari, ternyata penis itu benar benar tegang. Aku mencoba menekan penis itu ke bawah sedikit, tapi penis itu langsung kembali mengacung ke posisi semula saat aku melepaskan tanganku, diikuti suara keluhan pak Sigit yang membuat aku mendongakkan kepala.
Melihat keadaan pak Sigit, aku kembali merasa geli hingga aku harus menahan tawaku. Bagaimana tidak, baru kali ini aku melihat ada pejantan yang kelihatan gelisah dan tegang ketika aku sibuk dengan senjata andalannya.
“Pak, ini kok jadi besar gini sih?” tanyaku sambil terus menyeka ujung kepala penis itu dengan tissue.
“Uh… anu non… itu…” pak Sigit tak menjawab dengan jelas.
Aku kembali memandang penis itu. Ukuran penis itu memang besar, tapi apakah juga keras seperti punya Wawan? Dengan perlahan namun penuh rasa ingin tahu, aku menggenggamkan tanganku pada batang penis itu.
Denyutan urat urat penis yang kurasakan itu membuat jantungku berdegup semakin kecang, apalagi ketika aku merasa penis pak Sigit itu makin mengeras saja. Dan saat ini, kerasnya batang penis itu rasanya hampir sekeras milik Wawan. Entah bagaimana rasanya kalau liang vaginaku yang mungil ini diaduk aduk oleh penis pak Sigit itu, pasti rasanya enak sekali.
Tapi, bagaimana caranya supaya hal itu terjadi? Masa aku yang meminta minta pada pak Sigit untuk menggagahiku, seperti yang tadi dilakukan oleh Vera terhadap pak Bakir? Rasanya aku belum setega itu untuk menghancurkan harga diriku sampai tak bersisa di hadapan pak Sigit.
“Aah…” pak Sigit kembali mengerang.
Aku memejamkan mataku, dan itulah kesalahanku. Semua bayangan tentang penis itu malah tergambar dengan jelas di hadapanku, membuatku makin tenggelam dalam gairah. Dan ketika aku membuka kedua mataku, aku tak mau melepaskan pandanganku dari penis itu. Aku… aku menginginkan penis itu!
“Pak Sigit, burung ini boleh saya bersihkan nggak?” tanyaku sambil membelai penis pak Sigit.
“Boleh non!” seru pak Sigit cepat. “Boleh… boleh…”
Ih, semangat sekali menjawabnya?! Ingin rasanya aku menggoda pak Sigit tentang hal itu, tapi aku merasa kasihan kalau ia sampai merasa malu dan suasana erotis ini jadi rusak.
Maka tanpa berkata apa apa lagi, aku mulai membelai penis itu beberapa kali, lalu kuseka dengan tissue yang masih baru. Berikutnya, dengan sedikit menahan malu, aku memberanikan diriku untuk memajukan wajahku dan mendekatkan bibirku pada kepala penis pak Sigit itu.
Hmm… bau sirup ^^
Aku sempat mendongak untuk menatap pak Sigit. Kepalanya bergerak gelisah dan raut wajahnya itu terlihat menunggu dengan penuh harap. Aku tak tega membuat pak Sigit menunggu lebih lama lagi, perlahan aku membuka bibirku sedikit, lalu aku mengecup kepala penis itu.
“Oh… oooh…” erang pak Sigit.
Aku memejamkan mataku, dan dari sekedar mengecup, kini aku mulai mencucup kepala penis itu, sementara pemiliknya makin sibuk mengerang dan merintih. Lalu aku menggunakan lidahku untuk memanjakan penis pak Sigit. Ujung lidahku yang sudah menyentuh kepala penis pak Sigit itu kugerakkan memutar dengan perlahan, kusapukan ke seluruh bagian kepala penis itu sampai beberapa kali.
“Ohh… oooooh…” pak Sigit mengerang semakin panjang sambil membelai rambutku. “Makasih non… makasih banyaak… oooh…”
Mendengar ucapan terima kasih di antara erangan dan rintihan pak Sigit, sebenarnya aku jadi merasa malu sekali. Tak pernah terbayang olehku, bagaimana seorang gadis terpelajar seperti diriku, dengan tak tahu malu memberikan servis oral kepada seorang pria tua yang bahkan baru kukenal satu dua jam yang lalu ini, yang kulakukan begitu saja, tanpa diminta ataupun dipaksa olehnya.
Ada sedikit rasa menyesal saat aku menyadari bahwa aku telah mempermalukan diriku sendiri seperti sekarang ini. Tapi semua sudah terlanjur, nasi sudah menjadi bubur. Maka tanpa menjawab apa apa, aku malah memajukan kepalaku, hingga sedikit demi sedikit batang penis itu makin tertelan dalam mulutku.
“Oooh… aduh… enaknya non…” kini penikmat servis oralku ini mulai meracau.
Aku memilih untuk tak perduli dengan segala reaksi pak Sigit. Bahkan aku mulai menghisap batang penis itu beberapa kali, lalu aku memaju mundurkan kepalaku, mulai dari dengan gerakan yang perlahan sampai dengan sedikit cepat seperti ini, hingga penis itu mengaduk rongga mulutku. Sesekali aku menghentikan gerakan kepalaku ini, memberikan kesempatan pada penis itu untuk merasakan nikmatnya kuluman mulutku.
Setelah beberapa saat, dengan perlahan aku menarik kepalaku ke belakang sampai penis yang terbenam dalam mulutku ini tinggal setengahnya, dan bagian yang masih berada dalam mulutku ini kembali kumanjakan dengan lidahku.
Ketika mulutku terasa penuh oleh air ludahku sendiri yang tercampur dengan sisa sirup tadi, dan mungkin juga tercampur dengan sedikit getah penis pak Sigit, aku menelan semua cairan itu karena aku tak ingin sampai tersedak. Setelah itu aku kembali menarik kepalaku ke belakang, dan kini tinggal kepala penis itu saja yang masih terbenam dalam mulutku.
Aku sempat memberikan beberapa hisapan dan cucupan pada kepala penis itu, lalu aku mengatupkan bibirku dengan rapat. Dengan perlahan aku menggerakkan tubuhku ke belakang, hingga penis yang masih terjepit oleh bibirku itu sedikit demi sedikit terlepas seluruhnya dari kulumanku.
Sebuah keluhan yang penuh dengan rasa kecewa pun terdengar. Aku membuka kedua mataku sambil mengatur nafasku yang sedikit tersengal ini. Ketika aku menatap pak Sigit, aku merasa ia terlihat seperti orang yang sedang kehilangan sesuatu. Tapi aku meneruskan niatku untuk sedikit jual mahal.
“Pak Sigit, burungnya udah bersih,” kataku pelan. “Saya bantuin pakai celananya ya pak?”
“Non Eliza yang baik… bapak boleh minta tolong nggak?” tanya pak Sigit dengan suara bergetar.
Suara itu, kini aku merasakan suara pak Sigit diwarnai nafsu yang menggelegak, hingga jantungku berdebar kencang karena aku sudah tahu “pertolongan” seperti apa yang diinginkan oleh pak Sigit dariku.
“Minta tolong apa pak?” aku bertanya balik dengan suara pelan.
“Tolong non… kasihan burungnya bapak,” kata pak Sigit, masih dengan suara bergetar seperti tadi.
“Mmm… gimana cara nolongin burung yang kasihan itu pak?” tanyaku nakal walaupun wajahku jadi terasa panas.
“Cara… non… bapak ingin… main sama non,” pak Sigit menjawab terbata bata.
Wajahku jadi terasa semakin panas. Tentu saja aku tahu dengan jelas apa maksud kata “main” dari dikatakan pak Sigit itu.
“Main? Pak Sigit mau main apa?” tanyaku pura pura tak mengerti. “Tapi ini kan udah malam pak, lain kali aja yah? Saya udah capek, ini juga baru pulang dari les balet…”
“Oh, non Eliza capek ya? Mau nggak non bapak pijitin?” tanya pak Sigit dengan cepat.
“Aduh, makasih pak, nggak usah repot repot deh,” aku menolak dengan ragu. “Saya cuma capek biasa kok. Abis istirahat dan tidur, besok juga hilang capeknya.”
“Tapi non, bapak juga bisa mijit badan untuk hilangkan capek dan pegal. Kalau non mau, bapak pijitin dulu non. Nanti sebelum non tidur, capeknya pasti sudah hilang. Mau ya non?” pak Sigit menawarkan dengan nada penuh harap.
Aku diam dan memikirkan tawaran pak Sigit itu. Sepertinya aku tertarik juga untuk merasakan servis pijatan pak Sigit, yang katanya bisa menghilangkan capek dan pegal pada tubuhku. Sekarang ini Cie Natalia dan teman temannya itu mungkin baru sampai ke tempat karaoke, dan paling sedikit mereka akan berkaraoke selama satu jam.
Jadi, mungkin masih aman untuk menikmati pijatan pak Sigit sampai satu jam ke depan.
“Gimana non?” pak Sigit menginginkan jawabanku.
“Mmm… berapa tarif satu jamnya pak?” aku bertanya balik.
“Nggak usah non. Bapak cuma kepingin itu… Mau ya non?” tanya pak Sigit dengan suara memelas hingga aku merasa tak tega untuk mempermainkannya lebih lama lagi.
“Iya deh pak… aww…” aku hampir menjerit kaget karena pak Sigit langsung menarik tubuhku ke dalam pelukannya, dan saat itu juga ia memajukan mukanya untuk mencari bibirku.
Kejadian itu berlangsung terlalu cepat, hingga aku jadi sedikit panik dan tak tahu apakah aku harus mengelak atau pasrah.
“Mmmhh…” aku merintih tertahan ketika bibirku sudah terpagut.
Dalam hati aku mengeluh. Gawat deh, sepertinya tinggal tunggu waktu saja sebelum pak Sigit mengetahui keadaanku, tentang tubuhku yang hanya mengenakan bra, celana dalam dan stocking saja seperti ini.
Pagutan pada bibirku ini hanya berlangsung sebentar, karena sesaat kemudian pak Sigit sudah mencumbui sekujur wajahku. Sementara itu aku merasa pelukan kedua tangan pak Sigit pada pinggangku ini semakin erat, seolah ia takut aku akan mencoba melarikan diri darinya.
“Mmmhh… pak… katanya mau mijitin Eliza??” aku memprotes di tengah rintihanku.
