Eliza (5) Bertambahnya Kenangan Di Villaku
Ceritadewasaterbaru666.blogspot.com - Show balet di malam hari jam 20:00 selama setengah jam yang menampilkan aku sebagai penari utama pada tanggal 31 Desember 2004 di ballroom sebuah hotel, mendapat sambutan yang meriah. Guru baletku begitu bangga padaku, ia memelukku bahagia. Aku pun demikian, seolah sudah lupa pada gangbang demi gangbang yang membuatku orgasme berkali kali sejak terenggutnya keperawananku pada 18 Desember kemarin. Juga tanggal 24 dimana aku bahkan harus datang ke sekolah di malam hari, menyerahkan tubuhku untuk menjadi budak pemuas nafsu dari mereka yang membantai aku seminggu setelah ulang tahunku yang ke 17 itu, yang nanti akan kuceritakan juga.
Bahkan tadi pagi aku masih harus melayani sopirku dan kedua pembantuku di kamarku sendiri. Mereka mulai menggilirku sepuas puasnya sejak jam 4 pagi sampai ketika kokoku pulang dari rumah temannya untuk makan siang sekitar jam 12, seolah tak rela nanti aku akan menginap di vila keluarga di tretes selama beberapa hari bersama keluargaku sepulang show balet ini. Mereka menggilirku dengan liar sekali, orgasme demi orgasme harus kulalui berkali kali sehingga betisku terasa begitu pegal, dan masih sangat terasa saat latihan final sore tadi.
Untung saja aku diantar kokoku ke tempat latihan balet, yang lalu meninggakan aku yang masih sangat lemas untuk menjemput ortu yang akan sampai di bandara Juanda sebentar lagi. Aku tak yakin apa aku masih bisa menyetir dengan rasa pegal ini. Namun segala macam capai sudah tak kurasakan lagi, kini aku sedang tersenyum bahagia, karena show ini begitu suksesnya, sampai sampai semua penonton termasuk di antaranya papa, mama dan kokoku, melakukan standing ovation (tepuk tangan sambil berdiri) saat kami menutup acara dengan membungkuk menghormat pada para tamu dan meninggalkan panggung ini.
“Eliza, kamu hebat sekali malam ini. Kamu memang ballerina yang berbakat baik sekali. Sukses ini semua berkat penampilanmu yang begitu indah. Terima kasih ya Eliza”, kata guru baletku yang memegang tanganku dengan mata berbinar binar, membuatku tersenyum malu sekaligus senang mendapat pujian setinggi langit ini.
“Cie Vira, teman teman juga hebat deh, semua hari ini luar biasa, jadi bukan cuma karena aku saja cie”, aku membantah, tapi teman temanku memelukku dengan senang, semua berkata senada kalau tadi itu aku begitu sempurna di atas panggung, dan memberiku selamat, yang hanya bisa kubalas dengan ucapan terima kasih dan tersenyum bahagia. Setelah Cie Elvira memberikan sambutan penutup show balet ini, kami diperbolehkan pulang, dan semua saling berpamitan gembira, tahun baru akan segera tiba.
Aku menghambur ke orang tuaku yang sudah menungguku dengan bangganya. Cie Elvira kulihat kembali ke bangku penonton, bergandeng tangan mesra dengan suaminya. Teman temanku juga sudah berkumpul dengan keluarga masing masing, ada yang memutuskan kembali ke bangku penonton untuk menikmati acara selanjutnya sampai jam 10 malam nanti seperti Cie Elvira dan suaminya, ada juga yang sepertiku yang langsung meninggalkan tempat ini.
Kini bersama dengan kedua ortuku dan kokoku kami menuju ke tretes, ke vila yang penuh kenangan masa kecilku dan juga kokoku. Tak pernah terbayang jika ternyata besok dan besok lusa vila itu akan menambahkan kenangan yang special buat diriku. “El, kamu masih ingat adiknya papa yang kerja di Jakarta?”, tanya papaku membuyarkan lamunanku.
“Ingat Pa, yang baru punya anak itu kan?” tanyaku balik. “Iya. Kayaknya sudah nunggu kita di vila, dia juga datang”, sambung papaku membuat aku hampir berteriak karena gembira, “Sungguh pa? si Vincent diajak nggak pa?” tanyaku antusias. “Ya, juga Stanley. Lengkap pokoknya. Hahaha kamu kok segitu senangnya El? Pantas anak anak kecil itu sayang sama kamu”, goda papaku waktu melihat aku merapatkan tanganku dan tersenyum senang.
Mamaku mencubit pipiku gemas, “Nanti kalo sudah ketemu mereka, semua dilupakan. Yang diperdulikan cuma kedua anak itu”. Kokoku yang menyetir menambahkan, “Iya, mungkin gara gara mama gak nambah adik lagi buat meme nih”. Aku tertawa kecil, dan kami bercanda selama perjalanan ke vila sehingga tanpa terasa mobil kami sudah berhenti di pintu gerbang vila kami.
Klakson mobil berbunyi 3x, dan pintu gerbang itu dibuka oleh penjaga vila kami yang sudah mulai tua, kira kira sekarang umurnya sudah 65 tahun. Ia sudah menjaga vila kami sebelum aku dan kokoku dilahirkan. Dan ketika kami masih kecil, penjaga vila yang namanya Basyir itu sering menemani kami bermain main jika kami berlibur ke vila ini.