“Maaf non… bapak sudah kepingin sekali…” bisik pak Sigit di telinga kananku yang memang kebetulan sedang menjadi korban cumbuannya.
“Ooh…” sesaat kemudian aku mengeluh pasrah karena seluruh daun telinga kananku sudah berada dalam kuluman mulut pak Sigit.
Pandangan mataku mulai meredup seiring dengan makin memburunya nafasku. Saat ini aku sudah menyerah pada nikmatnya sensasi yang kurasakan dari cumbuan pak Sigit. Getaran halus menjalari sekujur leherku. Kedua tanganku tergantung lemas, tenagaku lenyap entah ke mana.
Sesaat kemudian pak Sigit mengendurkan pelukannya pada pinggangku, hingga aku merasa sedikit lebih lega sewaktu bernafas.
“Hmm… rambutnya non Eliza ini… harumnya…” desah pak Sigit sambil menciumi rambutku.
Aku diam saja membiarkan pak Sigit yang malah asyik dengan rambutku. Kedua tangan pak Sigit itu membelai seluruh rambutku, dan setelah beberapa saat, aku merasakan ikat rambutku dipegang pegang dengan beberapa ujung jarinya.
“Non… bapak lepas ikat rambutnya ya?” tanya pak Sigit.
“Kenapa pak?” aku bertanya heran.
“Bapak suka sekali sama rambutnya non Eliza. Sudah halus, lembut, harum lagi. Bapak jadi ingin merasakan dan membayangkan gimana indahnya rambut non pas lagi digerai,” pak Sigit menjelaskan alasannya dengan panjang lebar. “Boleh ya non?”
“Iya deh,” kataku sambil tersenyum senang. “Pak Sigit yang mau ngelepasin, atau saya aja?”
“Non aja ya? Kalau bapak, takutnya nanti non kerasa sakit kalau sampai ada rambut non yang ikut ketarik,” jawab pak Sigit.
Aku mengangkat kedua tanganku ini ke belakang kepalaku, dan selagi aku mulai melepas ikat rambutku, tiba tiba kedua tangan pak Sigit yang melingkar di pinggangku ini merayap naik dengan perlahan ke atas punggungku, sampai akhirnya kedua tangan itu menemukan tali bra yang melingkar di sana.
“Non Eliza… non nggak pakai baju?” tanya pak Sigit dengan nafas yang memburu.
“Iya pak,” jawabku pelan, sementara jantungku berdegup kencang.
“Kenapa non?” tanya pak Sigit lagi, sedang kedua tangannya itu mengikuti lingkar tali bra yang kukenakan ini, merayap ke arah dadaku.
Mendengar pertanyaan pak Sigit itu, wajahku jadi terasa panas, dan aku hanya bisa mendesah sambil menggeliat pelan ketika kedua payudaraku yang akhirnya ditemukan oleh tangan pak Sigit ini mulai mendapat remasan lembut.
“Tadi baju Eliza kan ketumpahan sirup, emmh…” aku menjawab tersendat di antara rintihanku. “Terus jadi basah, dan dingin…”
“Terus?” desak pak Sigit.
“Terus Eliza lepas aja sekalian, aaw…” aku merintih sambil menggeliat kesakitan ketika pak Sigit tiba tiba meremas kedua payudaraku dengan cukup keras.
“Ada apa non?” tanya pak Sigit sambil tersenyum lebar.
“Pak Sigit jahat,” aku mengomel manja.
“Maaf ya non. Gimana nggak gemas, bapak sudah dari tadi merasa aneh, soalnya waktu terakhir bapak ada di deket non, bukan cuma bau sirup saja sudah berkurang banyak, tapi bapak juga nggak mencium harumnya bau baju non Eliza tadi,” kata pak Sigit.
“Gemas sih gemas… tapi jangan keras keras dong, sakit pak,” aku kembali mengomel walaupun dengan suara pelan karena aku merasa malu sekali.
Pak Sigit tertawa mendengar omelanku ini, dan ia membelai payudaraku dengan lembut.
“Sejak tadi bapak sebenarnya sudah pingin tahu,” sambung pak Sigit. “Apa benar non Eliza berani buka baju di depan bapak?”
Wajahku terasa panas, dan aku tak berani berkata apa apa.
Pak Sigit terus membelai payudaraku dengan lembut. Saat ini aku merasa begitu sexy, dengan adanya tangan pak Sigit yang terus menikmati empuknya kedua payudaraku yang masih tertutup bra ini selagi kedua tanganku masih sibuk melepaskan ikat rambutku.
Sesaat kemudian rambut panjangku ini jatuh tergerai ke belakang punggungku. Tapi pak Sigit masih saja asyik meremasi kedua payudaraku, bahkan kini aku merasa remasan demi remasan yang kuterima ini dilakukan olehnya dengan penuh nafsu.
Apakah pak Sigit memang lebih suka bermain dengan kedua payudaraku ini daripada dengan rambutku, atau ia tak tahu kalau aku sudah melepaskan ikat rambutku sesuai dengan permintaanya tadi?
Maka aku memutuskan untuk memberitahu pak Sigit tentang rambutku ini dengan cara yang kurasa cukup menggoda. Kedua tanganku ini kulingkarkan di belakang lehernya, lalu aku sedikit menundukkan kepalaku hingga sebagian rambutku jatuh tergerai di depan dadaku dan membelai tangan pak Sigit.
Tapi pak Sigit tak bereaksi seperti yang kuharapkan, ia masih saja asyik memainkan kedua payudaraku ini.
“Pak… ikat rambut yang tadi itu udah Eliza lepas,” kataku pelan.
“Hmm…” pak Sigit hanya mengguman.
Walaupun begitu, tangan kanannya pak Sigit yang tadinya asyik meremasi payudara kiriku ini segera beralih melingkar ke belakang pinggangku. Ia menarik tubuhku ke dalam pelukannya, lalu selagi tangan kirinya tetap mememasi payudara kananku, tangan kanannya yang mendekap tubuhku itu mulai membelai rambutku yang sudah tergerai ini dengan lembut. Aku hanya menggeliat pasrah membiarkan tubuhku dijarah pak Sigit, dan dengan perlahan aku menyandarkan kepalaku di pundak kirinya.
“Rambutnya non Eliza ini benar benar halus,” puji pak Sigit. “Bapak yakin, non Eliza ini pasti anak perempuan yang cantik.”
“Ah pak Sigit ini… dari tadi muji Eliza terus deh,” kataku dengan rasa senang yang sepertinya tak bisa kututupi.
Rasanya kami ini seperti sedang berkencan saja, bahkan seperti sebuah hot blind date saja alias kencan buta yang panas. Aku seperti datang menemui orang yang sama sekali tak pernah kukenal, sedangkan sampai sekarang pak Sigit bahkan tak tahu aku ini berwujud seperti apa. Dan, siapapun pasti tahu, bahwa dalam keadaan seperti ini, kencan ini pasti akan berlanjut ke hubungan seks.
Mendengar omelanku tadi, pak Sigit hanya tertawa, lalu kedua tangannya yang tadinya sibuk sendiri sendiri itu, dengan kompaknya sama sama merayap turun sampai ke samping pinggangku, lalu merayap lagi ke belakang, meraba bongkahan sepasang pantatku yang masih terbungkus celana dalam dan stockingku ini.
“Non… rasanya, celana yang non pakai ini ketat sekali ya?” tanya pak Sigit dengan heran. “Bahannya juga tipis dan halus sekali, seperti… stocking! Apa non hanya pakai stocking?”
“Iya pak, ini memang stocking…” jawabku dengan sedikit malu. “Tapi… Eliza masih pakai celana dalam kok.”
“Oh Tuhan… kalau saja bapak masih bisa melihat…” keluh pak Sigit selagi kedua tangannya itu mulai meraba raba kedua pahaku. “Apa warnanya stocking ini?”
“Warna kulit pak… jadi nggak terlalu kentara kalau Eliza lagi pakai stocking… ssshh…” jawabanku terhenti karena aku harus merintih akibat ulah pak Sigit yang tetap sibuk dengan kedua pahaku.
Pak Sigit tak berkata apa apa lagi, tiba tiba ia sudah merayapkan tangannya ke bagian atas tubuhku, kembali ke belakang punggungku. Sesaat kemudian aku merasakan pak Sigit mencoba membuka kaitan tali bra yang kukenakan ini. Jantungku berdebar kencang menyadari diriku akan ditelanjangi oleh pak Sigit, namun walau sudah berusaha cukup lama, ternyata ia tak segera berhasil melepaskan kaitan itu, hingga aku tersenyum geli.
“Pak, Eliza bukain deh,” kataku pelan.
“Sambil ciuman sama bapak ya non,” kata pak Sigit yang lalu segera merayapkan tangannya ke atas mencari kedua pipiku, lalu ia mengarahkan kepalaku hingga wajah kami saling berhadapan, dan aku belum sempat menjawab ketika pak Sigit sudah memagut bibirku dengan ganas.
“Mmmh…” aku merintih tertahan sambil memejamkan mataku.
Dalam keadaan terbakar gairah, aku membalas pagutan pak Sigit yang sudah kembali memeluk pinggangku. Selagi kami saling berpagut, aku tak lupa untuk melepaskan kaitan tali bra di belakang punggungku ini, dan aku sengaja menyentuhkan bra ini ke tangan pak Sigit dengan perlahan sebelum kujatuhkan ke lantai.
Hasilnya, pak Sigit langsung menarik tubuhku dan mendekap erat, sementara pagutannya pada bibirku ini jadi semakin ganas. Lidah pak Sigit melesak masuk ke dalam mulutku, mengait dan membelit lidahku, lalu lidah itu tega meninggalkan lidahku sendirian begitu saja. Tanpa bisa kutahan, lidahku sudah terjulur untuk mencari kehangatan di dalam mulut pak Sigit
Tapi akibatnya lidahku malah tertangkap di dalam sana. Pak Sigit mencucup dan menyedot lidahku kuat kuat tanpa belas kasihan. Bahkan aku merasa cukup banyak air ludahku terseruput oleh pak Sigit hingga aku sedikit gelagapan.
Diperlakukan seperti itu, beberapa saat kemudian nafasku mulai sesak. Aku tak bisa mendorong dada pak Sigit, karena tubuh kami melekat seperti ini. Maka aku berusaha menekan nekan kedua lengan pak Sigit, sebelum akhirnya ia sadar dan melepaskan pagutannya pada bibirku.
Aku sampai terbatuk batuk karena kehabisan nafas, dan selagi aku berusaha mengatur nafasku yang tersengal sengal ini, aku kembali menyandarkan kepalaku pada pundak kiri pak Sigit.
“Non… bapak lepasin stockingnya ya?” desah pak Sigit sambil menghirupi rambutku.
“Mmm…” aku mengguman pelan sambil menganggukkan kepalaku.
Pak Sigit melepaskan tubuhku dari pelukannya, lalu berjongkok dan mulai mencoba menarik turun stockingku ini. Sebenarnya aku sedikit takut kalau pak Sigit akan merobek stockingku, tapi karena hal itu ternyata dilakukannya dengan perlahan dan hati hati, aku diam saja walaupun jantungku terus berdebar kencang menyadari aku akan segera telanjang bulat di hadapan pak Sigit.
Beberapa saat kemudian, hanya celana dalamku saja yang masih melekat pada tubuhku. Dan pak Sigit sudah mulai meraba raba seluruh bagian celana dalamku ini, seolah ia sedang berusaha menggambarkan tentang bentuk celana dalam yang kukenakan ini.
Tapi akibatnya aku harus menggigit bibir, karena semua rabaan itu membuat gairahku terasa makin menyiksa. Apalagi ketika jari jari tangan pak Sigit itu mulai menari nari pada bagian depan celana dalamku. Getaran halus menjalari seluruh tubuhku, dan aku merasakan denyutan yang nikmat di dalam liang vaginaku ini. Kedua pahaku kurapatkan hingga jari tangan pak Sigit terjepit di antara pahaku.
“Pak Sigit…” aku merengek ketika aku udah tak tahan dengan siksaan ini.
“Iya non?” tanya pak Sigit dengan lagak pilon.
“Nggh…” aku melenguh tanpa menjawab karena pak Sigit justru menekan nekan, menggoda bibir vaginaku yang berada di balik celana dalamku ini.
“Kenapa non?” pak Sigit mengulangi pertanyaannya.
“Ngg… nggak apa apa kok,” jawabku dengan mendongkol, namun nafasku makin memburu dan pandangan mataku jadi semakin redup.
“Kalau gitu, ini bapak buka aja ya non?” tanya pak Sigit sambil menarik narik celana dalamku.
“Mmm…” aku malas menjawab, karena toh apapun yang jadi jawabanku, hasilnya akan sama saja.
Sesaat kemudian pak Sigit segera melucuti satu satunya pakaian dalam yang masih melekat pada tubuhku ini. Kini aku sudah telanjang bulat, dan tiba tiba pak Sigit menubrukku dan membaringkan tubuhku ke lantai.
“Pak, sebentar dong,” aku memprotes. “Masa bapak tega biarin Eliza tidur di lantai yang dingin gini? Nanti Eliza kan sakit?”
“Jadi gimana non?” tanya pak Sigit yang kelihatan sudah tak sabar lagi.
“Ya di situ aja,” kataku sambil menunjuk sofa itu. “Di sofa kan masih lebih baik.”
“Waduh, non Eliza lupa ya? Bapak kan nggak bisa lihat?” pak Sigit balik memprotes.
“Eh iya. Maap, lupa,” kataku dengan sedikit merasa bersalah. “Ya udah, abis ini Eliza anterin pak Sigit ke sana. Tapi tolong bantuin Eliza bangun dong?”
“Beres non,” kata pak Sigit sambil mengulurkan tangannya, dan begitu aku menyambut tangan itu, ia segera menarikku hingga aku berdiri di hadapannya.
Lalu dengan masih berpegangan tangan, aku melangkah mundur dan membimbing pak Sigit menuju ke sofa. Tiba tiba aku teringat baju pak Sigit yang tadi ketumpahan air minum. Tentu baju itu masih sedikit basah.
“Pak, bajunya nggak dilepas saja?” tanyaku setelah kami sudah sampai di depan sofa.
“Oh iya non… iya iya,” kata pak Sigit.
Selagi pak Sigit buru buru melepas kemeja batiknya, aku duduk di sofa itu dan berbaring telentang, menyajikan tubuhku yang sudah telanjang bulat ini pada pak Sigit.
Tanpa menunggu lama, pak Sigit yang kini juga telanjang bulat itu naik ke sofa untuk mencari tubuhku. Begitu menemukanku, Pak Sigit langsung menyerbu dan menindihku. Aku hanya bisa merintih manja selagi cumbuan pak Sigit menghujani wajahku, sementara sepasang payudaraku yang malang ini kembali menjadi sasaran remasan kedua tangannya itu.
Setelah menggumuliku sebentar, pak Sigit meraih pergelangan kaki kananku, lalu ia menaikkan kaki kananku ini ke sandaran sofa. Berikutnya pak Sigit memajukan badannya sambil menaruh kaki kiriku di samping pinggangnya, hingga bibir vaginaku kini sudah berhadapan dengan kepala penis pak Sigit.
Aku menggigit bibir saat pak Sigit dengan nafsu yang berkobar mulai menggesek gesekkan ujung senjatanya itu pada bibir vaginaku.
“Non… kok udah basah kayak gini?” guman pak Sigit.
“Mmm… nggak tau deh…” jawabku dengan wajah yang terasa panas, dan aku malu sekali karena aku merasa seperti diingatkan bahwa sejak dari sekolah les balet tadi, aku terus menerus terbakar gairah.
“Bapak masukin sekarang ya?” tanya pak Sigit lagi.
Belum juga aku menjawab, aku merasakan kepala penis itu mulai membelah bibir vaginaku yang tadinya masih terkatup rapat. Jantungku berdegup semakin kencang. Aku merasakan kedua pahaku dan otot perutku di bagian bawah ini sampai sedikit mengejang saat batang penis berukuran raksasa itu mulai memaksa untuk mengisi liang vaginaku.
“Aaw… ngghh…” aku merintih dan melenguh nikmat.
“Aduuh… seretnya nooon…” pak Sigit meracau tak karuan saat penisnya sudah tenggelam dalam liang vaginaku.
Dengan liang vaginaku yang sudah terpaku oleh penis yang begitu keras itu, aku hanya bisa diam menunggu waktu sebelum didera nikmat orgasme. Pak Sigit sendiri sempat mendiamkanku beberapa saat sebelum ia mulai menggerakkan pinggulnya untuk memompa liang vaginaku yang saat ini sebenarnya sedang terasa begitu penuh.
“Mmmh…” aku merintih dan menggeliat keenakan di bawah tindihan pak Sigit.
Selagi kami bersetubuh aku sempat memperhatikan wajah pak Sigit yang kira kira berusia empat puluhan ini. Dan aku mulai mengomel dalam hatiku. Duh, orang ini, mengapa juga ia melepas kacamatanya? Walaupun juga terlihat jelek, rasanya masih mendingan waktu ia memakai kacamata hitam daripada sekarang. Sudah begitu, matanya itu bergerak liar seperti jelalatan, hingga membuatku makin bergidik ngeri.
Dan aku nyaris menjerit ketika tiba tiba wajah itu sudah begitu dekat dengan wajahku, mencari bibirku. Karena aku tak mungkin bisa menghindar, aku memejamkan mataku kuat kuat. Jantungku berdegup kencang saat aku merasakan pagutan pada bibirku.
Sementara itu, tusukan penis pak Sigit pada liang vaginaku makin menghebat. Rasa panas sudah menjalar ke seluruh tubuhku, bahkan rasa ngeri yang sempat menghinggapiku tadi itu sudah lenyap dan berganti dengan gairah yang makin memuncak. Apalagi kemudian pak Sigit menambah semua sensasi yang menyiksaku ini dengan memberikan remasan pada payudara kiriku.
Maka dengan penuh gairah, aku membalas pagutan pak Sigit itu dengan sepenuh hatiku. Aku tak keberatan saat lidah pak Sigit mulai membanjir memasuki mulutku, bahkan hal itu serasa menambah nikmat yang kurasakan saat berpagut bibir dengannya.
“Mmmh… ngghhh…” aku merintih dan melenguh keenakan karena saat ini Pak Sigit sendiri makin bersemangat menghunjam hunjamkan penisnya ke dalam liang vaginaku ini hingga terasa begitu ngilu dan nikmat sekali
Beberapa saat kemudian liang vaginaku berdenyut tak karuan, dan sangking enaknya aku mulai menggelepar hingga pagutan pada bibirku terlepas. Tubuhku mengejang hebat, kedua kakiku melejang tak karuan. Perutku sampai terangkat saat tubuhku tersentak sentak diterjang badai orgasme.
“Aaah… angghkk…” aku mendongak tak kuasa menahan nikmat, aku meremaskan telapak tangan kananku ini sekenanya ke sofa, sedangkan telapak tangan kiriku ini kutekankan di bagian bawah perutku.
Sesaat kemudian tubuhku seperti kehilangan tenaga, dan aku cuma bisa terbaring pasrah dengan tubuh yang sesekali tersentak saat pak Sigit masih terus menggenjot liang vaginaku.
“Kenapa non?” tanya pak Sigit di antara dengusan nafasnya yang memburu.
“Mmm… enak…” aku mengguman pelan.
“Nanti bapak keluarin di dalam sini ya non?” tanya pak Sigit dengan bernafsu. “Pasti lebih enak lagi.”.
“Terserah…” aku tidak membantah.
Dengan penuh semangat pak Sigit terus menggagahiku, hingga aku kembali tersiksa oleh rasa ngilu yang begitu nikmat pada liang vaginaku ini. Walaupun nafasku kembali tersengal sengal akibat gairahku terus terbakar, tapi saat ini aku sudah terlalu lemas untuk menggeliat keenakan.
“Non, gantian bapak yang tiduran ya?” tiba tiba pak Sigit bertanya dan ia menghentikan gerakannya.
“Mmmh… Eliza udah capek pak,” aku merintih pelan mencoba menolak.
“Nanti kan bapak pijitin,” pak Sigit memaksa.
Dengan malas aku mencoba berdiri, tapi aku lupa sama sekali kalau penis pak Sigit masih bersarang di dalam liang vaginaku. Akibatnya saat aku sudah hampir dalam posisi duduk, liang vaginaku teraduk dengan sukses, hingga aku melenguh keenakan dan kembali roboh ke sofa.