Kaca mobil kubuka, dan kusapa penjaga vila yang baik ini. “Halo pak Basyir”, kataku sambil melambaikan tangan, dan mungkin karena sudah malam ia memandang heran padaku karena tak bisa melihatku dengan jelas, dan hanya berkata, “Selamat malam”. Ketika mobil berjalan dan wajahku tersinari cahaya lampu di atas gerbang, barulah ia mengenaliku dan membalas sapaanku, “Oh… ternyata non Liza. Halo juga non Liza, maaf ya tadi nggak keliatan”. ah.. seperti dulu, ia masih memanggilku non Liza, aku tersenyum padanya. Mobil terus berjalan dan berhenti di depan teras vila, di pojok aku melihat sebuah mobil besar, pasti mobilnya Suk Sing, adik papaku.
Benar saja, ketika kami turun dari mobil, Suk Sing keluar menyapa kami. Aku tak melihat Ie Lin, istri dari Suk Sing, ternyata sudah tidur, sekalian menidurkan anak anak. Pak Basyir membantu membawakan barang barang dari mobil ke kamar ortuku, lalu ia pamit untuk beristirahat ke kamarnya. Kurasakan pak Basyir agak lama ketika memandangku, kemudian aku sadar kalo aku masih mengenakan kostum baletku yang sexy itu.
Oh.. sebaiknya aku ganti baju tidur saja. Maka aku masuk ke kamar ortuku untuk ganti baju, tentu saja setelah pintu aku kunci. Bagaimanapun, di sini ada 3 laki laki dewasa, papaku, Suk Sing dan kokoku. Dan jadi 4 orang kalo pak Basyir juga dihitung. Aku melepas kostum baletku hingga tinggal mengenakan bra dan celana dalam yang berwarna hitam, kontras sekali dengan kulit tubuhku yang begitu putih. Aku sempat memperhatikan tubuhku lewat sebuah cermin besar di kamar itu. Hmm, aku merasa lekukan tubuhku memang termasuk sexy, dan payudaraku pun sudah tumbuh dengan ukuran sedang.
Tapi aku tak ingin berlama lama mengagumi tubuhku sendiri, ntar kena penyakit narsis lagi. Aku melepas bra dan celana dalamku hingga telanjang bulat. Udara dingin di tretes ini membuat kerigatku sudah kering, tapi aku tak berani mandi malam malam, takut kena penyakit rematik. Maka aku langsung berganti pakaian dalam, lalu memakai baju tidur kesukaanku yang warnanya merah muda dan bahannya satin.
Aku melepas ikat rambutku, karena bagiku lebih nyaman jika rambutku tergerai bebas tanpa ikat rambut. Lalu rambutku kusisir rapi hingga aku merasa makin nyaman, dan aku membereskan gaun balet dan pakaian dalamku sebelum aku keluar dari kamar dan kembali berkumpul sebentar dengan keluarga. Aku sempat mendapat pujian dari Suk Sing, rupanya ia sudah mendengar suksesnya show baletku dari ortuku, yang tentu saja aku mengucap terima kasih dengan tersenyum senang.
Kulihat jam sudah menunjuk pukul 23:30. Aku cuma bisa bertahan setengah jam menemani mereka ngobrol, dan aku pamit tidur karena sudah sangat mengantuk. Selain capai setelah show balet tadi, juga gangbang di pagi hari dan di hari hari sebelumnya membuat tubuhku sekarang rasanya remuk. Aku masuk ke kamarku yang di belakang, aku memang selalu tidur di situ sejak kecil kalau menginap di vila ini. Di ranjang yang sudah tertata rapi itu, aku meletakkan tubuhku senyaman mungkin, dan tak butuh waktu lama akhirnya aku sudah tertidur.
Entah aku tertidur berapa lama, tiba tiba kurasakan payudaraku diremas lembut dan ditekan tekan. Aku masih belum sadar betul, sempat mengira ini di rumah, maka aku pasrah saja, sambil merintih pelan. Nanti juga paling aku melenguh keenakan seperti biasa, mungkin aku sudah terbiasa menjadi budak pemuas nafsu seks yang harus siap digangbang setiap mereka menginginkan servis tubuhku, bahkan ketika aku masih sedang menikmati tidurku.
Aku tak bisa menolak, karena memang kalau mau jujur, nikmat sekali rasanya sensasi yang kurasakan saat terbangun dengan vagina yang dalam keadaan teraduk aduk penis, payudara yang diremas remas lembut, dan bibir yang dilumat dengan penuh nafsu, seperti yang dilakukan hampir tiap pagi oleh Wawan, Suwito dan pak Arifin terhadapku, tanpa sadar aku sudah merenggangkan pahaku bersiap menerima tusukan demi tusukan pada selangkanganku ketika “Cie Elizaa.. sakit ya? bangun doong, ayo temani Stanley main…”, suara anak kecil di dekat telingaku membuatku kaget, dan secara reflek aku terbangun duduk.
Dua anak laki laki yang masih kecil, yaitu Stanley yang berumur 5 tahun dan adiknya Vincent yang masih berumur 3 tahun, ada di samping kanan dan kiriku, rupanya tanpa sengaja tadi tangan mereka meremas dan menekan kedua payudaraku saat mencoba membangunkanku dengan menggoyang goyang tubuhku. Spontan wajahku terasa panas, tak pernah terbayang olehku bahkan anak kecil pun mampu memberikan rasa nikmat pada tubuhku.