“Pak… lepasin dulu dong burungnya,” aku mengomel pada pak Sigit dalam keadaaan terangsang.
“Waduh, tadi bapak kira non nggak mau,” kata pak Sigit membela diri. “Sebentar non.”
“Ngghh…” aku kembali melenguh saat kepala penis itu tertarik keluar dengan perlahan dan akhirnya lepas dari liang vaginaku..
“Kenapa non?” tanya pak Sigit yang menyeringai lebar, sepertinya ia senang telah menaklukanku seperti ini.
“Nggak… nggak apa apa,” aku menjawab dengan hati yang mendongkol.
Aku kembali mencoba berdiri, lalu pak Sigit yang mungkin merasakan kalau aku sudah meninggalkan sofa, dengan santainya menggantikan posisiku dan berbaring telentang di atas sofa itu.
“Ayo non,” kata pak Sigit yang menungguku dengan penisnya yang tegak mengacung.
Diperlakukan seperti layaknya seorang budak seks seperti ini, entah kenapa gairahku malah semakin terbakar. Tanpa menjawab ataupun membantah, aku naik ke sofa dan bersiap untuk menunggangi penis pak Sigit itu, walaupun tubuhku sudah terasa seperti remuk.
“Iya… gitu… aah…” pak Sigit merintih dan meracau saat aku memasangkan kepala penisnya itu pada liang vaginaku.
“Ngghh…” ganti aku yang melenguh nikmat selagi pak Sigit terus merintih, saat aku menurunkan badanku dan memaksa liang vaginaku untuk menelan penis itu.
Pak Sigit tak membiarkanku diam berlama lama, karena sesaat kemudian satu sentakan dari tubuhnya membuat kedua mataku terbeliak karena liang vaginaku serasa dipaku dari bawah. Aku kembali melenguh dan kepalaku terdongak pasrah, seiring dengan tertekuknya punggungku ke belakang.
Namun kedua tanganku ini ditangkap dan ditarik oleh pak Sigit ke arahnya. Maka tubuhku kembali maju ke depan hinga rebah dan menindih tubuhnya. Dan pak Sigit tak membiarkan bibirku menganggur, ia segera mendekap tubuhku dan mencari bibirku lagi. Saat ini kalaupun aku ingin, tak ada yang bisa kulakukan untuk mengelak, dan akhirnya pak Sigit berhasil menemukan bibirku.
“Mmmh… mmmhhk…” aku merintih dan melenguh karena pak Sigit sudah memagut bibirku sambil mulai menggerakkan pinggulnya dan memompa liang vaginaku.
Tak ada yang bisa kulakukan selain menggeliat pasrah saat tubuhku tersentak sentak dipermainkan pak Sigit. Rintihanku yang tertahan ini membuat gairahku makin bergolak, apalagi sekarang ini liang vaginaku terasa enak sekali.
Semua itu masih ditambah dengan ganasnya pagutan bibir pak Sigit. Lidahnya menyeruak masuk ke dalam mulutku, dan ia menyedot semua air ludahku dengan sekuat kuatnya. Pandanganku sudah meredup, kedua tanganku tergeletak lemas di samping kepala pak Sigit.
Saat ini pak Sigit sepertinya benar benar ingin menikmati diriku sepenuhnya. Ia memeluk pinggangku dan menghunjam hunjamkan penisnya sepenuh tenaga, sambil meminum habis air ludahku. Akhirnya aku memejamkan mataku, pasrah membiarkan diriku menjadi mainan pak Sigit. Pelan tapi pasti, nafasku jadi semakin tak beraturan. Dipompa habis habisan seperti itu, liang vaginaku berdenyut tak karuan, dan dengan cepat aku kembali menyerah dilanda orgasme.
“Aah… aduh paaak…” aku menjerit keenakan karena pak Sigit terus memompa liang vaginaku tanpa belas kasihan. Ia seperti tak perduli betapa aku sedang menggeliat tak karuan karena tubuhku luluh lantak diterjang badai orgasme.
“Nggghh…” aku hanya bisa melenguh lenguh, ketika cairan cintaku serasa terus membanjir. Tubuhku mengejang ngejang susul menyusul, sedangkan kedua betisku melejang tak karuan. Hampir semenit aku tersiksa dalam kenikmatan ini, sebelum akhirnya tubuhku ambruk menindih pak Sigit.
Saat ini aku sudah malas untuk mengatakan sesuatu. Nafasku tinggal satu satu, dan seluruh sambungan tulang di tubuhku ini serasa terlepas. Keringatku sudah membanjir deras, aku bahkan sudah tak merasakan dinginnya AC di ruangan ini.
“Capek ya non?” tanya pak Sigit.
“Mmm…” aku hanya mengguman pelan.
“Bapak terusin ya,” tanya pak Sigit lagi.
“Terserah…” aku menjawab dengan lemah.
Dan pak Sigit kembali menggerak gerakkan pinggulnya. Dalam hati aku bertanya tanya, apakah pak Sigit ini memang seperti Wawan yang bisa memaksaku orgasme berulang ulang sebelum ia sendiri mencapai kepuasannya?
Yang jelas penis itu tetap keras seperti tadi, dan akibatnya gairahku yang memang belum turun ini kembali terbakar. Aku merintih dan melenguh, namun aku sudah tak bisa berbuat apa apa lagi untuk menikmati semua ini. Tak ada tenaga yang bisa kupakai untuk sekedar meremaskan jemari tanganku pada sofa ini, apalagi untuk menggeliat keenakan seperti tadi.
Dengusan nafas pak Sigit makin jelas terdengar. Ow, akhirnya… aku merasa sedikit lega karena aku sudah merasa capek sekali, dan aku berharap pak Sigit sudah berejakulasi sebelum aku harus orgasme lagi. Tapi celakanya, pak Sigit makin bersemangat menggenjot liang vaginaku. Sodokan demi sodokan yang kurasakan pada liang vaginaku ini makin menghebat seiring dengan dengusan nafas pak Sigit yang makin tak karuan.
“Aaah… aduh paak…”
“Kenapa nooon… ooooh…”
“Nggggh… enaak… rasanya masuk semuaa… ngghhh…”
“Suka ya noon… errgh…”
“Iyaah…”
Setelah sempat saling meracau, tiba tiba pak Sigit mengangkat dadanya hingga tubuhku yang menindihnya ini juga sedikit terangkat. Akibatnya penis pak Sigit melesak semakin dalam seakan hendak mencari dinding rahimku.
“Paak…” aku hanya bisa merintih sangking enaknya.
Jawaban pak Sigit hanyalah dengusan dan geraman, selagi ia melakukan gerakan seperti sit up. Aku semakin menderita, karena hunjaman demi hunjaman penis pak Sigit pada liang vaginaku ini jadi semakin terasa nikmat.
“Ngggh… ampun paaak…” aku meracau di antara lenguhanku.
Dan seperti tadi, pak Sigit hanya menjawab dengan dengusan dan geramannya. Pandanganku mulai meredup, rasa panas kembali menjalari tubuhku. Aku menyandarkan kepalaku di pundak kiri pak Sigit dengan pasrah. Aku merasakan air ludahku mengalir dari sudut kiri bibirku, perlahan membasahi bagian daguku.
Dalam keadaan hancur hancuran seperti ini, aku masih disiksa dengan rasa ngilu yang amat nikmat pada liang vaginaku. Akhirnya aku mendapatkan orgasme lagi untuk yang ke sekian kalinya. Aku hanya bisa merintih dan melenguh, selagi tubuhku tersentak sentak dalam pelukan pak Sigit. Seluruh otot perutku terasa mengejang, dan kedua betisku terus melejang tak karuan.
“Aduh… memeknya non Elizaa… enaknyaa…” racau pak Sigit. “Burung bapak seperti diurut urut di dalam sini”
“Nggghh…” aku hanya bisa melenguh keenakan.
Tiba tiba pak Sigit menghentikan gerakan sit up yang sejak tadi dilakukannya itu, saat penisnya terhunjam begitu dalam pada liang vaginaku.
“Eeerrgh… nooon… bapak keluarin… di dalam yaaah…”
“Iyaa paak…”
“Kalau non hamil…”
“Biar ajaaah…”
“Huu… huoooh…” pak Sigit melolong panjang, tubuhnya berkelojotan, dan aku merasakan cairan hangat menyemprot liang vaginaku sampai beberapa kali.
Setelah tertekuk beberapa saat, tubuhku ambruk menindih pak Sigit. Aku menyembunyikan wajahku di pundak kanan pak Sigit, sementara kedua tanganku tergeletak lemas di samping kiri dan kanan begitu saja. Kini tinggal desah nafas kami berdua yang bersahut sahutan memenuhi ruangan ini.
“Udah keluar non…” kata pak Sigit dengan suara lemas
“Mmm…” aku mengguman tanpa daya, karena tenagaku serasa tersedot habis, bahkan aku terlalu lemas untuk sekedar melepaskan penis pak Sigit yang masih asyik mengisi liang vaginaku ini.
Sudah sekitar setengah jam ini aku harus rela menjadi budak seks pak Sigit. Rasa capek yang hari ini sempat berkurang, kini kembali mendera tubuhku, terutama pada bagian betisku yang kembali terasa begitu pegal. Aku jadi teringat dengan tawaran pijat pak Sigit yang tadi.
“Pak Sigit… ayo tanggung jawab!” aku menagih janji pak Sigit yang kini memeluk tubuhku dan sibuk membelai rambutku. “Tadi pak Sigit bilang mau mijitin Eliza untuk ngilangin capek. Tapi sekarang Eliza malah jadi capek gini gara gara pak Sigit.”
“Oalah, tak kiro tanggung jawab ngawinin non mari metu nang njero maeng,” kata pak Sigit sambil tertawa. “Tiwas bapak wis seneng non.”
“Yee… maunya!” aku mencibir sambil terus berusaha mengatur nafasku.
(Untuk yang tak mengerti, pak Sigit mengatakan bahwa dia mengira tanggung jawab yang kumaksud adalah mengawiniku, karena tadi ia sudah mengeluarkan spermanya di dalam liang vaginaku. Dan dia sudah terlanjur senang : p)
“Oh iya, non Eliza punya minyak tawon?” tanya pak Sigit.
“Nggak punya sih,” jawabku heran. “Memangnya buat apa pak?”