Aku tersenyum malu mengingat tadi aku bahkan sudah melebarkan pahaku, tapi untungnya mereka masih belum mengerti. Yah, kalaupun mengerti, penis mereka masih terlalu kecil untuk mengaduk aduk vaginaku. Apalagi si Vincent, yang masih belum bisa bicara dengan benar, baru bisa bilang papa mama, cie cie, koko, itu pun masih terdengar lucu, khas anak kecil yang masih belajar bicara. Duh.. aku kok jadi melantur, nggak ada kali anak laki laki yang baru berumur 5 taun sudah bisa bersetubuh…
Kini kesadaranku sudah pulih sepenuhnya, dan aku memeluk keduanya yang tertawa senang. Kami bertiga keluar kamar, aku menggendong Vincent, sementara Stanley menggelayuti pinggulku sambil tertawa tawa, sedangkan aku sebenarnya dalam keadaan terangsang juga ketika tangan Stanley yang masih kecil itu kadang seolah meremas pinggulku. Oh.. ada apa denganku ini? Aku masih ingat, sebulan yang lalu tak ada perasaan seperti ini ketika Stanley menggelayutiku. Apakah sejak aku mengenal sex secara langsung tubuhku jadi sedemikian mudahnya terangsang? Atau.. masa aku jadi hiperseks setelah merasakan nikmatnya bersetubuh?
Tapi aku berhasil menekan semua perasaan yang begitu menyiksaku ini. Sempat kulihat jam dinding, pukul 7 pagi. Oh.. hawa tretes ini sungguh nyaman, rasanya begitu segar. Aku menghirup udara sebanyak banyaknya, menikmati udara pagi di sini yang tak mungkin bisa kurasakan di kota. Kulihat pak Basyir di halaman, seperti biasa merawat rumput yang tumbuh di sana agak selalu rapi.
Tiba tiba, aku merasa sangat lapar, yah, mungkin udara yang dingin ini memperkuat rasa laparku. Maka aku pamit sebentar pada kedua anak kecil ini, lalu ke kamar ortuku untuk mengambil handuk kecil, pasta dan sikat gigi. Setelah menyikat gigi, kebetulan memang ternyata makan pagi sudah disiapkan oleh mamaku dan Ie Lin. Kami semua makan bersama setelah saling mengucap selamat tahun baru, sambil membicarakan rencana hari ini.
Rencananya kami sekeluarga akan pergi ke Taman Safari, dan berangkat dari sini jam 11 siang, sekalian makan di luar. Nanti malam, kami akan mengadakan pesta barbeque, dan memang semua peralatan sudah disiapkan. Oh.. hari ini benar benar mengasyikan.
Kedua sepupuku pun terlihat begitu antusias setelah diceritakan bahwa di Taman Safari itu ada bermacam macam binatang yang bisa dilihat. Kami menyelesaikan makan pagi ini, dan seperti biasa pak Basyir membantu mencuci piring dan gelas di belakang. Aku sempat menemani kedua anak kecil ini bermain main, sampai sekitar jam 8 ketika Ie Lin dan mamaku mengajakku untuk berenang di kolam renang belakang. Aku mencubit pipi kedua anak kecil ini, dan pamit untuk ikut berenang.
Mereka ternyata ingin ikut berenang, jadi kedua anak kecil ini turun mengikuti mamanya. Aku pergi ke belakang sebentar, ke kamar kokoku yang di lantai 2 untuk meminjam charger handphone, jadi handphoneku bisa aku charge selagi aku berenang nanti, dan aku pikir batereinya akan terisi penuh waktu aku selesai berenang nanti. Tangga besi melingkar yang kunaiki sekarang adalah jalan satu satunya ke sana, ketika angin kencang bertiup mengibarkan rok bawah baju tidurku.
Aku amat kaget, dan menjadi berusaha menekan rokku ke bawah. Setelah angin berhenti bertiup, aku jadi ingat kalau ada pak Basyir di bawah sana yang masih mencuci piring, aduh.. jangan jangan dia tadi sempat melihat bagian dalam dari rokku. Aku mengarahkan pandanganku kepada pak Basyir, dan aku jelas sekali melihat baru saja pak Basyir mengalihkan pandangannya dariku. Tapi aku membuang jauh jauh pikiran negatif yang berkecamuk dalam diriku, aku teringat bahwa pak Basyir ini selalu baik padaku sejak aku masih kecil dulu. Maka aku terus saja ke kamar kokoku, mengetuk pintunya yang sedang terkunci.
“Koo… pinjam chargernya dong”, pintaku dari luar kamarnya. Beberapa detik kemudian kokoku membuka pintu lalu memberiku charger yang kuminta tadi. “Loh kamu nggak renang me?” tanya kokoku yang sudah memakai celana renang. “Iya nih, tapi aku charge handphoneku dulu, tinggal 1 strip nih batereinya, pinjam dulu yah”, kataku. Kebetulan memang, handphone kami sama sama tipe nokia, jadi aku bisa pinjam chargernya kokoku.
Aku turun diikuti kokoku yang langsung menuju kolam renang sementara aku masih harus ke kamar ortuku, selain memasang handphoneku pada charger, koper baju gantiku masih di sini. Aku berganti pakaian renang, ehm, tentu saja setelah aku mengunci pintu. Setelah selesai, langsung menuju kolam renang di belakang. Di sana kami semua berenang dengan gembira, sementara papaku dan Suk Sing mengobrol di kursi yang ada di dekat kolam renang ini.
Kedua anak kecil itu tentu saja tidak diperbolehkan berenang di kolam yang dalam, jadi Ie Lin menemani mereka, kadang aku juga membantu menemani mereka sebentar, sekalian mengambil nafas setelah adu menyelam dengan kokoku yang juga jago berenang. Tak terasa, sudah satu jam kami bersenang senang di kolam renang ketika papa berkata sekarang jam 9:00, menjawab pertanyaan Suk Sing. Sinar matahari sudah melewati bangunan rumah vila kami dan menimpa kolam tempat kami berenang.