“Supaya lebih licin waktu mijat non,” jawab pak Sigit. “Jadi kulitnya non nggak sampai sakit kalau kena gesek jari tangan bapak.”
Tiba tiba aku teringat dengan Vaseline body lotion yang ada di dalam tasku.
“Mmm… Eliza punya body lotion,” kataku pelan. “Kalau pakai itu boleh nggak?”
“Kalau bisa bikin kulit non licin, boleh saja non,” jawab pak Sigit.
“Eliza ambilin bentar ya,” kataku pelan.
Aku mengangkat tubuhku yang masih menindih pak Sigit ini, hingga penis yang sudah lunak dan makin mengecil itu terlepas dari jepitan liang vaginaku. Dan hal itu membuatku menggigit bibir menahan nikmat. Dengan sedikit tertatih, aku melangkah ke arah tasku, untuk mengambil sebotol Vaseline body lotion berukuran kecil, yang memang selalu kutaruh di dalam situ.
“Ini pak,” kataku sambil memberikan botol Vaselineku yang tutupnya sudah kubuka.
“Oke non, ayo bapak pijitin,” kata pak Sigit. “Non Eliza tidur di sofa dulu, tengkurap ya.”
Dengan mengumpulkan sisa tenagaku, aku melangkah ke sofa untuk berbaring tengkurap di atasnya, setelah itu aku mencari posisi yang paling nyaman.
“Pak Sigit,” kataku pelan. “Tolong pijitin betis Eliza dulu yah?”
“Beres non,” jawab pak Sigit. “Tapi sekalian saja, bapak mulai dari telapak kaki dulu ya?”
“Mmm… terserah deh,” jawabku pasrah.
Sesaat kemudian pak Sigit mulai memijit telapak kaki kananku. Aku mendesis pelan karena rasanya sedikit sakit. Tapi setelah hampir lima menit, entah aku yang mulai terbiasa atau pak Sigit mengurangi tekanan dari pijitan tangannya, perlahan aku mulai bisa menikmati pijatan pak Sigit. Mungkin juga karena pak Sigit sudah mulai menggunakan Vaseline untuk melicinkan kulit tubuhku yang akan dipijit.
Dan harus kuakui, pijitan pak Sigit membuat rasa pegal yang mendera betisku kananku itu sudah berkurang banyak.
“Enak kan non?” tanya pak Sigit.
“Iya…” jawabku pelan sambil tetap memejamkan mataku.
Pak Sigit meneruskan pijitan itu sampai ke belakang pahaku, dan makin terbuai saja. Rasanya memang nikmat sekali, membuatku ingin kaki kiriku juga mendapat pijitan seperti ini sekarang juga. Dan seperti tahu akan harapanku, tak lama setelah itu pak Sigit beralih ke telapak kaki kiriku. Sama seperti tadi, dari awalnya aku merasa sedikit sakit, lama lama pijitan itu terasa nikmat.
Dan aku berpikir pijitan ini akan berlangsung wajar saja, sampai ketika pak Sigit selesai memijit paha kiriku dan beralih ke sepasang bongkahan pantatku. Ketika pjitan sampai ke arah bawah di antara kedua pahaku, aku tahu pak Sigit sengaja menyentuhkan jari jarinya sampai beberapa kali pada bibir vaginaku.
“Mmmh…” aku merintih pelan.
“Kenapa non?” tanya pak Sigit sambil menghentikan pijitannya.
“Jangan be…” aku tercekat sejenak. “Jangan begitu pak.”
Hampir saja aku berkata jangan berhenti.
“Begitu gimana ya non?” tanya pak Sigit yang kini malah meneruskan kenakalannya.
“Sssh…” aku mendesah. “Ya itu pak…”
“Ini kenapa non? Enak?” tanya pak Sigit yang terus menggoda bibir vaginaku.
“Iya… tapi…” aku terkejut dengan jawabanku tadi dan wajahku terasa panas sekali.
Pak Sigit tertawa panjang, dan aku mulai menderita akibat sentuhan sentuhan nakal pada bibir vaginaku itu.
“Mmmhh…” tiba tiba aku merintih panjang karena salah satu jari pak Sigit dengan perlahan melesak masuk mengisi liang vaginaku, dan dengan cepat gairahku terbakar lagi ketika jari yang nakal itu mengaduk aduk vaginaku sampai kembali terasa ngilu.
“Lho pak… katanya… ngghh… mau mijitin??” aku memprotes di antara lenguhanku.
“Ya ini kan lagi mijitin, non,” jawab pak Sigit dan tangan satunya mulai memijit belakang pinggangku.
“Tapi… itu…” aku merengek tak tahu harus berkata apa. “Aaah…”
Jari pak Sigit menusuk begitu dalam, lalu mengaduk dengan tanpa belas kasihan. Aku merintih keenakan, kedua tanganku kugenggamkan pada dudukan tangan di sofa ini. Rasa ngilu yang mendera liang vaginaku makin menjadi jadi, dan aku mulai menggeliat keenakan, ketika jari tangan itu tiba tiba meninggalkan liang vaginaku begitu saja.
“Ooh…” aku mengeluh kecewa, tapi pak Sigit pura pura tidak tahu dan ia meneruskan pijitannya pada belakang pinggangku, padahal nafasku masih tersengal sengal akibat ulah jari tangannya itu tadi.
Aku jadi teringat dengan perlakuan pak Basyir padaku sewaktu di villa dulu. Dengan menahan rasa kecewa yang bercampur dengan gairah, aku membiarkan pak Sigit terus memijit tubuhku. Sulit sekali memadamkan gairahku ini, terutama ketika pak Sigit memijit bagian pinggir punggungku.
Aku tahu pak Sigit memang beberapa kali dengan sengaja menyentuhkan ujung jari jari tangannya pada payudaraku. Namun kali ini aku tak berkata apa apa, karena aku tak mau membuat pak Sigit malah makin bersemangat menggodaku seperti tadi. Aku hanya bisa menggigit bibir menahan gairahku dan kembali meremaskan kedua telapak tanganku sekenanya pada sofa ini.
“Ayo non, berbaring telentang,” kata pak Sigit setelah cukup lama memijit punggungku.
Jantungku berdegup kencang. Tadi waktu masih tengkurap saja, pak Sigit sudah mencuri curi kesempatan untuk membuatku terangsang, apalagi kalau aku harus telentang. Aku tahu kalau sebentar lagi tubuhku akan dijarah habis oleh pak Sigit, tapi aku tak membantah, dan perlahan aku membalik badanku, hingga sekarang aku sudah tidur telentang di sofa ini.
Setelah aku tidak bergerak gerak lagi, pak Sgiit mulai mencari kakiku. Ia menemukan pergelangan kaki kiriku, dan tangannya terus merayap ke telapak kakiku. Sesaat kemudian aku mulai merasakan pijitan di telapak kaki kiriku itu, dan seperti tadi, pijitan itu terus merayap hingga ke paha kiriku ini.
Ketika kedua pahaku sudah selesai dipijit, jantungku berdegup kencang. Kenakalan apa lagi yang akan dilakukan pak Sigit terhadap tubuhku?
Ternyata dugaanku meleset, karena pak Sigit malah mencari tangan kananku. Lalu ia memijit dengan lembut, mulai dari lengan atas sampai ke lengan bawah.
“Tangannya non Eliza ini halus sekali ya,” kata pak Sigit sambil membelai punggung telapak tanganku.
“Masa sih pak?” kataku sambil tersenyum kecil.
“Iya non. Bapak yakin yang punya ini pasti nona yang cantik sekali,” kata pak Sigit lagi.
“Gombal deh,” kataku dengan menahan geli. “Memang ada hubungannya?”
“Ya ada non,” jawab pak Sigit sambil meraba wajahku. “Kulit muka non ini juga sehalus tangannya non ini, jadi bapak nggak mungkin salah!”
“Ah… bapak bisa aja,” kataku dengan hati senang walaupun aku tahu pak Sigit sedang menggombal.
Berikutnya pak Sigit ganti memijit seluruh tangan kiriku. Aku benar benar terbuai, rasanya nyaman sekali. Kalau saja aku memikirkan keadaan tubuhku yang telanjang bulat seperti ini, aku pasti menuruti rasa kantukku dan tidur begitu saja.
Setelah kedua tanganku selesai, pak Sigit mulai memijit kedua pundakku hingga ke leher. Beberapa kali aku merintih nyaman, menikmati pijitan pak Sigit ini. Namun ketika pijitan itu beralih ke bagian dadaku, keadaanku kembali kacau karena terbakar gairah.
“Eh… sssh… mmmhh…” aku mulai sibuk mendesah dan merintih.
Kedua payudaraku yang malang ini kembali menjadi mainan pak Sigit. Rasanya hanya sebentar saja ia benar benar memijit, lalu berikutnya aku hanya merasakan rabaan dan belaian lembut pada kedua payudaraku ini Sudah gitu, nih orang pakai senyum senyum lagi, membuat hatiku makin mendongkol.
Tapi entah kenapa aku tak tega juga untuk menegur pak Sigit. Mungkin karena aku merasa iba dengan keadaan matanya yang buta. Maka aku hanya diam saja, membiarkan pak Sigit yang sekarang ini duduk di samping kiriku untuk berbuat sesuka hatinya pada kedua payudaraku ini.
Ketika pak Sigit mulai menurunkan kepalanya, aku sudah tahu apa yang akan ia perbuat. Jantungku berdegup kencang dan nafasku mulai memburu. Kedua mataku kupejamkan dan jemari tanganku kuremaskan pada sofa ini.
“Ssshh…” aku mendesah nikmat ketika ia sudah berhasil menemukan puting payudara kiriku ini dan memagut dengan ganas.
“Eh… sakit pak…” aku merintih ketika tiba tiba pak Sigit beberapa kali meremaskan tangan kanannya kuat kuat pada payudara kiriku selagi ia mencucup putingku ini.
“Maaf non, bapak lagi pingin nyusu,” kata pak Sigit. “Kok nggak bisa keluar ya susunya non? Padahal bapak pingin sekali minum susunya non Eliza.”
“Ngghh…” aku melenguh dan menggeliat pelan. “Ya mana bisa pak… Eliza kan belum punya bayi… aduuh…”
“Masa nggak bisa sih non?” tanya pak Sigit dengan nada tak percaya, dan ia kembali mencucup puting payudaraku kuat kuat.
“Aaaww…” aku merintih lemah.
“Kalau gitu bapak coba satunya aja,” kata pak Sigit.
“Eh… pak… jangan… ooooh…” aku kembali merintih ketika ganti puting payudara kananku yang menjadi korban pagutan bibir pak Sigit.
Setelah hampir setengah menit pak Sigit mencoba meminum susu dari puting payudara kananku ini, dan tentu saja tak berhasil, barulah ia menyerah.
“Wah, kok nggak bisa ya?” keluh pak Sigit.
“Ya nggak bisa lah pak,” aku menggerutu dengan hati mendongkol. “Kan tadi Eliza udah bilang kalau belum punya bayi. Lagian, memangnya Eliza ini sapi ya pakai diperas seperti itu??”
“Aduh maaf ya non,” kata pak Sigit. “Abisnya bapak tadi kepingin sekali.”
Baru saja minta maaf, pak Sigit sudah kembali mengulum puting payudara kiriku. Bahkan ia membelai dan meremasi payudara kananku ini dengan kedua tangannya. Sekali ini aku hanya bisa memejamkan mataku, merintih dan menggeliat pasrah.
Ketika akhirnya pak Sigit puas menjadikan kedua payudaraku ini sebagai mainannya, ia beralih memijat perutku dengan lembut. Rasanya nyaman sekali, hingga walaupun gairahku belum sepenuhnya reda akibat ulah pak Sigit tadi, kini aku kembali mengantuk. Aku terus memejamkan mataku dan merintih perlahan, menikmati pijatan pak Sigit.
Tapi lagi lagi hal itu cuma berlangsung sebentar. Ketika pijatan itu mengarah makin ke bawah perutku, aku mulai sibuk mendesah, karena bibir vaginaku sudah menjadi korban kenakalan jemari pak Sigit.
“Mmhh…” aku merintih perlahan. “Pak… tadi kan udah…”
“Udah apa non?” jawab pak Sigit dan ia malah makin bersemangat menggoda bibir vaginaku dengan jari jarinya itu.
Aku menggeliat pelan, rasa panas kembali menjalari seluruh tubuhku. Dan ketika jemari itu mengintip liang vaginaku beberapa kali, jantungku berdegup kencang, karena aku sudah tahu apa yang akan terjadi pada liang vaginaku ini.
Dan memang beberapa saat kemudian, salah satu jari tangan pak Sigit tenggelam ke dalam liang vaginaku.
“Aduh… pak… kok dimasukin lagi sih…” aku merengek.
“Abisnya hangat hangat enak non,” jawab pak Sigit.
“Ngaco ah… aaah…” aku tak bisa mengomel lebih lama karena jari jari itu mulai bergerak mengaduk liang vaginaku.
Makin lama gerakan jari pak Sigit di dalam sana menjadi semakin liar, membuatku menggelepar dan menggeliat keenakan.
“Pak… udaah…” aku meracau di tengah penderitaanku ini.
Dan jawaban yang kuterima dari pak Sigit membuat kedua mataku terbeliak. Tanpa belas kasihan pak Sigit malah memasukkan satu jarinya yang lain, hingga liang vaginaku harus menelan dua jari tangannya sekaligus. Kedua kakiku mengejang sesaat, aku hanya bisa menggeleng gelengkan kepalaku kuat kuat saat dua jari itu mulai mengaduk aduk liang vaginaku.
“Ngggh… ampun paak…” aku melenguh keenakan saat cairan cintaku harus kembali membanjir.
Dengusan nafas pak Sigit mengiringi orgasme yang menderaku. Ia begitu bersemangat mengaduk aduk liang vaginaku. Akibatnya tubuhku mengejang tak karuan, dan aku hanya bisa melenguh keenakan karena didera orgasme yang datang susul menyusul. Seluruh tubuhku terus tersentak hebat, dan tenggorokanku serasa tercekat hingga aku sulit sekali bernafas.
Aku makin tersiksa karena otot perutku ini mengejang dan mengejang. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Entah sudah berapa banyak cairan cinta yang mengalir keluar dari liang vaginaku yang terasa ngilu tak karuan ini.
“Nggh…” aku melenguh lemah dan tubuhku tergeletak pasrah ketika akhirnya pak Sigit menghentikan adukan kedua jarinya pada liang vaginaku ini.
Nafasku tersengal sengal tak karuan. Denyutan demi denyutan otot liang vaginaku masih begitu terasa. Sesekali tubuhku tersentak kecil menikmati sisa orgasmeku. Rasanya lemas sekali, sambungan tulang tulang di tubuhku ini sepertinya sudah terlepas semuanya. Jemari kedua tanganku ini kuremaskan sebisaku pada sofa ini.
Dengusan nafas kami berdua masih cukup keras, ketika tiba tiba aku mendengar suara pak Sigit yang memanggilku.
“Non Eliza?”
“Mmm…”
“Itu… burung bapak bangun lagi.”
“Burung itu kok nakal sekali sih pak?”
“Nggak tau non, tapi bapak jadi kepingin sekali main sama non Eliza lagi.”
“Duh, lagi?”
“Iya non, satu kali iniii aja. Toh abis ini bapak kan belum tentu bisa ketemu non lagi?”
Aku menghela nafas panjang dan membuka mataku untuk melihat penis pak Sigit itu. Ternyata penis itu memang sudah kembali tegak mengacung. Tiba tiba liang vaginaku terasa ngilu ketika aku membayangkan penis itu akan kembali mengisi liang vaginaku ini.
“Mmmh…” aku merintih pelan. “Iya deh.”
Setelah menjawab permintaan pak Sigit, aku pikir ia akan segera menindih tubuhku dan menggenjot liang vaginaku dengan penuh nafsu. Tapi ternyata dugaanku salah. Pak Sigit memang naik ke sofa dan menindih tubuhku, namun ia hanya menempelkan kepala penisnya pada bibir vaginaku, sementara ia mencari wajahku, lalu mencumbuiku dengan mesra.
Diperlakukan dengan lembut seperti ini, aku jadi merasa senang. Maka aku memeluk punggung pak Sigit dan balas mencumbu wajahnya dengan sepenuh hatiku. Gairahku naik dengan cepat dan jantungku berdegup kencang, apalagi saat aku merasakan kepala penis pak Sigit itu bermanja manja pada bibir vaginaku.
Makin lama, aku merasa pak Sigit makin bernafsu mencumbui wajahku. Bahkan kemudian ia mencari bibirku, lalu memagut dengan ganas. Aku sedikit gelagapan, namun berikutnya aku bisa menguasai diri, bahkan aku mulai balas memagut bibir pak Sigit.
“Mmmh… mmmm…” aku merintih dalam keadaan terbakar gairah.
Tiba tiba pak Sigit menghentikan pagutannya. Lalu ia menarik tubuhku hingga aku terduduk di hadapannya.
“Non Eliza, bapak haus,” kata pak Sigit.
“Eh? Pak Sigit mau minum?” tanyaku ragu. Air minum di kedua gelas yang kubawa tadi itu kan sudah habis.
“Iya non,” jawab pak Sigit. “Mau minum air ludahnya non. Boleh nggak non?”
Mendengar permintaan pak Sigit ini, perasaanku benar benar tersengat. Aku menundukkan wajahku sejenak, namun kemudian dengan penuh gairah aku memeluk tubuh pak Sigit dan menindihnya. Lalu aku memagut bibir pak Sigit dan melesakkan lidahku ke dalam mulutnya.
Jantungku berdegup kencang sekali saat pak Sigit yang balas memeluk tubuhku ini mulai mengulum lidahku. Aku merasa semua air ludah di lidahku ini diseruput habis olehnya. Ciuman ini benar benar panas dan gairahku makin terbakar saja.
“Mmmhh…” aku merintih manja ketika akhirnya pagutan kami terlepas, dan aku menyembunyikan kepalaku di pundak kiri pak Sigit.
“Non Eliza,” pak Sigit memanggilku.
“Iya…” desahku pelan dengan pandangan yang makin meredup.
“Bapak masih haus,” kata pak Sigit mesra. “Pingin minum lagi. Tapi sambil main ya non?”
Tanpa menjawab, dengan tenaga yang tersisa, aku mengangkat pinggulku sedikit dan menggerakkan tangan kiriku ke tengah tubuhku dan pak Sigit, mencari penisnya yang sudah merindukan liang vaginaku ini. Setelah aku menemukannya, aku memasangkan kepala penis itu pada bibir vaginaku.
“Ngggh…” aku melenguh nikmat ketika pinggulku ini kuturunkan hingga penis pak Sigit kembali mengisi liang vaginaku.
“Ooooh…” rintih pak Sigit. “Enaknya noon…”
Dan aku tidak melupakan permintaan pak Sigit. Sesaat kemudian aku mengangkat wajahku yang sejak tadi kusandarkan di pundaknya, lalu bibir kami kembali saling berpagut. Dengan penuh penyerahan, aku melolohkan air ludahku ke dalam mulut pak Sigit selagi ia mulai menggenjot liang vaginaku.
Rintihan dan desahan kami berdua saling bersahutan memenuhi ruangan ini. Kami bersetubuh dengan panas, gerakan kami berdua makin liar. Dan aku melenguh tertahan saat pak Sigit kembali menyiksaku dengan gerakan sit up seperti tadi. Hunjaman penis yang berukuran raksasa itu jadi semakin terasa, membuatku menggeliat keenakan dalam pelukan pak Sigit.
“Mmmhhh… anggghhkk…” punggungku sampai terdongak ketika aku melenguh sejadi jadinya.
“Enak ya non? Heenggh!” geram pak Sigit.
“Iya… enak…” aku meracau dengan tubuh yang terus menggeliat.
“Kenapa… kok enak non… eeergh…” geram pak Sigit yang mempererat pelukannya pada pinggangku sambil menghunjamkan penisnya dengan begitu dalam pada liang vaginaku ini.
“Aaawww… soalnya burung itu… masuk semuah…” aku terus meracau tak karuan menikmati rasa ngilu yang makin menjadi pada liang vaginaku ini.
Tiba tiba pak Sigit memeluk punggungku, lalu ia beranjak duduk hingga aku juga duduk di hadapannya dengan penisnya yang masih menusuk liang vaginaku. Gerakan pak Sigit itu membuat liang vaginaku teraduk penisnya yang terus berdenyut itu, hingga tubuhku bergetar hebat. Aku memejamkan mataku menikmati semua itu, dan aku terlalu malas untuk mengatupkan bibirku yang masih ternganga ini walaupun aku merasakan air ludahku mulai mengalir dari ujung kiri bibirku.