Tak ingin kulitku yang putih jadi menghitam, aku segera naik ke darat, dan mengeringkan tubuhku dengan handuk besar. Demikian juga yang lain, satu per satu naik dan mengeringkan diri, sambil duduk di bawah payung besar. Entah kenapa tiba tiba kepalaku terasa pening, mungkin karena kecapaian.
Aku mengeluh memegang kepalaku, dan mamaku yang memang selalu perhatian padaku segera tahu kalau aku sedang sakit kepala. Setelah memberiku obat, mamaku menyuruhku segera mandi dan beristirahat saja, tak usah ikut ke Taman Safari. Mamaku sempat ingin menemaniku, tapi aku menolak. “Ma, mama pergi aja, aku toh juga akan tidur siang. Nanti sebentar juga baik kok, paling aku cuman kecapaian. nggak usah kuatir ya ma”, kataku berusaha meyakinkan mamaku, yang akhirnya mau juga ikut bersama mereka. Nggak enak rasanya udah besar gini masih dijagain mama, hanya karena sakit kepala.
”Ya sudah. Nanti kalau ada perlu apa, minta tolong pak Basyir ya”, kata mamaku. Aku mengangguk pelan, rasa pening membuatku agak malas menggerakkan kepalaku. “Makan siang nanti, mama siapkan dulu sekarang buat kamu, nanti tinggalkamu hangatkan sendiri ya. Terus, kamu tidur di kamar mama saja ya, nggak usah mindahin koper dulu, nanti malam saja mindahinnya”, pesan mamaku lagi.
Aku mengangguk lagi sambil tersenyum, lalu obat sakit kepala itu kuminum sebutir. Dan aku segera menuju ke kamar mandi setelah mengambil handuk dan baju ganti, satu set baju santai yang juga nyaman untuk dipakai tidur. Aku mandi keramas, mengeringkan rambutku sekering keringnya dan tentu saja tubuhku juga. Setelah memakai baju ganti, aku ke dalam, melihat mamaku sudah menaruh makan siang untukku di meja, jadi nanti tinggal aku hangatkan.
Aku merangkul mamaku dengan rasa terima kasih, tapi rasa pening ini semakin menjadi jadi, maka aku segera pamit tidur duluan. Mama mencium pipiku, kemudian aku masuk ke kamar ortuku, dan tidur di sana.
“Eliza, pintunya kunci aja, mama punya serepnya kok”, kata mamaku, mengingatkan aku untuk mengunci pintu ini. “Iya ma”, jawabku dan ‘klik.. klik’, aku mengunci pintu ini dan langsung tiduran di ranjang mamaku. Tak lama kemudian samar samar kudengar deru mesin mobil, mereka sudah pergi. Kepalaku terasa semakin berat saja, dan tak lama kemudian aku tertidur. Ketika aku terbangun, rasa sakit di kepalaku ternyata masih ada walaupun sudah tak begitu terasa. Dan tubuhku berkeringat banyak sekali walaupun udara cukup dingin, karena selimut yang kupakai cukup tebal.
Sinar matahari sudah tak menyengat, kini sudah jam 4 sore. Aku jadi ingin mandi, tapi aku mencari pak Basyir dulu, mau minta tolong dicegatkan orang jual sate ayam yang lewat. Ada beberapa menit aku mencari, tapi tak kutemukan juga, dan tiba tiba rasa ingin buang air kecil membuatku langsung ke kamar mandi setelah menyambar handukku yang tergantung di tali jemuran di dekat kamar mandi. Selesai buang air, aku langsung mandi menyegarkan tubuhku setelah buang air kecil.
Siraman air dingin benar benar menghapus rasa gerah itu, juga lembutnya busa sabun membuat tubuhku semakin terasa santai. Setelah membilas bersih tubuhku, aku mengambil handukku yang tergantung di daun pintu kamar mandiku, tapi tanpa sengaja kujatuhkan handuk itu ke lantai kamar mandi, yang tentu saja masih ada genangan air. “Aduh… jadi basah deh”, keluhku agak kesal.
Cepat cepat kuambil handuk itu, dan kuperhatikan, yah, handuk itu sudah terlanjur terlalu basah. Sempat terlintas di pikiranku, aku keluar begini saja, toh nggak ada orang di luar, tapi aku membatalkan niatku yang gila itu. Kalau tiba tiba pak Basyir sudah kembali, aku bahkan tak berani membayangkan apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Aku mulai memeras handuk itu, paling tidak saat kupakai membelit tubuhku nanti sudah tak begitu basah. Untung aku masih punya handuk cadangan di koperku. Aku membelitkan handuk itu ke tubuhku, menutup payudara dan vaginaku. Oh... rasa dingin ini menimbulkan sensasi aneh yang tiba-tiba melanda diriku, tapi aku berusaha tak memikirkannya, karena aku harus segera mengeringkan tubuhku dengan handuk yang baru kalau tak ingin ketambahan sakit masuk angin. Benar benar tidak lucu kan kalau balik dari liburan malah jadi sakit?
Aku keluar dari kamar mandi dan kebetulan sekali aku berpapasan dengan pak Basyir. “Pak, kalau ada tukang sate ayam yang lewat, tolong dipanggilkan ya pak. Nanti pak Basyir juga Liza belikan ya”, aku meminta tolong pada penjaga villaku yang sudah cukup tua ini. “Iya non, terima kasih”, kata pak Basyir yang langsung menuju ke arah jalan, menunggu tukang sate.
Aku pun masuk ke dalam, ke kamarku. Beberapa detik kemudian aku sadar kalau koperku masih di kamar ortuku. Maka aku keluar dari kamarku menuju ke kamar ortuku, dan di situ aku melepas handukku, karena rasa dingin ini semakin menjadi jadi. Aku mencari handuk cadanganku itu, dan belum kutemukan ketika tiba tiba aku tercekat merasakan hembusan nafas panas yang menerpa leherku.
“Non Liza, harum sekali ya bau rambut non..”, kata pemilik nafas tadi, oh.. ini suara pak Basyir, dan terdengar berat, jelas pak Basyir sedang terbakar nafsu, membuatku yang amat terkejut karena tiba tiba ada orang lain di kamar saat aku masih telanjang bulat begini, reflek menjerit ketakutan dan menutup bagian depan tubuhku yang sebenarnya membelakangi pak Basyir.
Tapi dengan cepat mulutku sudah dibekap, sementara tubuhku telanjangku yang hanya tertutup handuk di bagian depanku ini dipeluk erat dari belakang, membuatku mulai meronta dalam rasa panik yang amat sangat. Untungnya, sentakan yang kulakukan sepenuh tenaga akhirnya berhasil melepaskan diriku dari dekapan penuh nafsu ini. Aku hendak lari, tapi tiba tiba tubuhku dibalikkan ke arahnya dan kembali didekap erat. Seolah tahu aku akan berteriak, pak Basyir sudah melumat bibirku.
Handuk yang sedianya kututupkan ke payudara dan vaginaku sudah terjatuh. Dalam kepanikan ini aku berhasil mendorong tubuh pak Basyir yang sudah seperti kesetanan dan sedang melumat bibirku, dan aku akhirnya terlepas dari dekapannya. Tapi yang membuatku semakin panik, akibat kudorong tadi, pak Basyir kehilangan keseimbangan dan kepalanya terbentur tembok di sebelah lemari, kacamatanya sampai terpental jatuh, entah pecah atau tidak.
Kulihat tubuh orang tua ini ambruk ke lantai, dan ini membuatku takut kalau kalau ada apa apa dengan pak Basyir. Bagaimanapun juga ia selalu berlaku baik padaku sejak aku kecil. Aku memeriksa keadaannya dengan tegang, melihat kepalanya yang benjol, tadi memang aku melihat benturan itu cukup keras.
“Pak.. pak Basyir, aduh.. gimana nih.. maaf ya pak.. Liza oohh…”,kata kataku terputus ketika tiba tiba rasa geli bercampur nikmat melanda puting susuku yang dikulum oleh pak Basyir. Ternyata walaupun kepalanya benjol cukup besar, tapi ia masih sadar, jadi tadi itu ia hanya pura pura pingsan. Dan aku yang lupa kalau tubuhku masih telanjang bulat, berjongkok memeriksa keadaan kepalanya itu, dan payudaraku yang tak tertutup apapun menggantung di depan mukanya.
“Aduh.. pak Basyir.. jangan begini dong pak…”, keluhku di antara desahanku. Ingin aku menarik tubuhku menjauh darinya, tapi aku merasa bersalah tadi telah mendorongnya cukup keras hingga kepalanya terbentur tembok. Tapi masa aku harus membayar kesalahanku tadi dengan menyerahkan tubuhku pada orang tua ini?
Pikiranku makin kalut saat rasa nikmat ini semakin menjalari tubuhku, membuat aku akhirnya lemas tak kuasa untuk melakukan sesuatu. Tapi aku masih memohon supaya pak Basyir menghentikan semua ini. “Pak.. jangan… aduh…”, aku terus merintih. Seolah tak mendengar apa apa, pak Basyir malah melanj-utkan dengan meremas payudaraku yang satunya, membuat aku semakin larut dalam rangsangan ini.
Mataku terpejam, tiba tiba aku sedikit bergidik membayangkan jika aku harus melayani penjaga vilaku yang sudah tua ini. Ia sudah sedikit kempong, mungkin giginya sudah banyak yang tanggal. Janggutnya yang tipis agak panjang, beruban seperti rambutnya yang juga mulai tipis. Kerut kerut yang tercetak di wajah dan tubuhnya, yang ternyata sudah telanjang bulat ini, membuatku tanpa sadar menangis ngeri.
Aku sudah akan berontak ketika tiba tiba pak Basyir entah kenapa melepaskan tubuhku dari dekapannya. Aku segera mengambil handukku, menutupi payudara dan vaginaku dari pandangannya. Aku yang sudah marah bercampur panik sudah bersiap mengusirnya ketika pak Basyir terlihat menunduk sedih.
“Non Liza, maafkan bapak yang tak tahu diri ini, tadi bapak benar benar khilaf, nggak bisa menahan diri waktu lihat tubuh non Liza yang putih mulus dan belahan dada non Liza waktu non hanya memakai handuk. Sekali lagi bapak minta maaf ya non, soalnya terus terang bapak kemarin sudah nggak bisa tidur waktu liat non turun dari mobil dan masih memakai baju balet itu. Apalagi tadi liat non pakai baju renang. Gimana ya non.. rasanya baru kemarin non waktu masih kecil dulu bapak ajak main ayunan di belakang, tahu tahu sekarang jadi gadis cantik seperti ini. Maafkan ya non.. mungkin tadi juga karena bapak sudah menduda lebih dari 20 tahun…”, kata pak Basyir panjang lebar sambil menangis. Terlihat sekali ia menyesal, membuat kemarahanku surut sama sekali.