Dalam posisi duduk seperti ini, pak Sigit menggoyangkan pinggulnya maju mundur, hingga kepalaku terdongak ke belakang saat rasa nikmat yang amat sangat itu mendera liang vaginaku. Aku tak bisa ke mana mana, karena pelukan pak Sigit begitu erat, tapi aku memang tak berniat untuk melepaskan diri, dan dalam keadaan terbakar gairah aku malah balas menggoyangkan pinggulku, hingga liang vaginaku makin teraduk aduk oleh penis pak Sigit.
“Ngggh… ngggghh…” aku melenguh panjang saat aku harus kembali takluk pada terjangan badai orgasme untuk yang ke sekian kalinya ini.
Tubuhku menggeliat hebat. Kepalaku terkulai ke depan, tersandar di pundak kiri pak Sigit. Jemariku kuremaskan pada kulit punggung pak Sigit. Nafasku tersengal tak karuan. Kini aku mulai kelelahan, rasanya aku sudah capek sekali dan mengantuk. Aku tak juga mengatupkan bibirku walaupun aku merasa air ludahku kembali mengalir dari ujung bibir kananku, rasanya saat ini aku begitu lemas untuk melakukan apapun.
Belum juga orgasmeku reda, pak Sigit memajukan badannya dan menindih tubuhku. Aku menggeliat lemah karena penis pak Sigit yang sejak tadi tertanam dalam liang vaginaku ini kembali bergerak mengaduk dan memompa. Aku merintih ldan menggeliat perlahan, namun makin lama rasa ngilu pada liang vaginaku ini semakin menyiksaku.
“Aaaah… paaaak… aduuuh…” akhirnya aku kembali meracau dan sekali ini aku harus menjerit keenakan. “Nggghhh… ampun paaak…”
Tubuhku menggeliat dan mengejang hebat, kedua kakiku melejang lejang tak karuan. Cairan cintaku serasa membanjir begitu banyak. Aku merasa mataku terbuka, tapi aku tak melihat apa apa. Dan aku masih terus dihajar badai orgasme ini ketika pak Sigit mulai mendengus tak karuan.
“Heengggh… enaknya noon…” pak Sigit juga mulai meracau.
Aku sudah tak bisa menanggapi, tubuhku terus tersentak dan nafasku tersengal sengal.
“Eerrghh.. huaaaah…” geram pak Sigit selagi tubuhnya berkelojotan, dan aku kembali merasakan semburan cairan hangat dalam liang vaginaku.
Aku tergeletak lemas di sofa dalam keadaan ditindih pak Sigit, dengan penisnya yang masih mengisi liang vaginaku. Tubuh kami berdua basah oleh keringat, walaupun sebenarnya AC ruangan ini dingin sekali. Sementara itu pak Sigit terus mencumbui wajahku, dan aku hanya memejamkan mataku sambil berusaha mengatur nafasku.
Setelah istirahat beberapa saat lamanya, akhirnya aku merasa tenagaku sedikit pulih.
“Pak Sigit, berat ah,” kataku sambil mencoba mendorong tubuh pak Sigit yang masih enak enakan menindihku.
“Oh iya, maaf non,” kata pak Sigit. “Abis enakan tidur di badannya non daripada di sofa.”
“Yee… Eliza kan bukan kasur,” aku memprotes. “Ayo pak… turun dong.”
Pak Sigit tertawa, lalu ia melepaskan tindihannya hingga penis itu juga ikut tertarik lepas dari liang vaginaku, membuatku sempat mendesis lirih. Lalu ia turun dan duduk di sampingku.
“Pak, liat nih, Eliza capek lagi gara gara bapak,” aku mengeluh pelan. “Tolong pijitin kaki Eliza lagi ya? Tapi jangan pakai gituan lagi pak.”
“Iya non, cuma pijit saja kok,” kata pak Sigit. “Bapak janji.”
Sambil memijit kakiku, pak Sigit mulai mengajak aku mengobrol.
“Non Eliza, kalau piano ini sudah waktunya diservis lagi, non mau nggak, datang lagi untuk nemenin bapak?”
“Mmm… nggak janji deh pak. Lagian, waktu itu kan belum tentu rumah Cie Natalia ini kosong lagi seperti sekarang?”
“Kalau gitu, saya bisa ketemu sama non Eliza lagi nggak?”
“Nggak tau juga sih. Memangnya kenapa pak?”
“Bapak pasti kangen sama non Eliza.”
Aku diam tak tahu harus menjawab apa mendengar kata kata pak Sigit yang terakhir ini. Pak Sigit sendiri juga diam sambil meneruskan pijitannya pada kedua betisku. Sekitar lima menit kemudian, rasa pegal pada betisku sudah berkurang banyak.
“Udah pak, pegalnya udah hilang. Terima kasih,” kataku pada pak Sigit.
“Iya non,” kata pak Sigit dengan nada sedih.
“Kok sedih gitu sih pak?” tanyaku sambil beranjak duduk, dan dengan iba aku memandang pak Sigit.
“Sungguh bapak berharap bisa ketemu non lagi,” jawab pak Sigit. “Dari semua langganan bapak, cuma non Eliza yang memperlakukan bapak sebaik ini.”
Aku sedikit terharu mendengar kata kata pak Sigit. Dan aku langsung membantu pak Sigit yang meraba raba lantai mencari pakaiannya. Ketika aku memakaikan celana dalam pak Sigit, aku melihat sisa cairan putih di ujung kepala penis pak Sigit, sedangkan batang penisnya itu basah mengkilat, pasti oleh cairan cintaku. Dan tiba tiba saja gairahku kembali bangkit hingga nafasku jadi sedikit memburu.
“Pak Sigit,” aku berkata pelan sambil membelai penis pak Sigit. “Eliza boleh bersihkan burung ini sebelum bapak pulang?”
“Boleh non Eliza,” jawab pak Sigit cepat. “Terima kasih non yang baik.”
Tanpa berkata apa apa lagi aku memajukan wajahku hingga kepala penis itu berada dalam kuluman mulutku. Penis itu sudah tak sekeras tadi. Perlahan aku menggunakan lidahku untuk menjilat bagian ujungnya, lalu aku mencucup kepala penis itu dan menyeruput semua sisa sperma pak Sigit yang tadi disemprotkan ke dalam liang vaginaku.
“Oooh…” pak Sigit mulai meracau. “Katanya jangan pakai gituan… oooh… terus noon…”
Mendengar racauan itu, aku menahan geli. Tapi aku terus membersihkan kepala penis itu dengan lidahku. Setelah kurasa cukup, aku memajukan wajahku lagi, lalu mengulum cairan cintaku sendiri yang membasahi penis itu. Batang penis itu kujilat memutar, hingga pemiliknya berkelojotan. Reflek aku memeluk kedua paha pak Sigit dengan kedua tanganku, karena aku tak ingin penis itu sampai lepas dari kulumanku sebelum aku selesai membersihkan semua cairan cintaku yang menempel di sana.
“Aduuh… aduh nooon… eeergghh…” pak Sigit menggeram keenakan menikmati servis oralku ini.
Aku terus menghisap penis itu sampai kurasa sudah bersih dari semua cairan cintaku, lalu dengan mengatupkan bibirku erat erat, aku menarik kepalaku menjauh, hingga akhirnya penis itu terlepas seluruhnya dari kuluman mulutku. Melihat penis itu terkulai lemas, aku hampir tak kuat menahan geli.
“Ooooh… oooh…” rintih pak Sigit.
“Iya iya, udah selesai kok pak,” kataku sambil mengelap penis pak Sigit dengan tissue.
“Lagi juga nggak apa apa non,” kata pak Sigit.
“Ih, udah bersih kok,” jawabku sambil membelai penis itu terakhir kali, sebelum aku membantu pak Sigit memakai semua pakaiannya.
Setelah itu, aku membantu mengambilkan tas dan tongkat milik pak Sigit. Ketika aku memberikan kedua barang itu, tiba tiba aku teringat sesuatu.
“Pak Sigit, abis ini bapak pulang naik apa?” tanyaku ingin tahu.
“Ada tukang becak yang masih tetangga bapak, yang biasa jemput bapak dengan becaknya. Dia selalu menjemput bapak kira kira satu setengah jam setelah antar bapak datang ke tempat langganan,” jawab pak Sigit.
“Ooo…” aku mengguman pelan
Dan tiba tiba saja jantungku berdebar kencang. Aku ingat kalau sampai sekarang aku tidak mengunci pintu ruang piano ini. Kalau saja tadi tukang becak yang menunggu pak Sigit itu sampai masuk ke dalam sini, lalu melihat aku sedang ngeseks dengan pak Sigit, entah bencana seperti apa yang akan menimpa diriku.
"Ya sudah, bapak pulang dulu ya non,” pak Sigit berpamitan padaku, menyadarkanku dari lamunanku.
“Iya… eh pak, tunggu sebentar,” aku menahan tangan pak Sigit. “Eliza anterin bapak ke depan, tapi Eliza pakai baju dulu ya.”
“Oh iya. Makasih non yang baik,” kata pak Sigit.
Aku tersenyum kecil. Yang pertama kucari di lantai adalah celana dalamku. Aku mengenakan benda mungil itu, lalu aku membuka tasku untuk mengambil kaos ganti dan celana jeansku yang ada di dalam sana, tapi perhatianku tertuju pada amplop putih, titipan Cie Natalia tadi.
Dan teringat dengan Cie Natalia, tiba tiba aku merasa ngeri sekali. Aku tak berani membayangkan apa yang terjadi kalau sampai tadi itu Cie Natalia tiba tiba masuk ke dalam sini dan melihat aku sedang ngeseks dengan pak Sigit. Duh, aku harus cepat berpakaian nih.
“Aduh, maaf pak… Eliza sampai lupa. Ini pak, ongkos servis piano yang dititipkan Cie Natalia,” kataku sambil memberikan amplop itu pada pak Sigit.
“Oh iya… bapak sendiri juga lupa. Habisnya, bapak mikirin non terus. Terima kasih ya non Eliza,” kata pak Sigit yang lalu memasukkan amplop itu ke dalam tasnya.