Aku masih diam saja dan menghapus air mataku, ketika pak Basyir melanjutkan, “Maaf non, bapak benar benar tak tahan liat non nangis... kalo non mau, non boleh pukul bapak. Bapak merasa berdosa pada non”. Aku semakin tak tahu harus bicara apa. “Ya sudah non, nanti bapak akan minta berhenti pada Tuan Robert. Kelihatannya non tak mau memaafkan bapak. Tapi bapak mengerti kok non, yang tadi itu memang tidak termaafkan. Sekali lagi maaf ya non”, kata pak Basyir sedih sambil berdiri meninggalkanku.
Aku terkejut mendengar pak Basyir mau mengundurkan diri, bagaimanapun dia adalah penjaga vila kami yang setia, lagipula tadi itu aku bisa mengerti alasannya, apalagi dia belum bertindak lebih jauh. Maka aku memegang tangan pak Basyir, dan berkata “Pak, sudah jangan dipermasalahkan lagi, Liza sudah memaafkan bapak kok. Tadi Liza menangis karena ingat masa kecil dulu bapak baik sama Liza. Maafkan Liza ya pak, tadi sudah dorongin bapak sampai kepala bapak luka..”
“Non nggak perlu minta maaf non, memang bapak pantas kok mendapatkan benturan tadi”, pak Basyir berkata sambil menghapus air matanya. Aku tersenyum lega, dan kulepaskan pegangan tanganku sambil berkata, “Ya sudah pak, Liza mau pakai baju dulu ya. Bapak tolong keluar bentar ya”.
Pak Basyir mengangguk, tapi begitu kepalanya menunduk pandangan matanya seolah tak mau lepas dari payudaraku yang sudah tak tertutup apa apa lagi, tadi handuk yang kupakai untuk menutupi tubuhku tanpa sadar terjatuh saat aku berdiri menahan tangan pak Basyir. Kini penjaga vilaku kembali terpaku, kurasakan nafsunya sudah kembali menggelegak, terlihat dari nafasnya yang memburu saat pandangannya masih terus saja tertuju pada kedua payudaraku.
Reflek aku melipat kedua tanganku ke dada, rasa panik sudah kembali melandaku. Sebelum aku bisa berbuat sesuatu, pak Basyir sudah menyergapku lagi, kali ini aku sampai terjatuh, untungnya di ranjang ortuku, tapi gawatnya kini tubuhku ditindih oleh pak Basyir.
Aku meronta panik. “Pak… jangan paak… tadi kan emmphhh ”, aku setengah berteriak, tapi bibirku sudah dilumat oleh pak Basyir, tanganku yang terlipat di dada ini rasanya terkunci karena tertindih tubuh pak Basyir, yang walaupun termasuk kurus, tapi bagiku tetap terasa berat. Dalam ketakutan ini aku terus berusaha melepaskan diri, kakiku kupakai untuk mendorong tubuh keriput yang harusnya tak begitu berat ini, tapi entah ia mendapat tenaga dari mana untuk terus mempertahankan posisinya, bahkan kini jari tangan kirinya sudah melesak masuk dan mulai mempermainkan vaginaku, selagi tangan kanannya menahan kepalaku hingga aku tak dapat menoleh ketika ia melumat bibirku habis habisan. Diperlakuan seperti ini, perlahan aku mulai lemas, rasa nikmat pada vaginaku membuatku tak mampu mengerahkan tenaga untuk berontak lagi.
Bahkan pak Basyir tak lagi memegangi kepalaku saat melumat bibirku, ia yakin aku sudah tenggelam dalam birahi saat aku menatapnya dengan pandangan sayu. Kini tubuhku sudah tidak ditindih lagi, dekapan tanganku di dadaku dibuka oleh pak Basyir, lalu payudaraku mulai diremasnya dengan lembut. Aku hanya bisa pasrah, sudah tak ada lagi perlawanan dariku karena tubuhku sudah merespon setiap rangsangan yang kuterima, sesekali aku mengejang nikmat saat vaginaku diaduk aduk oleh jari tangan pak Basyir. Jantungku sudah berdetak begitu kencang mengiringi birahiku yang mulai memuncak.
“Hnggh… oooh…”, aku melenguh begitu pak Basyir melepas lumatannya pada bibirku. Aku memejamkan mataku pasrah, tak tahu harus berbuat apa ketika vaginaku masih saja diaduk aduk oleh pak Basyir. Tiba tiba ia berpindah posisi ke selangkanganku dan melebarkan pahaku. Aku membuka mataku, mengingat aku belum tau ukuran penisnya, jadi aku paling tidak tahu sebesar apa penis yang akan mengaduk aduk vaginaku.
Tapi ternyata pak Basyir tidak sedang dalam posisi akan menyetubuhiku, tapi kepalanya ada di tengah selangkanganku. Aku merasakan bibir vaginaku disapu lidahnya. “Oh… pak.. jangan…”, aku merintih rintih.
Pak Basyir tertawa terkekeh, tentu saja orang seumur dia sudah berpengalaman untuk mengetahui aku sebenarnya sudah terangsang hebat. Tiba tiba ia seolah menurutiku, dan menghentikan aktivitasnya. Aku pun diam, tapi aku juga tidak mengatupkan pahaku yang sudah tidak dipegangi ini.
“Non Liza, bener mau sudahan?”, ejek pak Basyir. Aku mengangguk lemah dan kembali memejamkan mataku menahan malu. “ooh…”, aku kembali merintih ketika pak Basyir dengan nakal menyedot vaginaku dan mencucup cairan cintaku yang memang rasanya sejak tadi terus mengalir. Dan yang bisa kulakukan hanya merintih dan mengejang keenakan tanpa mampu menyembunyikan rasa nikmat yang mendera tubuhku ini.
“Enak ya non Liza, kok sampai mulet mulet gitu?”, tanya pak Basyir dengan nada mengejek melihatku yang semakin lepas kontrol.
Aku tak mampu berbohong lagi dan masih mengejang ngejang dan menggeliat keenakan ketika tanpa sadar aku menjawab sambil mendesis, “iyah… pak… ssshhh…”. Aku membuka mataku melihat pak Basyir sudah tersenyum penuh kemenangan, dan sambil bersiap di selangkanganku. Sempat kupandang penisnya, yang ternyata tipe kurus dan panjang, sebelum aku kembali tenggelam dalam kenikmatan ketika pak Basyir meremasi payudaraku dan bertanya padaku, “Non Liza sudah nggak perawan kan? Ini buktinya nggak keluar darah. Kalo gitu, punya bapak boleh dimasukin ke memek non Liza ya?”.
Aku yang sudah semakin diamuk nafsu birahi hanya bisa menjawab, “Iya.. pak… Liza… sudah nggak… perawan… terserah bapak… kalo mau… masukin… ngggghhhh”, aku melenguh ketika vaginaku sudah diterobos penis pak Basyir. Oh Tuhan… aku disetubuhi di ranjang ortuku. Dan aku tak menolak sama sekali, bahkan perlahan aku mengimbangi genjotan penis pak Basyir yang ternyata cukup keras juga, walaupun tak membuat vaginaku terasa begitu sesak. Kedua tanganku mencengkram sprei ranjang ortuku yang ternoda perbuatan mesum dari kami berdua ini. Desahan, erangan dan lenguhan kami bersahutan, aku sudah tak perduli apapun lagi dan melayani pak Basyir dengan penuh penyerahan.
“Non Liza… oh…. sempitnya memek non Liza…”, pak Basyir meracau dan semakin menambah gairahku saja. “Aduh…. Ohhh… enak pak Basyir… oh… panjaang… mmmppph”, aku juga meracau tapi terhenti oleh lumatan pada bibirku. Genjotan demi genjotan yang aku rasakan akhirnya mengantarku orgasme untuk pertama kalinya hari ini, tubuhku mengejang hebat sampai melengkung hingga pinggangku terangkat, kedua kakiku melejang lejang, dan aku melenguh lenguh tak mampu menahan nikmatnya kontraksi pada otot vaginaku.
“ooooh… paaak…aduuuuuuh….”, aku mengerang, dan pak Basyir sendiri rupanya kewalahan juga ketika penisnya terjepit oleh otot vaginaku yang terus berkontraksi, membuatnya menggeram, penisnya berkedut dan tanpa ampun spermanya menyembur berulang ulang membasahi vaginaku. “Non Lizaaaa…. Ooooh enaknya nooon….”, penjaga vilaku terlihat begitu menikmati ejakulasinya di tubuhku, anak majikannya yang masih seumur cucunya. Betisku kembali terasa pegal, keringatku membasahi sprei ini, dan nafasku tersengal sengal, apalagi ditambah tubuhku ditindih pak Basyir yang ambruk kelelahan menimpaku setelah menggenjotku tadi, penisnya masih menancap dalam dalam di vaginaku.
“Pak Basyir.. sudah dong, Liza capek sekali nih”, aku sudah lepas dari pengaruh orgasme yang menderaku, dan tubuh pak Basyir yang masih menindihku kudorong sehingga penisnya yang mulai mengecil terlepas. Aku melihat jam, sudah jam 5 sore. Aku kuatir ortuku dan yang lain akan segera datang, maka aku berkata, “Pak, tolong saya mengganti sprei ini, sudah basah gini kena keringat. Ayo pak, nanti ortuku datang”.
Dengan lemas karena baru ejakulasi, pak Basyir memakai kaca matanya dan membantuku mengganti sprei. Benar saja, tiba tiba klakson mobil papa terdengar, mambuat aku dan pak Basyir terkejut panik karena kami berdua sama sama masih telanjang bulat. Pak Basyir memakai bajunya yang ternyata berserakan di depan pintu, dan membereskan sprei kotor ke tempat cucian lalu membuka pintu gerbang, dan aku dengan paha bagian dalam yang masih belepotan campuran sperma pak Basyir dan cairan cintaku, menyambar handukku yang masih basah itu dan melilitkan ke tubuhku, lalu aku segera kembali ke kamar mandi setelah memastikan tak ada tanda tanda bekas pergumulan kami di kamar ortuku.
Aku memang harus mandi, rambutku yang panjang basah oleh keringat yang juga menempel di sekujur tubuhku, juga vaginaku harus kucuci bersih. Aku keramas dulu lalu kembali mengguyur tubuhku yang lengket lengket ini, dan perlahan aku merasa kembali segar setelah mengusapkan sabun cair yang mengandung sedikit menthol dengan lembut pada sekujur tubuhku.
Tak sengaja jari tanganku menyenggol puting susuku yang masih keras, dan membuatku mendesah pelan. Tapi ini bukan waktunya bermasturbasi, aku masih terlalu lelah untuk itu. Rasa nikmat itu kembali menjalariku ketika aku harus mengorek ngorek vaginaku sendiri, tapi aku sebisa mungkin membuang sisa sperma di liang vaginaku.
Hal ini penting sekali karena sperma yang tertinggal dapat memicu bau tak sedap pada vagina wanita. Kuberikan sabun pewangi yang selalu kugunakan untuk merawat vaginaku usai disirami sperma sejak dua minggu lalu. Setelah tubuhku terasa nyaman, aku pura pura memekik kaget, sehingga mamaku yang pasti sudah ada di dalam vila mendatangiku.