“Sama sama pak,” jawabku sambil mengenakan kaos ganti dan celana jeansku itu dengan sedikit terburu buru.
Setelah aku berpakaian dengan pantas, aku mengumpulkan bra dan kostum baletku yang sedikit basah itu, juga stockingku yang ikut berserakan di lantai dan ikat rambutku yang tadinya sempat kulepas itu, lalu aku menyimpan semuanya ke dalam tasku. Tak lupa aku sekalian memasukkan ponselku itu ke dalam tasku.
“Mari pak, Eliza anterin keluar,” kataku pada pak Sigit.
“Non Eliza, boleh nggak bapak minta cium sekali saja sebelum pulang?” tanya pak Sigit penuh harap.
“Iya deh, boleh,” kataku dengan menahan geli. “Tapi sekali aja ya pak?”
Aku melingkarkan tanganku ke belakang leher pak Sigit sambil menyerahkan bibirku padanya. Pak Sigit mencium bibirku dengan penuh perasaan, hingga aku memejamkan mata menikmati kemesraan dan hangatnya ciuman pak Sigit itu.
“Makasih non,” kata pak Sigit. “Makasih.”
Aku menundukkan kepalaku tanpa menjawab. Tangan kiri pak Sigit itu kugandeng, dan ia kutuntun sampai keluar ke pintu gerbang. Di sana, mbak Lastri sedang menunggu di pintu gerbang yang terbuka sedikit itu, kelihatannya ia sedang mengobrol dengan seseorang.
Setelah aku melangkah hingga cukup dekat dengan mbak Lastri, aku baru bisa melihat bahwa mbak Lastri sedang berbicara dengan seorang tukang becak. Tampaknya ia adalah tetangga pak Sigit yang sudah menunggu di sini untuk menjemput.
Jantungku kembali berdegup kencang. Saat ini aku merasa sedikit tegang karena teringat dengan kedua payudaraku yang tidak tertutup oleh bra. Aku berharap pak Sigit yang baru saja menikmati tubuhku ini tidak sampai hati untuk berbuat macam macam di hadapan tukang becak itu, apalagi sekarang ini ada mbak Lastri. Belum lagi kalau Cie Natalia tiba tiba muncul.
Setelah sedikit basa basi dan pak Sigit akhirnya pulang, aku merasa lega dan segera masuk ke dalam rumah, menuju ke kamar Cie Natalia. Aku menyiapkan handuk, satu stel baju tidur dan tentu saja bra dan celana dalamku, lalu aku masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar Cie Natalia.
Dengan cepat aku mandi keramas sepuasku, membersihkan tubuhku dari semua sisa keringat dan Vaseline yang melekat pada tubuhku. Tentu saja aku tak lupa membersihkan liang vaginaku yang tadi sempat terisi sperma pak Sigit sampai dua kali, sebelum akhirnya aku mengeringkan rambutku dan juga sekujur tubuhku dengan handuk yang kubawa tadi.
Diam diam aku bersyukur karena aku tadi pagi aku tidak lupa minum pil anti hamil. Setelah selesai, aku mengenakan semuanya, bra, celana dalam, dan juga baju tidurku. Saat ini kakiku sudah tak terasa begitu pegal. Mungkin karena pijatan pak Sigit sebelum pulang tadi benar benar manjur.
Tiba tiba aku teringat, ruang piano tadi. Terutama sofa yang menjadi saksi bisu adegan panas antara diriku dengan pak Sigit di dalam ruang piano tadi. Bagaimana kalau mbak Lastri sekarang ini masuk ke ruang piano untuk mengambil baki dan gelas minuman yang masih ada di sana, lalu ia melihat sisa sisa tanda persetubuhanku dengan pak Sigit yang mungkin tertinggal di sofa itu?
Memikirkan hal itu, aku cepat mengambil sekotak tissue dan sebotol spray pewangi ruangan yang ada di meja Cie Natalia itu, lalu dengan jantung berdebar aku melangkah dengan sedikit cepat menuju ke ruang piano. Ketika aku menyalakan lampu, jantungku serasa berhenti berdetak, karena baki minuman dan gelas gelasnya itu sudah tidak ada lagi.
Yang pertama kuperhatikan adalah sofa itu. Jangan sampai sofa itu ternoda oleh ceceran sperma ataupun cairan cintaku. Untung sofa itu berbau Vaseline, jadi aku rasa mbak Lastri tak akan curiga yang tidak tidak.
Setelah aku memastikan tak ada sisa ataupun tanda dari persetubuhanku dengan pak Sigit, aku menyemprotkan pewangi ke tengah ruangan ini. Lalu aku mematikan lampu dan keluar dari sini, untuk kembali ke kamar Cie Natalia.
Selagi melangkah ke sana, tiba tiba aku teringat tawaran Dedi. Ia mengatakan kalau ayahnya adalah tukang pijat tuna netra yang ahli menghilangkan rasa pegal dan capek. Dan aku baru saja merasakan dipijat oleh pak Sigit yang juga seorang tuna netra, rasanya memang nyaman sekali.
Tampaknya waktu itu Dedi memang tidak berbohong padaku. Setelah menutup kembali pintu kamar Cie Natalia, aku mengembalikan pewangi ruangan ini sambil terus melamun. Mungkin kelak aku akan mencoba untuk pijat di tempat ayahnya Dedi.
Tapi tiba tiba aku berubah pikiran. Yang benar saja! Dengan pak Sigit yang cuma satu orang pun, tadi aku sampai orgasme berkali kali saat mendapatkan servis pijat plus plus. Lalu apa yang akan terjadi padaku kalau sampai aku nekat menerima tawaran Dedi untuk dipijit oleh ayahnya yang juga seorang tuna netra itu?
Aku sangat yakin, Dedi tak akan diam saja melihat aku menikmati pijitan ayahnya. Mungkin sekali ia akan menggagahiku selagi ayahnya memijit payudaraku, lalu ganti ayahnya yang menggenjotkan penisnya pada liang vaginaku selagi Dedi memaksaku membersihkan penisnya dengan mulutku.
Memikirkan semua itu, tiba tiba liang vaginaku terasa berdenyut denyut. Dan pikiranku makin kacau ketika aku membayangkan bahwa mungkin saja aku akan dipaksa oleh mereka untuk menginap. Bisa bisa aku mati orgasme akibat digilir oleh mereka ayah dan anak itu sampai berkali kali sepanjang malam.
Tiba tiba ketika aku merasakan sentuhan jari tangan pada selangkanganku. Aku segera melihat ke bawah, dan mendapati jari tanganku yang mulai menggoda bibir vaginaku ini, membuatkuku segera tersadar dari lamunan erotisku ini.
Duh, mengapa juga aku teringat sama si kurang ajar itu? Aku mengomeli diriku sendiri dan berusaha memikirkan hal yang lain, sambil memasukkan semua baju gantiku ke keranjang baju kotor. Lalu aku memastikan tas sekolahku sudah siap untuk besok.
Aku sempat melihat jam dinding, sekarang sudah jam setengah sepuluh lebih sedikit. Aku tak lupa mengambil ponselku yang masih berada di dalam tasku, untuk mengganti profilnya ke mode general, dan saat itu aku baru tahu ada SMS yang masuk beberapa menit yang lalu.
‘Eliza, hari ini kamu udah istirahat dengan baik kan? Jangan terlalu capek ya, nanti kamu bisa sakit lagi, apalagi sebentar lagi kan ada ujian.’
Dengan hati yang berbunga bunga, aku cepat membalas SMS dari Andy, memberitahunya kalau aku seharian ini sudah beristirahat dengan baik. Aku juga sudah merasa lebih segar. Tak lupa aku mengucapkan thanks di akhir balasanku.
Mendapat perhatian Andy seperti ini, aku merasa bahagia hingga aku tersenyum senyum sendiri. Tapi tiba tiba hatiku meronta pilu karena aku merasa telah membohongi Andy. Kedua mataku membasah dan aku hampir menangis.
Baru beberapa jam yang lalu, saat aku dengan tak tahu malu telah menggoda seorang tukang servis piano yang buta, mulai dari bertelanjang tubuh di hadapannya, lalu memberikan servis oral padanya hingga nafsunya bangkit terhadapku, dan melayani keinginannya untuk ngeseks denganku.
Aku masih ingat bagaimana aku sempat meracau tak karuan menikmati persetubuhan kami hingga orgasme sampai berkali kali di dalam pelukannya. Dan yang paling parah dari semua itu, aku bahkan menerima tawaran pak Sigit untuk menukar tubuhku sebagai imbalan untuk servis pijat plus plusnya.
Lalu, apa bedanya aku dengan pelacur? Apakah aku masih layak untuk mendapatkan semua perhatian Andy? Apakah aku masih layak untuk menjadi kekasihnya? Apakah aku pantas untuk bermimpi menjadi istrinya? Bukankah Andy berhak untuk mendapatkan perempuan yang mampu mempersembahkan kesucian tubuhnya pada Andy di malam pertamanya sebagai pengantin?
Memikirkan semua itu, aku semakin terbenam dalam kesedihanku. Perlahan air mataku mulai jatuh membasahi kedua pipiku. Apalagi ketika ada lagi SMS yang masuk dari Andy, yang mengucapkan selamat tidur padaku.
Perhatian Andy yang harusnya membahagiakan diriku ini malah membuat hatiku semakin sakit. Aku membalas SMS itu dalam isak tangisku, setelah itu aku merebahkan diri di atas ranjang Cie Natalia dan menyembunyikan tubuhku ke dalam bed cover.
“Andy… I’m sorry,” keluhku dalam hati, dan tangisku pun makin menjadi.
Aku memejamkan mataku, namun wajah Andy yang tersenyum malu malu saat melihatku malah tergambar semakin jelas dalam pikiranku. Aku sadar bahwa aku tidak pantas menjadi kekasih Andy, tapi aku tak tahu harus bagaimana kalau aku sampai kehilangan dia. Maka aku hanya bisa menangis sedih, menyesali keadaanku sekarang ini.
Entah sudah berapa lama aku menangis hingga akhirnya aku merasa lelah dan mengantuk. Dalam kesedihanku ini, perlahan aku mulai tak ingat apa apa lagi dan aku sudah tertidur pulas, mengistirahatkan tubuh dan pikiranku dari hari yang melelahkan ini, setidaknya supaya aku cukup kuat untuk menjalani hari esok.
No comments:
Post a Comment