“Kenapa El?”, tanya mamaku kuatir. “Ma, handuk Eliza jatuh, jadi basah nih. Tolong ma, di koper Eliza ada cadangan handuk lagi, Eliza nggak bawa baju ganti nih, tadi terburu buru mau buang air besar”, kataku mencari alasan. “Tunggu ya El, mama ambilkan dulu”, kata mamaku. “Iya, terima kasih ma”, kataku sambil menunggu.
Ketukan di pintu kamar mandi ini membuyarkan lamunanku tentang betapa aku tadi sempat orgasme karena digenjot oleh seorang lelaki tua dan keriput. “El, ini handuknya”, aku dengar suara mamaku, maka aku buka sedikit pintuku, dan mengambil handuk yang disodorkan mamaku. “Terima kasih ma”, aku merasa lega, dan kukeringkan rambutku dan seluruh tubuhku. Kembali tubuhku kubelit dengan handuk, dan setelah yakin bagian penting dari tubuhku tertutup, aku keluar dari kamar mandi dan melangkah menuju kamar ortuku.
Saat melewati tempat cuci piring, aku berpapasan dengan pak Basyir yang sedang mempersiapkan piring dan gelas untuk barbeque nanti. Aku diam saja saat melewatinya, tak tahu harus bilang apa pada penjaga vila yang baru menikmati tubuhku ini. Tiba tiba aku merasa pantatku diremas, hingga aku menoleh kaget. Memang tak ada yang lain, pasti pak Basyir yang melakukan. Dengan sedikit kesal aku menegurnya, “Pak, gimana sih.. jangan ngawur gini dong, di dalam banyak orang tuh!”.
Melihatnya yang hanya cengengesan, aku berpikir akan lebih baik jika orang tua ini kutinggal masuk sekarang juga sebelum aku dijahili lebih lanjut. Aku berganti pakaian di kamar ortuku, kupilih bra dan celana dalam berwarna pink. Sebuah kaus warna pink bergambar boneka Teddy Bear dan celana santai kukenakan, sekarang aku sudah siap untuk bergabung ikut acara barbeque. Kubawa koperku ke kamarku, lalu aku ke depan. Begitu aku sampai di depan, kedua sepupu kecilku segera mengerubutiku.
“Cie Eliza… sudah sembuh ya”, Stanley menggelayut manja seperti biasa, sementara Vincent mengangkat tangannya seolah berkata “Cie, gendong Vincent dong”. Aku tersenyum dan menggendong Vincent, sambil berkata pada Stanley, “Iya, cie cie sudah sembuh. Gimana tadi di taman safari?”. Stanley mulai bercerita tentang apa saja yang dia liat dengan gaya anak kecil yang menggemaskan. Aku terus mendengarkan sambil sesekali menimpalinya. Tepat saat ceritanya selesai, kami dipanggil papa untuk memulai acara barbeque.
Api panggangan sudah siap. Selain kedua sepupuku, kami semua bergantian memanggang makanan yang berbeda beda. Sambil mengobrol ke sana kemari, juga diselingi bercanda, suasana malam ini benar benar menyenangkan. Aku memilih memanggang marshmallow yang sudah kuisi coklat cair, benar benar nikmat saat semuanya meleleh di atas lidahku, ketika tiba tiba aku merasa pantatku dicolek, hingga aku memekik terkejut dan semua menoleh ke arahku. Untungnya mereka tak melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Untung saja, saat itu juga hpku berbunyi, nada sms masuk. “Kenapa El?”, tanya mamaku heran. “Nggak ma, ini lagi liatin panggangan, tahu tahu hpku bergetar. Bentar ma, mau baca sms dulu”, jawabku, dan ketika aku melihat pak Basyir yang sudah di sampingku membawakan marshmallow, aku memandangnya dengan penuh teguran, kesal sekali rasanya. Tapi aku tak bisa berbuat apa apa, maka aku menjauh dari tempat ini, sekalian membaca sms dari siapa yang baru masuk ke HPku, yang ternyata dari Cie Stefanny, guru les privatku di bidang bahasa inggris. Ia adalah mahasiswi Sastra Inggris semester 7 di universitas swasta yang terkenal di Surabaya. Seminggu lagi usianya 22 tahun. Terbayang olehku, Cie Stefanny ini orangnya sabar, cantik, tubuhnya ramping, rambutnya lurus sebahu menambah keanggunannya.
“Happy new year Eliza ^^
Juga sekalian nanya nih, mulai Januari kamu kan sekolah pagi,
Lesnya enaknya jam berapa? Harinya tetap saja ya kalau bisa, thanks ^^
Cie Stefanny”
Membaca ini aku tersenyum dan segera membalas sms ini. “Happy New Year juga cie Stefanny. Yah kalo cie cie bisa, jam 2 siang saja ya cie. Iya, tetap hari Senin dan Kamis saja cie, tapi besok jangan dulu yah cie, masih capek nih abis liburan.”
Setelah membalas sms ini, aku melihat pak Basyir yang membawa piring kotor, pergi ke belakang. Aku teringat kelakuannya tadi, dan segera menyusulnya. “Pa Ma, Suk Sing, Ie Lin, Eliza ke belakang bentar ya, mau ke wc”, pamitku pada mereka yang menganggukkan kepala. “Lho, aku nggak dipamitin?”, goda kokoku yang memang selalu usil ini. “Suk Hengky, Eliza ke belakang bentar ya, mau ke wc”, kataku sambil menjulurkan lidah waktu menyebut nama kokoku dengan panggilan Suk, dan kami semua tertawa.
No comments:
Post a Comment